BAB 1. Stevi

1576 Kata
“Uwaaaa satu jam setengah lagi dua ribu kata? Kenapa kamu harus tidur Stevani?” Gerutuku kesal pada diri sendiri karena selama dua puluh empat jam waktu yang diberikan padaku sebagian besarnya aku gunakan untuk tiduran, menonton drama dan stalking idol korea sementara aku hanya menyisakan satu jam setengah untuk menulis. Dimana batas waktunya hanya sampai jam tujuh pagi dan jika aku sampai terlambat update ceritaku maka hangus sudah bonus yang aku kejar bulan ini. “Stevi, gue pinjem cargeran.” Kakak paling laknat di dunia bernama Argan muncul di pintu kamarku dan membuyarkan semua konsentrasi yang sudah aku bangun dengan susah payah itu. “Lenyap aja lo dari muka bumi ini!” Ketusku dan dia malah tertawa. “Dikejar target lo yah? Makanya jangan malas.” Kekehnya masuk ke dalam kamarku tanpa menunggu persetujuanku. Mencabut carger yang sedang ku gunakan tanpa rasa bersalah kemudian menunjukkan senyum evilnya padaku. “Balikin nggak lo? Batre gue tinggal lima persen.” Ucapku galak. Tapi yang namanya Argan mana mungkin akan menuruti perkataanku. Bisa kiamat dunia ini. “Nggak mau! Gue pinjem.” Jawabnya sembari melangkah dengan cepat keluar dari kamarku. “Argaaan sialaaaaaaannnn.” Aku berteriak kesal. “Steviii!! mas Argaaannnn!!” Teriakan mamah membungkam mulutku seketika dan menciptakan tawa membahana dari Argan. Ibuku memang selalu menekankan bahwa aku harus memanggil si laknat itu dengan awalan mas. Padahal sifat kekanakannya itu tidak pantas di panggil dengan sebutan itu. “Iya mahh maaf.” Jawabku sopan. “Nanti mas Argan balikin kok Stevi bawel.” Si laknat itu meledekku. Membuat kemarahanku rasanya ingin meledak saat ini juga. Tapi kemudian aku mengingat waktu berhargaku berkurang lima menit hanya untuk mengutuki Argan. Dan itu menjadi sia-sia. Karenanya aku memilih untuk menghembuskan napas panjang mengurai kekesalan di hatiku dan kembali fokus pada layar komputer pink kesukaanku. Seseorang seperti Argan memang harus di singkirkan dari kepalaku yang cantik agar dunia ini tetap indah. “Ahhh kurang dua menit, buruan update Stevi!” Gerutuku lagi. Tanganku dengan cepat membuka aplikasi Sun n****+ kesayanganku dan mengklik bagian pembaruan cerita. Kemudian aku mengcopy paste cerita yang dengan susah payah aku buat itu ke dalam aplikasi, setelah tinggal satu klik lagi dan semua masalah beres. Tiba-tiba komputerku mati karena listrik anjlok. Aku berteriak histeris tentu saja. “Sorry Stev, gue lupa nyalain AC.” Ucap si laknat. Kemarahanku memuncak, aku berlari cepat keluar kamar dan mengejar si laknat Argan sambil mengepalkan tanganku. “Lo emang kakak sialaaaannn! Bonus gue hangus gara-gara lo. Nggak mau tahu lo ganti dollar gue!” Omelku membabi buta sambil melempari bantal sofa ke arahnya yang tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun. Bibirnya tetap menunjukkan senyuman evil yang membuatku ingin menggosokkan batu kali ke wajah sok gantengnya itu. “Stevi! Jangan gitu ah sama mas Argan.” Mama memperingatkan dan si laknat diam-diam menjulurkan lidah ke arahku. “Lo mati di luar nanti.” Ancamku tanpa bersuara tapi Argan tentu saja memasang wajah tidak peduli disertai seringai meledeknya yang terlihat sangat menyebalkan itu. “Udah dong Stevi, nanti bonusnya mama ganti deh. Argan kamu juga minta maaf sama adikmu!” Perintah mama saat terjadi kediaman yang menegangkan di ruang makan. Ayahku hanya tersenyum geli saja melihat kelakuan kami. Sementara adikku Janu, memasang wajah tidak peduli dan menikmati sarapannya dengan tenang. Diantara kami bertiga dia memang yang paling waras, itu kata mama dan papa. “Iya deh iya. Maaf yah Stevi bawel.” Ucap Argan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku diam saja karena kesalpun percuma saja sudah hilang semua bonusku. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya kesalahan Argan. Jika aku tidak bolos update cerita dua hari maka hal ini masih bisa terselamatkan. Tapi bulan ini aku terlalu banyak bermalas-malasan sehingga jadwal menulisku berantakan. “Stevi, mas Argan minta maaf loh itu.” Ucap mama lagi. “Iya mas Argan jelek di maafin.” Balasku kesal. Argan tersenyum saja sedangkan aku masih kesal. Argan memang pantas dijadikan obyek kekesalanku sekalipun pada hal ini dia tidak terlalu bersalah. Si menyebalkan itu tidak salah sama sekali pun tetap pantas mendapat amukkan karena sifatnya yang menyebalkan. “Hari ini kamu jadi ke toko buku?” Tanya Argan setelah kami selesai sarapan. “Jadi lah, toko buku adalah surga.” Kekehku senang. Membayangkan wangi buku baru yang nanti akan aku cium rasanya sudah menyenangkan. Ditambah lagi aku ada urursan rahasia siang ini. Urusan yang tentu saja Argan tidak boleh tahu. Bisa berabe kalau dia sampai tahu. Karena selain menyebalkan dan suka menyiksa adiknya, Argan adalah kakak yang posesif. Hobbynya adalah menyeleksi calon teman-temanku hingga adiknya yang cantik ini tidak punya teman. “Lo nggak mau kabur nongkrong sama mereka kan Stev? Mas seret kamu pulang kalau beneran.” Ancamnya serius. Jangan pernah sekali-kali menganggap omongan Argan hanya gertakan semata, karena dia benar-benar akan melakukannya jika aku tidak menuruti ucapannya. Dan mereka yang Argan sebutkan adalah teman-teman kuliahku dulu. Entah kenapa argan tidak menyukainya. Padahal menurutku mereka baik sekali. “Nggak lah, mereka kan kerja mas, gue doang yang jadi pengangguran dan pagi ini lo baru aja buat calon gaji gue bulan depan melayang.” Jawabku ketus dan dia tertawa. “Nanti kalau mas gajian mas jajanin.” Kekehnya. Argan adalah yang paling kaya di keluargaku setelah ayah tentu saja. Si laknat ini merupakan seorang pemilik bisnis parfum ternama. Dimana dia merintis sendiri bisnisnya ini sejak dia masih SMA. Uangnya tidak berseri, tapi jangan mengira sebagai adik aku akan mendapatkan hujan uang darinya setiap bulan. Sebab dia hanya memberiku seperlunya saja tidak ada istilah uang bonus untuk bersenang-senang darinya. Sifatnya sama persis dengan ayah hanya di tambah bonus menyebalkan. “Oke, aku tagih nanti.” Ujarku semangat. Setidaknya sekalipun tidak mendapatkan uang banyak, tapi mendapat jajan sudah lebih dari cukup. *** Aku keluar dari rumah pukul sepuluh. Menggunakan setelah sederhana seperti biasa, rambut aku cepol tinggi dan sneakers kesayanganku bertengger dengan sempurna di kakiku yang sering di sebut pendek oleh Argan itu. Perjalanan menuju toko buku tergolong mulus, tapi tujuan pertamaku bukanlah tempat ini sehingga dari sana aku masih harus menaiki satu angkutan umum lagi kemudian aku sampai di sebuah kafe yang letaknya tepat di depan Rumah Sakit besar. “Kafe Horison.” Gumamku sembari menoleh ke arah sebuah pesan di ponselku untuk memastikan bahwa memang tempat ini yang aku tuju. Setelah yakin akupun melangkah masuk dan berhenti sesaat karena merasa gugup. Pertemuan ini adalah pertemuan pertamaku dengan seseorang yang bisa jadi merupakan sumber bahaya. Tapi karena harga diri aku akhirnya menyetujui ajakannya untuk bertemu. Sejujurnya aku sendiri bukanlah anak yang gemar keluar rumah untuk sekedar menongkrong di kafe seperti ini. Jika bukan ke toko buku atau acara penting aku memilih bermalas-malasan di dalam rumah. Tapi kali ini berbeda, sekalipun bukan termasuk acara penting ataupun toko buku tapi mengakhiri peperangan bukankah sesuatu yang penting juga? Langkah pertama di dalam kafe, harum semerbak kue yang baru dipanggang memanjakan hidungku. Membuatku tersenyum tanpa merasa gugup lagi. Melihat ke sekeliling dan menemukan meja nomor 11 yang terletak di pojok belakang. Di sana sudah ada seorang laki-laki yang sedang duduk membelakangi posisiku. Dan aku sudah bisa menebak bawa dia adalah sumber dari peperangan ini. Hatersku yang menyebalkan dengan user nama ‘Rein Bukan Siapa-siapa’. Aku melangkah dengan berani menuju ke arahnya dengan tumpukkan rasa kesal mengingat semua kalimat menyakitkan yang dia tuliskan di DM sosial mediaku ataupun di komentar ceritaku. Belum lagi di tambahkan dengan menjelek-jelekkan caraku hidup. Ingin rasanya aku mencincang kepala jahatnya itu dan memberikannya pada harimau di hutan untuk makan siang mereka nanti. “Saudara Rein bukan siapa siapa yang menyebalkan?” Tegurku tanpa basa-basi dan akhirnya dia menoleh ke arahku. Ku pikir dia juga akan langsung mengomel mengingat sifat keras kepalanya ketika berdebat denganku. Tapi sedikit aneh karena dia cukup kaget dan seperti menahan ucapannya yang hendak keluar. “Ranjani?” Tanyanya pelan seperti tatapan tidak percaya apakah mungkin aku terlalu cantik sehingga membuatnya terpesona? Ohhh sungguh kenapa di saat seperti ini aku malah narsis. “Ya benar, penulis yang kamu katakan pemalas itu.” Jawabku kemudian duduk di hadapannya tanpa permisi. “Katakan apa maumu?” cecarku langsung pada inti pembicaraan. Ku akui laki-laki ini sangat tampan dan meneliti dari seragam berwarna hijau yang dia kenakan dengan nama Rumah sakit besar di depan kafe ini sepertinya dia seorang dokter. Lalu aku melihat juga ukiran namanya di dadanya dan tebakanku benar. Laki-laki dengan nama lengkap Rein Abimana ini adalah benar seorang dokter. Tapi mulutnya seperti di beri cabe satu ton. Tidak mencerminkan orang berpendidikan sama sekali. “Tidak ada.” Jawabnya menyebalkan. “Tidak ada? Yang benar saja! Apakah memberikan kalimat-kalimat buruk seperti itu pada orang lain merupakan sebuah kesanangan buatmu? Jika benar, maka silahkan kunjungi bagian kejiwaan di Rumah Sakit besar tempatmu bekerja itu.” Ketusku kesal. Dan yang lebih kesal adalah, Rein tampak diam, tenang dan malah memperhatikanku dengan seksama seolah dia benar-benar terkejut melihat wujud asli dari penulis yang dia benci selama ini. Kemudian ponselnya berbunyi dan aku dengan sabar menunggunya. “Maaf tapi aku harus pergi ada pasien darurat.” Pamitnya membuatku mendengus kesal. “Heh makhluk sialan, lo nyuruh gue dateng sejauh ini dan lo main pergi aja. Jangan pernah baca buku gue lagi Brengsekkkk!!” Aku berteriak ketika dia mulai melangkah meninggalkanku. Beberapa pengunjung kafe tampak menoleh ke arahku tapi aku tidak peduli. Rein hanya menoleh kemudian tersenyum yang sialnya tampan sekali. “Nggak mau, aku akan baca semua buku kamu.” Jawabnya sembari tersenyum menyebalkan sebelum berlari keluar kafe meninggalkanku yang penuh kekesalan. Selain Argan rupanya ada makhluk lain yang lebih menyebalkan di dunia ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN