BAB 3. Stevi

1581 Kata
Akhirnya aku sampai di toko buku favoritku selama ini dan menikmati wanginya yang terasa seperti surga. Tapi aku kembali memikirkan tentang Haters menyebalkan bernama Rein itu. Tidak menyangka bahwa dia menggunakan nama asli untuk berkomentar seburuk itu di novelku. Tapi bukan itu yang membuatku kembali memikirkannya, entah kenapa wajahnya terasa tidak asing di mataku dan aku juga penasaran dengan ekspresinya yang seolah dia memang mengenalku. Apa mungkin kami pernah bertemu di masa lalu dan dia memiliki dendam denganku? Pikiran itu membuatku menghentikan tanganku yang hendak mengambil buku di rak. “Bisa gawat kalau dia punya dendam. Apakah kemunculannya kali ini untuk balas dendam?” Gumamku seorang diri dan entah kenapa aku sedikit merinding memikirkannya. “Tapi apa kesalahanku?” Gumamku lagi dan kembali memikirkannya. “Kesalahan lo adalah berbohong sama gue.” Samar-samar ku dengar suara bisikan itu dan aku hampir berteriak ketika melihat Argan di sampingku dekat sekali dengan tatapan mengintimadasi yang reflek membuatku meringis. Apakah kali ini aku diikuti oleh si Laknat ini? “Lo ngapain disini?” Ringisku. Argan tidak menjawab hanya memberiku isyarat untuk keluar dari toko buku ini. Tamat sudah riwayatku, aku pasti dapat ceramah panjang menyebalkan dari si Laknat ini. Apalagi kalau dia tahu aku bertemu laki-laki asing. Bisa jadi tahanan rumah aku sebentar lagi. “Jelaskan Stevi!” Pintanya setelah kami berada di sebuah kafe dekat toko buku. “Lo nggak ada kerjaan emang selain buntutin gue?” Cicitku berusaha untuk berani. Sekalipun sejujurnya mentalku sudah menciut. Jika di rumah aku memang berani mengamukinya, tapi kalau aku memang bersalah apalagi berbohong maka aku akan ketakutan di hadapannya. Bisa di bilang Argan lebih menyeramkan dari ayah jika menyangkut adik-adiknya. Janu yang tidak peduli apapun juga akan menghindari masalah dengan Argan, apalagi aku yang perasa. Tapi si Rein sialan itu berhasil mengusik kemarahanku hingga aku mendapat masalah ini. Benar-benar menyebalkan! “Ngapain ketemu dia lagi?” Tanya Argan membuatku mengernyit mengenai kata lagi yang Argan sebutkan. “Mas kan udah bilang jang—” Argan menghentikan ucapannya dan terlihat seperti salah tingkah membuatku heran. “Lagi? Memangnya aku mengenalnya? Aku baru pertama kali bertemu dengannya.” Ujarku dengan kebingungan. “Maksud mas, ngapain kamu bertemu laki-laki asing dan mencari masalah lagi.” Ralat Argan yang entah kenapa masih terdengar aneh di telingaku. Apakah Argan tahu sesuatu? “Apa mas mengenalnya?” Tanyaku penasaran. “Jawab pertanyaan mas jangan dengan pertanyaan lagi Stevi!” Ujar Argan ketus dan itu menyebalkan tapi bagaimanapun aku memang bersalah karena sudah membohonginya. Padahal aku tahu bahwa aku tidak bisa membohonginya selama ini tapi aku masih nekat melakukannya. “Maaf mas, orang itu haters aku terus nyebelin jadi aku ajakin ketemu mau aku maki-maki tapi pas aku datang dia langsung pergi karena ada telpon dari pekerjaanya.” Akuku jujur. “Sejak awal kamu memilih untuk menjadi penulis kita sudah sepakat bahwa kamu akan mengabaikan komentar negatif bukan? Dan kenapa bohongin mas?” Cecarnya lagi. “Maafin aku mas, nggak laggi-lagi.” Cicitku. Argan memang menyebalkan akut, tapi kali ini karena aku yang salah jadi aku minta maaf saja. “Orang asing itu berbahaya Stevi! Harus berapa kali mas bilang. Temen kuliah kamu aja berbahaya apalagi orang asing.” Ucapnya lagi terus mengomel dan sejujurnya membuatku bertanya-tanta sejak lama mengenai pernyataanya bahwa teman-teman kuliahku berbahaya. Tapi setiap kali aku tanya apa kesalahan mereka Argan tidak mau menjawabnya. “Iya mas iya, kan aku udah minta maaf. Lagian mas ngapain sih buntutin aku kan aku udah gede masih aja di ekorin.” Protesku dan melihat matanya menyipit ke arahku dengan menyeramkan aku kembali meringis. “Iya, iya maap, Stevi bersalah mas Argan!” Cicitku lagi. “Mau minum apa! Mau jajan nggak?” Tiba-tiba topik kami berubah menjadi menyenangkan dan seketika membuat mataku berbinar. Apakah Argan sedang kesurupan setan baik? “Dibayarin gak? Aku lagi miskin.” Cicitku lagi dan aku akhirnya melihat senyuman geli di wajahnya membuat hatiku kembali tenang. “Iya dibayarin tapi hari ini ikut mas ke kantor bantuin ngecek laporan.” Jawabnya membuatku bersorak senang. Argan memang jenis yang tidak akan memberi sesuatu dengan cuma-cuma. Aku harus mengerjakan sesuatu dulu untuk mendapatkan sesuatu darinya. Tapi jika hanya mengecek laporan di dalam ruangannya yang selalu menjadi gambaran ruangan CEO di novelku tentu saja aku tidak keberatan. Lagipula sekertaris Argan baik padaku dan aku akan dapat banyak makanan di sana. “Siap Boss, tapi aku ke toko buku dulu sebentar ada yang mau di beli.” Ucapku dan Argan mengangguk setuju. Setelah itu aku memesan makanan sesuka hatiku. Karena ini gratis maka aku tidak perlu lagi melihat harga. Lagipula Argan kan kaya. “Kamu kecil tapi makannya banyak.” Cibirnya membuatku terkekeh. “Rezeki harus dimanfaatkan kalau aku sendirian nggak mampu soalnya beli ini.” Jawabku dan Argan tertawa setelahnya. “Stevi, Argan? Hampir nggak percaya siang-siang lihat kalian disini.” Ucap seseorang yang seketika kembali merubah wajah Argan menjadi monster. “Iya mas Argan nemenin aku ke toko buku.” Jawabku dan laki-laki itu tertawa. “Nemenin apa buntutin? Dasar bucin adik.” Balasnya. Laki-laki ini adalah teman Argan. Namanya Lean, jenis laki-laki spek pangeran yang sering aku jadikan inspirasi tokoh laki-laki di novelku. “Ngapain lo disini? Bangku banyak tuh yang kosong.” Balas Argan ketus dan Lean kembali tertawa. “Gue tadinya cuma mau beli seuatu doang titipan nyokap, tapi ngeliat lo berdua gue mau makan juga lah di sini.” Ucap Lean dengan seringai jahil. Keduanya berteman baik, tapi Argan yang lurus selalu saja di jahili oleh Lean yang sedikit nakal dan keduanya menjadi lebih sering terlihat seperti kucing dan anjing. “lo mau makan apa mau gangguin gue?” “Lo suudzon mulu Ar, jarang-jarang bisa makan satu meja dengan gadis secantik stevi. Iya kan?” Balas Lean sambil mengedip ke arahku dan aku segera memasang ekspresi jijik yang selalu sukses membuatnya tertawa. Argan bilang Lean ini jenis laki-laki genit yang pacarnya selusin. Dan Argan pernah ikut terseret masalah dengan perempuan gara-gara sim playboy ini. Tapi sekalipun Argan tidak pernah bilang bahwa Lean teman yang buruk dan dia juga tidak pernah menyuruhku menjauhinya seperti yang dia lakukan pada teman-teman kuliahku. Bisa dibilang semenjak aku lulus kuliah, aku malah lebih akrab dengan teman-teman Argan dibanding teman-temanku dulu. “Gue udah bilang jangan godain adek gue, lo berdua gak cocok.” Gerutu Argan dan aku mengangguk. Lalu Lean memasang mimik wajah kecewa yang dibuat-buat. Jika dia tidak senang bermain wanita, aku yakin dia bisa dibilang salah satu jenis laki-laki yang sempurna. Keluarganya kaya raya dan Lean ini juga seorang dokter di sebuah Rumah Sakit besar. Melihat dari pakaiannya yang santai mungkin dia sedang libur bekerja. “Iya,iya. Selamanya gak akan ada laki-laki yang cocok buat Stevi kan dimata lo?” Cibir Lean lagi dan Argan diam saja sambil memasang wajah kesal. Tapi kehadiran Lean menjadi menyenangkan karena obrolan kami jadi mengasyikkan. Lean sendiri juga merupakan pecinta novel dan dia adalah salah satu pembacaku yang kegemarannya adalah komplain jika cerita yang aku buat tidak sesuai dengan keinginannya jadi ketika kami di toko buku menjadi lebih menyenangkan. “Terus sekarang lo ngapain ikut masuk mobil gue? Lo bilang di suruh nyokap lo beli makanan kan?” Protes Argan karena Lean ikut masuk ke dalam mobil Argan. Aku tersenyum geli saja karena tadi melihat Lean mengirimkan makananya melalui ojek online. Sepertinya Lean memang belum mau berhenti mengganggu Argan. “Gue mau ikut lo ke kantor, udah kangen gue sama kantor lo. Gila belakangan ini gue sibuk banget di Rumah Sakit sampai nggak sempet gangguin lo berdua.” Jawabnya menyebalkan tapi membuatku tertawa. “Boleh ikut tapi nanti beliin boba di depan kantor mas Argan yah mas!” Palakku dengan seringai. Lean juga kaya, jadi nggak ada salahnya bukan aku keruk sedikit kekayaannya yang menyilaukan itu. “Jangankan boba, seluruh dunia juga akan mas beliin Stevi sayang.” Jawabnnya penuh rayuan dan Argan hanya mendesah saja sementara aku bersorak girang. “Heran, lo nggak ada kenyangnya. Tadi udah makan banyak banget masih aja minta boba.” Cibir Argan membuatku tertawa dan Lean ikut terkekeh. “Dia kan lagi masa pertumbuhan Ar, lo nggak pengertian nih.” Ucap Lean membelaku. “Masa pertumbuhan apanya, udah nggak tumbuh dia mah segitu aja. Pendek!” Ujar Argan membuatku meliriknya penuh permusuhan. “Mentang-mentang lo tinggi nggak usah sombong!” Ketusku. Argan dan Lean tertawa membuat perjalanan kami menjadi menyenangkan karena saling mencibir ini. Sesampainya di kantor aku langsung berlari masuk. “Stev jangan lari-lari!” Teriak Argan dan Lean hampir bersamaan. Aku meringis. “Pengen pipis mas.” Kekehku setelah menoleh dan melihat raut wajah khawatir mereka. “Stevi ketemu Rein tadi makanya gue samperin.” Samar-samar aku mendengar Argan berbicara pada Lean setelah aku keluar dari kamar mandi. Reflek aku berhenti di balik tembok untuk mendengar lebih banyak. Ternyata benar dugaanku kalau Argan mengenal si Haters menyebalkan itu. “Kok bisa sih? Bukannya udah lama Stevi nggak pernah bahas Rein lagi?” dan jawaban Lean membuatku semakin penasaran. Apakah benar bahwa aku mengenal Rein? Wajahnya memang terlihat tidak asing tapi tidak ada ingatan apapun tentangnya. “Si Brengs3k itu jadi Hatersnya Stevi.” Balas Argan lagi dan entah kenapa dadaku berdebar mendengar mereka membicarakan Rein. Seperti ada ketakutan yang tiba-tiba menyeruak di dadaku sekalipun aku tidak mengerti penyebabnya apa. “Dia sengaja mau deketin Stevi lagi? Mau cari masalah dia sama kita?” Jawab Lean lagi terdengar kesal dan setelah itu entah kenapa kepalaku pusing dan jantungku berdebar hebat sehingga aku memutuskan untuk keluar dari persembunyianku tapi setelah itu aku tidak ingat apapun lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN