Cerita mereka dimulai di sebuah kedai bakso, setahun yang lalu.
Gary tau betul jika kedai di kawasan Tebet itu adalah salah satu tempat yang menjual makanan berkuah dengan bola-bola daging sapi terenak se-Jakarta Selatan. Namun tidak dengan Megi, baru satu minggu ia merantau ke kota ini, dan hari Sabtu itu ia dalam misi mencari jejak bakso terenak yang terdekat dengan kawasan tempat tinggalnya.
“Tetelannya dibikin di satu mangkok sendiri bisa, Pak?” tanya gadis mungil itu pada sang penjual.
“Bisa, Mbak.”
“Saya mau ya. Satu porsi bakso urat, pakai soun aja. Dan seporsi tetelan.”
“Siap!”
Megi berbalik, menyapukan pandangannya ke dalam kedai. Tak ada satu meja pun yang kosong. Bahkan nyaris semua meja penuh hingga ke kursi-kursinya. Ia memanyunkan bibir, hidungnya kembang kempis, lalu mendengus. Di saat yang sama, tanpa sengaja, pandangannya bersirobok dengan sepasang netra seorang pria tampan bertubuh kekar.
Megi kembali melangkah. Tanpa sungkan ia berdiri tepat di samping meja pria itu. Meja itu berkapasitas untuk dua orang. Dan ada satu kursi kosong di sana.
“Maaf, Mas. Boleh saya duduk di sini?”
Lawan bicaranya, mengangguk.
“Makasih.”
Tak menunggu lama, pesanan Megi pun datang. Ritual makannya dimulai dengan menyeruput kuah, lalu memasukkan racikan sambal, saos, kecap manis, dan cuka ke dalam mangkok sebelum ia sesap cairan yang tak lagi bening itu kembali.
“Mmm!” gumam Megi seraya tersenyum. Puas dengan rasa akhir dari kuah hasil karyanya.
Berlanjut ke sebutir bakso berukuran kecil yang ia belah menjadi dua. Setengahnya masuk ke mulut.
“Wah!”
‘Enak banget!’
Megi mengangkat wajahnya, bertatapan dengan teman semeja yang sepertinya dari tadi memperhatikannya.
“Maaf,” ujar Megi, tak enak hati.
“Baru makan di sini?” tanya pria itu; Gary.
Megi mengangguk. Gary pun ikut mengangguk.
‘Cakep banget tapi kok gemulai?’
Sekitar lima belas menit kemudian, seporsi es dawet duren tersuguh di hadapan sang pria. Megi terpegun, meneguk air liurnya yang kontan terbit karena tampilan minuman dingin nan manis itu.
“Ada es dawet?” tanya Megi.
“Ada. Di samping. Tapi bisa kok pesan dari sini.”
Megi kembali mengangguk. Baru saja ia akan mengangkat tangan memanggil pelayan kedai, Megi teringat jika hal memalukan akan terjadi apagila ia nekat menyatukan santan dan duren ke dalam perutnya. Megi, mendengus keras.
“Kenapa?” tanya Gary.
“Perut gue suka ga enak kalau makan santan dan duren gitu.”
“Dikit ga apa-apa kali?”
Megi hanya bisa mencengir lebar.
“Mas, minta mangkok kosong satu,” ujar Gary kemudian pada seorang pelayan yang melewati meja mereka. Gegas pelayan yang ditegurnya tadi mengantarkan apa yang Gary minta.
“Nih. Cobain,” ujar Gary seraya menyodorkan sebagian es dawet yang sudah ia pindahkan ke mangkok kosong.
“Eh ya ampun, ga usah,” tolak Megi, sesopan mungkin.
“Udah gue tuang, masa mau dibalikin ke sini lagi? Belum gue apa-apain juga kok. Dicicip juga belum.”
Megi salah tingkah. Tak enak hati. Ia pun mengangguk ragu.
“Makasih.”
“Hmm.”
‘Duh, cakep! Normal ga ya dia?’
Gary kembali sibuk dengan mangkok baksonya, menandaskan menu makan siangnya hari itu hingga tetes terakhir sebelum beralih ke mangkok dessert. Hal yang sama pun Megi lakukan, menyesap sesendok minuman tradisional khas tanah Jawa yang sudah berpadu dengan legitnya daging durian. Nikmat sekali.
“Enak kan?” tanya Gary kemudian.
Megi mengangguk. Entah mengapa darahnya berdesir setiap kali kedua mata yang indah itu menatapnya. Megi bahkan tak merasa geli ataupun lucu dengan nada kemayu yang selalu terdengar setiap kali Gary bicara. Ingin sekali ia menanyakan siapa nama pria itu, namun setiap kali kedua mata Gary tak lagi memandangnya, keberanian Megi untuk memulai percakapan kembali goyah.
‘Lo kenapa sih Gi?’
Baru saja suapan es dawet terakhir tandas Megi sesap, perutnya mulai bergejolak. Megi terduduk kaku. Punggungnya lurus, dadanya tegap, perutnya tertahan ke bagian dalam, dan semua kekuatan tubunya berpusat ke lubang bagian belakang agar tak memberi celah sedikitpun bagi angin menjerit.
‘Mati gue!’
Gary yang merasa aneh dengan postur tubuh Megi menjatuhkan kepalanya ke bahu kiri. Lalu, entah bagimana, Gary justru meniru sikap Megi. Ia menegakkan punggung, menegapkan d**a dan bahunya, juga mengencangkan perut. Meski keningnya masih saja berkerut.
‘BROT!’
Singkat sekali. Namun membuat siapapun yang mendengar sutra itu membeku sempurna. Shock!
Hening. Bahkan tak ada denting alat makan terdengar.
Wajah Megi memerah seketika.
Gary mati-matian menahan tawanya. Bisa amblas harga diri gadis cantik nan mungil di hadapannya jika ia salah bersikap.
Kedua netra Megi ikut memerah. Gary tau, perempuan itu pasti malu luar biasa. Gary mengangkat sebagian bokongnya, lalu ‘brooot!’ suara angin berhembus kembali terdengar. Tak sekencang milik Megi, namun dengan durasi lebih panjang. Setidaknya bisa mengalihkan praduga pengunjung lain yang sedari tadi menatap ke arah meja mereka. Gary menepuk-nepuk perutnya, lalu mengangguk-angguk pada para pemirsah yang kini menggeleng-gelengkan kepala persis artis Bollywood.
“Maaf,” lirih Gary. Pura-pura malu.
Tak ingin menjadi objek amukan massa, Gary segera berdiri dari tempatnya duduk.
“Yuk?” ajaknya pada Megi. Masih menahan tawa.
Megi yang wajahnya masih kaku mengangguk begitu saja, ia pun tak lagi sanggup berlama-lama di kedai itu setelah dahsyatnya ledakan bom yang ia lepaskan tadi.
Usai membayar yang mereka makan, keduanya gegas meninggalkan kedai. Gary tergelak renyah, menertawakan kekonyolan gadis yang masih berdiri di sampingnya.
“Gue tinggal ya?” kekeh Gary.
“Eh, iya.”
“Perut lo ga apa-apa?”
“Masih berangin sih.”
Gary kembali terbahak.
“Ih, malu tau gue.”
“Ya lo ga bilang kalau sebegitu besar efeknya.”
“Ga mungkin juga kali gue sejujur itu,” lirih Megi.
“Iya sih.”
“Ya udah deh, gue mau ngabisin angin dulu,” lanjutnya kemudian.
Gary benar-benar tak bisa berhenti tertawa.
“Thanks ya. Lo udah nyelametin muka gue.”
“Oke. Santai.”
Gary mengangguk, lalu melangkah menjauh ke parkiran motor, meninggalkan Megi yang masih bertarung dengan angin topan di perutnya.
Megi berjalan lesu, mencari tempat yang tak akan membuatnya malu jika ia melepaskan bom hidrogen sulfida yang membuat pencernaannya meraung-raung. Hingga tibalah ia di sebuah taman bermain kecil. Mungkin karena hari masih terik, tempat itu terasa begitu sepi. Megi duduk di ujung terowongan kecil dan mulai melepaskan gas berbau kurang sedap itu. Suara yang ditimbulkan sungguh meresahkan jiwa. Megi terus saja celingak-celinguk, khawatir ada orang yang memperhatikannya.
Merasa aman, Megi meletakkan kedua tangan di perutnya, memberi pijatan-pijatan kecil seraya mencoba untuk bersendawa. Belum lama ia melakukan terapi itu, sebuah motor berhenti tak jauh darinya.
Sang pengendara motor membuka kaca helm full face-nya, mendekati Megi.
“Lo?”
“Masih?” tanya Gary.
“Iya.”
“Nih.”
Megi menerima plastik yang disodorkan Gary, lalu membuka simpul di bagian atas.
“Ini?”
“Teh hangat aja kok,” ujar Gary. “Sama ini. Lo minum, dua tablet.”
“Oh.”
“Aman kok. Gue apoteker. Lo ga punya maag kan?”
“Iya, ngga. Cuma kalau salah makan suka begini.”
“Udah pas kalau gitu. Diminum aja. Paling lama setengah jam bakalan udah enak.”
“Oh iya, makasih.”
“Oke. Gue tinggal ya? Gue ada janji. Di ujung jalan situ ada klinik, kalau-kalau obatnya ga berhasil.”
“Oke.”
Gary menganggukkan kepalanya, melangkah mundur sebelum berbalik dan naik kembali ke atas motor.
“Eh, ini berapa?” tanya Megi, nyaris memekik.
Sayangnya, Gary sudah menutup kembali kaca helmnya dan memutar tuas gas motor sport yang ia kendarai. Tak menangkap apapun yang Megi ucapkan.
Megi terpegun, terus saja menatap pria berbahu lebar yang sosoknya kian mengecil di pandangannya.
“Ya ampun, sweet banget. Kenapa gue ga tanya nama dia? Kok gue jadi bego begini sih!”