"8 look sanggup nggak hari ini?"
"Lo mau kasih gue 100 juga, asal bisa menjamin semua hidup gue sampe meninggal, gue jabanin, Dev."
"Good. Yang satunya pake bikini, di kolam renang, lo udah okein pas gue bilang brand ini ngajak kerjasama."
"Telanjang juga nggak apa gue mah.”
"Astagfirullah.
“Apaan?”
“Bagus maksudnya."
Gue mendengus kencang, kemudian balik lagi sibuk sama handphone.
Kegiatan kayak gini sebenernya yang bikin gue makin t***l ketika di kampus. Karena daripada pusing mikirin kuliah ya kan, mendingan begini. Tinggal pose, posting, uang dikirim.
Ya meski nggak segampang bacotan gue juga sih. Ada beberapa shoot yang kadang ngeselin abis. Basah-basahan, dan lain-lain. Belum lagi kadang make up-nya yang ... you know, bukan lo banget tapi terpaksa harus mau. Karena gue bukan artis papan atas yang semuanya ngikutin kemauan gue kan. Jadi, sambil meniti dari bawah, gue harus bisa mengikuti flow mereka, Cuma ya tetap gue juga enggak yang tersiksa banget.
Tapi balik lagi, karena tujuan gue kuliah kan nantinya supaya gue bisa cerdas secara mental sosial dan untuk pemenuhan ekonomi, makanya sekarang gue udah dapet. Jadi, ngapain pusing-pusing mikirin itu?
Cuma, tetap ajalah, gila lo, entah kapan gue harus lulus sarjana biar orangtua bangga sedikit soal akademis gue. Kata nyokap ilmu nggak ada matinya. Enggak ada istilah ilmu yang sia-sia, kecuali santet kali ya.
"Hai, Miya," sapa mba Leoni. MUA ceunah. "Ini Risa, fashion stylist kali ini."
Gue senyum, menjabat tangan. Projek yang ini lumayan gede, Cuy. Nggak sekadar endorse biasa yang semuanya gue sama temen yang urus, brand ya terima jadi kan. Namanya olshop masih coba-coba.
Padahal gue udah dimarahin Ibu, jangan sembarang nerima kerjasama begituan.
Ya apalah, duit enak. Yang penting satu sih, gue nggak mau yang menipu. Misalnya, kecantikan. Kalau make up okelah, semua orang suka eksploreasi hal itu. Tapi kalau make up palsu, pemutih dan kawan-kawannya?
Salah orang anda para olshop palsu! Gue sendiri aja enggak mau kok wajah atau kulit badan gue rusak perkara bahan mengerikan, gimana bisa gue mau promoin ke orang lain? Udah gila. Nyari duit enggak segitunya juga kali. Masih banyak kok produk-produk lain yang sesuai pada fungsinya.
Bukan merusak lho ya.
Gue membuka chat yang baru dikirim Biyas.
BIYAS
gw ga bisa jemput Riana dari les.
gw mau futsal. lo jemput dia kelar photoshoot.
Emang j*mb*t nih bocah satu.
ME
Jemput di mana woy.
Gabisa banget lo bantu orang dikit.
BIYAS
Ke tempat les lah Kak! Udah ah.
Terserah jemputndia. Gw udha bilang ibu
katanya nunggu lo yang jemput nanti.
Tapi duit jatah gue tetep kirim ya
Monyong memang.
***
"Riana tadi pulang bareng Azriel, Mbak. Tadi sudah ditawari mau nunggu di sini atau dipesenin taksi, tapi katanya ikut Azriel aja yang lebih dipercaya."
Gue ngangguk dan bilang makasih, terus balik lagi ke mobil.
Ya masalahnya gue mana tahu rumahnya Azriel. Lagian ngapain juga kan gue ngapalin setiap rumah teman-teman Riana. Bocahnya aja nih yang bertingkah, untung sayang. Apa perlu minta tempat kursusnya buat nyari di kumpulan data siswa? Belum lagi kata Riana orangtuanya pindah dan dia tinggal di mana sih.
"Drama amat." Gue memutuskan menelepon Ibu. "Halo, Bu."
"Kenapa, Ya?"
"Riana nggak ada."
"Heh mulut. Nggak ada gimana maksudmu?"
"Pulang bareng Azriel, dan Miya nggak tahu rumahnya Azriel di mana."
"Azriel siapa sih." Lah, mana gue tahu. "Makanya jangan poto terus, adik sendiri sampe ilang begitu kan."
"Ya tadi lagian kenapa harus nunggu Miya banget sih. Biyas tuh main batalin seenaknya. Atau nggak tadi telepon gurunya dan minta pesenin taksi atau Ibu yang jemput pake taksi---"
"Seneng kamu kalau Ibu nyasar ke mana-mana?"
Astagfirullah, kuatkan iman.
"Yaudah, aku mau telepon Mbak Zia dulu."
"Waalaikumsalam."
Gue mendengus. "Assalamualaikum." Nih, salah satu alasan yang bikin puyeng akibat pernikahan. Kalau nggak siap punya anak ya begini, lo bakal kelabakan. Lagian si Riana ya ampun, nggak sekolah nggak les kenapa harus barengan banget sama Azriel sang Dermawan cilik, elah. "Halo, Mbak Zi."
"Halo, Ya. Kenapa?"
"Aku jemput Riana, tapi ternyata dia udah pulang bareng Azriel. Dan aku nggak tahu rumahnya di mana."
"Ya ampun soriiii banget, Ya," katanya. "Tadi Riri udah nelepon dan dia memang bilang lagi di rumah Azriel makanya aku agak santai, tapi malah terlalu santai sampe lupa bilang kamu. Tadi bilang ke Biyas doang."
JAMET KURANG AJAR, KENAPA NGGAK BILANG GUE! Nambah-nambahin beban aja tuh bocah satu. Awas aja entar, gue libas sampai rumah.
"Sekarang kamu di mana?"
"Di jalan dari tempat lesnya."
"Azriel rumahnya di Lebak Bulus. Dia sekarang tinggal di rumah Om-nya." O-ow. "Kalau kamu udah kejauhan atau sibuk bi---"
"Aku deket sini nih, yaudah aku aja yang jemput, Mbak."
Tinggal putar balik atau ... ke mana nih maps-nya? Senyum gue seketika secerah langit Jakarta pagi hari---itu pun kalau memang lagi bagus Jakartanya.
Nggak tahu ya, kenapa menurut gue, lelaki dewasa secara umur, tampilan dan mental tuh lebih menantang sekaligus enak diajak negosiasi dalam hal apa pun.
Karena gue males terlibuat hubungan yang serius, gue nyarinya yang emang kudu nerima hal itu. Dan, berdasarkan pengalaman pribadi, kalau masih seusia gue kebanyakan baperan anaknya. Coba aja test ngomongin pernikahan, pasti belum siap. Tapi sok-sok jalin hubungan serius dengan larang ini dan itu, atur ini dan itu dengan dalih komitmen.
Pret.
Kalau yang udah berumur, mereka kebanyakan sudah tahu konsekuensi. Blak-blakan di awal, dan kalau dirasa memang udah bosen, ya pisahan. Atau, kalau memang dia niatnya serius--- lo mau inti dari semua bacotan gue ini?
Intinya ini karena memang si Aga itu menarik aja. Mau dia dewasa atau enggak, kalau malesin mah ya malesin aja. Mau semuda apa pun---tapi berondong juga nggak menarik sih.
Gitulah, puyeng kalau nurutin pikiran gue. Jadi, mending menikmati apa yang terhidangkan aja. Yok, kita ke rumah Aga.
Setelah berjibaku di jalanan, akhirnya, gue sampai di depan rumah sesuai dengan titik yang dikasih mbak Zia.
O-ow, dari rumahnya sih gue bisa ngebaca karakter dia. Berdeham dulu, mari dengarkan statement dari profesor (aamiin aja dulu) Samiya Eila. Pertama, dia kelihatan orang yang tegas, to the point dengan pemilihan warna putih dominan ketimbang abu-abu. Kedua, meski demikian, ada jiwa hello kitty di dalamnya dengan adanya taman kecil-kecilan. Ketiga, mobil warna hitam ... yang ini, nggak tahu antara dia misterius atau memang cari aman.
Gue berhentiin mobil di depan gerbang. Kemudian masuk karena ternyata tidak dikunci pagarnya, pencet bel. Tinggal tunggu sang empu menyambut dengan ramahnya.
"Halo, ada yang bisa dibantu?"
"Hai, Mbak. Gue Miya. Mau jemput Riana. Ini rumah Azriel kan?"
"Oh iya. Mereka lagi main trampoline di belakang."
"Trampoline?" Aku meringis. "Oh okay, boleh tolong ditunjukin?" Gila si Riana, anak piyik udah jago bikin momen. Main trampoline berdua cobaaaa.
Gue bilang apa.
Makin masuk ke dalam, makin kelihatan karakternya. Hmmmm, menarik untuk dikenal lebih dekat. Tapi, katanya udah punya pacar. Let's see.
"Hahaha. Pas loncat jangan ngegeser ke aku, Zriel! Aku nanti minggir terus ke sana jatoh."
"Seru kan, Ri?"
"Banget. Kenapa nggak dari dulu ya, Mas Biyas dan Kak Miya nggak bisa jemput aku. Jadi aku bisa kamu ajak ke sini."
Amsyong amsyong. Anak orang pemikirannya udah yahud banget. Gue dan Mbak tadi saling tatap, kemudian dia ketawa kecil sambil menganggukkan kepala dan pamit lagi.
"Besok ke sini lagi, Ri?"
"Setiap hari memangnya boleh?"
"Boleh dong. Kan kata Om Aga, kamu harus enak di sini, jangan takut, Ri. Om-ku baik kan?"
"Baik banget. Kak Miya aja suka."
Aku melotot.
Mau nyamperin, tapi percakapannya lagi seru banget. Sambil badannya mental-mental pelan gitu. Jadi pengen ikutan.
"Suka sama om aku?"
"Iya. Padahal om Aga udah punya pacar ya, Zriel?"
"Gatau. Banyak. Pacar yang ke rumah beda-beda. Biarin ah, yang penting om Aga baik ya, Ri?"
Gonta-ganti pacar?
Ow, gue kira gue udah yang paling b***t dengan menjalin hubungan tapi nggak mau ke arah serius, ternyata dia juga sama aja. Orang ganteng kalau nggak berulah, kurang puas kali ya.
Tapi nggak juga, anaknya dosenku dulu paket komplit. Ganteng, baik, pinter dan humoris. Kurangnya cuma satu, gue bukan selera dia.
"Hai."
"Monyong."
Gue seketika menutup mulut. Kaget ya gue tadi, bukan cari muka. Kalau tahu yang bakalan datang om-nya Aga milik bersama ini mah, mendingan gue kagetnya senyum lebar, atau dzikir gitu lebih enak.
Ah, udah terlanjur.
"Hai. Tadi, dibukain pintu sama Mbak, jadi langsung ke sini dan dia juga kok yang nuntun. Gue mau langsung sapa Riana tapi mereka lagi seru banget ngobrolnya."
Hembuskan napas, Miya. Ngapain lo jelasin panjang lebar, nggak perlu kali.
Yaudah sih, siapa tahu nanti berguna.
Responsnya cuma senyum. Sekali lagi gue ulangi, cuma senyum. Apa ini bukti dari warna mobil pilihannya? Tatapannya fokus ke anak-anak, gue jadi bingung. Abis noleh ke mereka, terus ke om ini. Ke mereka lagi, ke om ini.
Gue kudu gimana?
"Menurutmu kenapa mereka bisa seakrab ini, Mita?"
"It's Miya."
Dia langsung menoleh ke arah gue dan senyum nggak enak (penilaian gue gitu ya). "Oh sorry, Miya."
"Karena mereka punya interest yang sama?"
"Soal?"
"Suka berbagi?" Gue mengendikkan bahu tak yakin. "Nggak suka haha-hihi sama banyak orang. Bisa ramah ke siapa pun, tapi temennya kalau itu ya yang dia inget itu aja. Mereka udah klik di awal ketemu kali."
Kayak gue ke elo misalnya. Hidungnya bagus banget ngomong-ngomong, Cuy! Kalau yang modelannya begini, langsung diajak ngamar juga gue mah nggak masalah.
Yang penting sehat lho ya.
"Klik di awal." Itu kalimat gue yang dia quote. "Itu berlaku juga untuk orang dewasa?"
Aku tertawa. "Tentu ya."
Dia senyum lagi. Memandangku lengkap dengan tubuhnya yang menghadap juga. "Tadi Riana bisikin saya sesuatu." Dia memberi jeda yang bikin gue nggak sabaran buat tahu. Apa lagi yang lo perbuat ke hidup gue, Ri? "Katanya, 'Om Aga tau nggak? Kak Mita suka Om. Jangan bilang-bilang ya', apa itu juga termasuk klik di awal, Mita?"
Gue cuma bisa menganga.
Literally menganga.