SEPULUH

1369 Kata
"Hai ...." Seorang cewek dengan perawakan yang ... kayaknya tinggian gue. Kulit dia lebih eksotis. Rambutnya panjang indah macam punya Anggun C Sasmi. "Eh, masih ada tamu ya? Via bilangnya suruh masuk." "Aku yang suruh masuk tadi kok." Tarangga berdiri, menepuk-nepuk kedua pahanya seolah banyak debu di sana. Kemudian menghampiri si cewek, memeluk sebentar, cipika-cipiki. "Ke sini sama siapa?" "Sama Jeje. Lagi digangguin Fauzan dan anak-anak. Kurang ajar anak-anakmu ih, lain kali aku nggak mau bawa Jeje lagi. Masih kecil udah dicekoki Cendol Dawet melulu." Tarangga ketawa. "Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini? Aku bisa jemput, hari ini nggak ada seminar apa pun, aku cuma perlu stay di sini, review artikel." "Please deh, Ga. Aku bisa nyetir dari dulu dan aku udah jago baca maps asal kamu tahu." Mala. Kalau dilihat dari luar, nggak ada yang salah dengan sosoknya. Kelihatan feminin, hangat, dan mesra dengan Tarangga. Gimana bisa dia nggak tertarik untuk melakukan hal yang lebih dadi peluk dan cium? Gue baru mau gantiin, elo udah muncul aja, Mbak. Baru ngicip bentar doang bibirnya, tapi lumayanlah. Kayak yang gue bilang, lumayan bikin pening. "Hai. Ini siapa? Kok kamu kejam, ada tamu tapi aku disuruh masuk dan dia didiemin gitu aja." Gue senyum, dia juga senyum lebar banget sambil berjalan ngehampiri gue. Otomatis gue berdiri, menyambut uluran tangannya, berpelukan singkat. "Abis interview sama Aga? Gimana rasanya? Dia katanya kalau interview beda banget sama ngobrol biasa begini. Fauzan dan Medina belum ada apa-apanya, katanya." Gue ketawa canggung. Bingung juga jelasinnya harus gimana. Masalahnya, dia jelas lebih memgenal sosok Tarangga sementara gue nggak tahu apa-apa woy. "Bukan. Dia bukan narasumber." "So?" Matanya menggerling, menatap gue dan Tarangga gantian. "Jadi beneran aku ganggu ini namanya." "Enggak." Gue keduluan ngomong, ya walaupun gue juga nggak mungkin bilang 'ya'. "Dia Miya." That's it. "Hai, Miya. Aku Mala." "Hai. Saya Miya, Mbak." Mending 'saya' ajalah ya, ketimbang 'gue'? "Salam kenal." "Jeje mana? Keluar yuk, aku kangen Jeje." Tarangga mengangguk ke arah gue. "Miya." Mala keluar lebih dulu, gue speechless waktu Tarangga menunggu gue sampai di sisinya, kemudian sebelah tangannya mengelus punggung gue sambil tersenyum manis. Empati gue lagi tinggi-tingginya nih kayaknya, tiba-tiba gue merasa sedih karena orang sebaik dan semanis dia harus ketemu sama Mala dan ... sekarang sama gue yang bahkan nggak berniat untuk serius juga sama dia. Tapi, seenggaknya, kalau menjalin hubungan sama gue, lo bisa dapet seks dengan catatan gue pun mau, nantinya. So, nggak jahat-jahat amatlah ya. Gue menggelengkan kepala, mulai pusing beneran mikirin nasib ke depannya. Jangan terlalu dipikir deh, jalanin aja seperti biasa. Reza aja bisa aman kok, pergi saat dia pengen pergi. Masalahnya, setelah gue pikir-pikir, kalau gue kasih tahu Tarangga sekarang tentang pandangan gue terhadap pernikahan dan komitmen serius, takutnya dia syok dan langsung pergi. Gue udah suka sama manisnya dia. Tanggung jadinya. "Jeje ...." "Om Aga!" Bocah kribo nan gembil berlarian menghampiri Tarangga yang sudah merentangkan tangan. "Kiss." Tarangga terkekeh, dituruti permintaan si bocah dengan muka yang kelihatan bahagia. Kalau gue nggak tahu Mala itu aseksual, mungkin gue mikir itu anak mereka. Karena udah tahu, jadi sekarang gue bertanya-tanya, siapakah dia? "Mas Aga. Siniin dulu Jeje-nya. Belum kelar jadi sobat ambyar dia." Suara lelaki yang lagi duduk dekat mas Fauzan. Gue lihat Mala yang berdiri di samping gue mendelik. Sementara Tarangga mengangkat satu tangan dan memperagakan bogem. "Kenalan sama Kak Miya ya. Halo, Kak Miya. Namaku Jeje, aku gadis kecilnya Papa Daren dan Mama Shiren. Aku keponakan pintarnya Onty Mala dan Om Aga. Salam kenal." Suaranya manis, seolah dibuat selembut mungkin mengikuti ritme anak kecil. Jeje nyengir lebar. "Onty." "Kakak Miya." "Napa?" Gue dengan cepat mendekat, menoel pipinya. "Boleh kok panggil Onty. Jeje umur berapa?" "Tiga," katanya. Tapi jari yang dia tunjukin ada 4. Gue ketawa. Tarangga buru-buru membenarkan jarinya. "Diralat, Onty. Tiga jarinya segini." "Udah pinter banget." Gue mengelus kepalanya. "Rambutnya cantik lho." Jeje mengangguk antusias. Nggak lama dia meminta turun, dan langsung berlari menghampiri kelompok mas Fauzan yang kini sedang tertawa puas karena kemenangan. "Sebentar, Miya." Tarangga pamit dan menyusuli bocah itu. "Udah pantes ya dia punya anak?" Suara di sebelah gue cukup membuat gue refleks menoleh dan kasih senyum ke dia. "Dia mau punya anak kembar katanya, Miya. Eh duduk di sofa itu yuk. Sini" Gue meringis. Ngikutin dia duduk. Ini kayaknya jadi salah kaprah. "Kembarnya satu, cewek-cewek, terus yang nggak kembar satu, cowok." Gue bukannya g****k banget buat memahami ke mana arah omongannya. Ngerti kok ngerti maksud Mala menjelaskan semua ini. Masalahnya, gue harus jawab apa? Masa iya, gue jelasin ke dia kalau gue nggak mau menikah dan punya anak? Seenggaknya untuk saat ini. "Aku nggak menyesal mergokin kalian di sini. Karena Aga tuh kalau ditanyain tentang pasangn baru, jawabnya selaluuuuuuu belum ada. Eh geser sini duduknya, jauhan banget," pintaya. "Padahal dia memang malu dan males kali jelasin ke aku." Gue memang bukan pasangannya, Mbak. Belum, lebih tepatnya. "Udah berapa lama, Miya?" "Berapa lama?" Gue mengulangi pertanyaannya, ketawa pelan sambil mikir. "Well, Mbak Mala. Sebenernya kami belum sejauh itu." "Ohya? Sorry, sorry, pasti aneh ya tiba-tiba dikasih tahu soal cita-cita anak versi Aga." "Nggak apa. Lebih kenal lebih baik, katanya?" Dia ketawa. "Titip dia ya, Miya." Mata kami saling menatap, firasat gue mulai nggak enak. "Waktu dia membuka hati nggak mudah dan nggak sebentar, jadi, ketika dia memutuskan milih kamu, artinya dia yakin sama dirinya kalau kamu memang selayak itu." Meninggal lo di tempat, Miya. Sekarang! "Dia udah cerita tentang aku?" Gue mengangguk pelan. "Saya hargai keputusan mbak berani speak up, itu keren." "Terima kasih nggak menampilkan muka aneh ke aku saat ini." Gue jadi merasa bersalah pernah syok berat waktu Tarangga cerita itu. "Sebenernya, kalau aku diminta menghabiskan waktu bareng dia seumur hidup, aku mau dengan penuh kesadaran. Tapi, hal itu nggak mungkin buat Aga. Tentang kebutuhannya." Seks. Gue ngerti. "Jadi, Miya, sekali lagi, titip Aga. Kalau mau kenal dia lebih jauh, bisa hubungi aku." Matanya mengedip pelan. "Tentang hal-hal nyebelin dia misalnya, karena biasanya orang liat dia bagus melulu soalnya. Nggak adil." Gue ikut ketawa. Tangannya narik tangan gue, digenggam erat. "Aku berharap sama kamu." Baru mulut gue mau membuka, Tarangga datang, duduk di sofa bulat kecil di depan kami, pandangannya natap gue sambil senyum, "Mau makan siang apa, Miya?" tanyanya. Yang aneh adalah kenapa gue secara impulsif noleh ke Mala? Ngapain? Minta izin ke dia lo, Miya?  Udah gila emang. Gue maksa senyum lebar. "Mas mau makan siang apa?" Dia ketawa pelan. "Aku ikutin kamu. Kamu mau makan apa, La?" "Aku juga ikutin Miya." Senyumannya lebar. Kenapa jadi gue semua? Terus tiba-tiba Mala ketawa. "Dia jadi panik dong mukanya. Kamu jangan suka bikin dia kebingungan ya, Ga." Lengan gue dipeluk, gue makin syok. "Dia sekarang temen aku." Kedua alis Tarangga nyaris menyatu, dia natap aku dan Mala bergantian. "Gimana kalau Ayam Bakar Kremes aja?" Ide itu seolah paling brilian yang muncul di kepala gue saat ini. "Mau?" "Mala nggak suka ayam bakar." "Oh gitu ...." "Tapi kalau kamu mau itu, Mala biar pesen yang lain." Tatapannya fokus ke Mala. "Kamu mau apa?" "Apa ya.... jangan diliatin seolah aku harus mikir dalam sedetik dong, Ga. Please, nentuin menu makan nggak semudah kamu kalau ngerengek 'laper, La ....'---aw!" Dia terbahak saat Tarangga mencubit lengannya. "Dia ini nggak tahan laper lho, Miya. Ati-ati kamu, nggak ada makanan, kamu yang dikunyah---hahaha. Sakit, Aga!" Gue cuma ikutan ketawa. Ngebayangin gue 'dimakan' sama Tarangga. "Jadi mau apa? Nanti keburu Pak Supri nggak mood keluar." "Mau soto daging pak Emir itu lho, Ga. Aku udah lama banget nggak makan itu. Please ...." "Demi Tuhan, baru sebulan yang lalu." Mukanya kesal banget , atau pura-pura kesal ke Mala. Kemudian ia balik menatap gue, mengangguk, mengelus pundak gue. "Sebentar ya, aku pesenin makanan dulu." Setelah Tarangga menjauh, Mala kembali menghadapkan badannya ke arah. "Menurutmu, hal apa yang paling menarik dari dia?" Mati gue. Ditanya beginian sama mantan istrinya, harus gimana? "Kalau kata temen-temenku dulu, pantatnya enak dilihat." Dia malah memperbesar tawanya, mungkin karena muka bego gue. "Parah ya, pelecehan banget emang yang dibahas fisik. Tapi emang lho, nggak sedikit yang bilang itu. Sama satu lagi, senyuman mautnya. Itu kalau mereka belum kenal ya. Kalau udah kenal, makin menggila dengan kebaikan dan kesopanan Aga, katanya. Eyuh, dia kalau aku sampein hal ini suka salah tingkah, geliiii." Kali ini gue ikutan ketawa karena paham gimana salah tingkah yang dimaksud itu. Emang Tarangga akan berubah menjadi semakin gemas-hot-tampan dalam sekali waktu ketika dia salah tingkah. "Kalau menurutmu, Miya?" Gue jawab apa ya ... Sebenarnya pengen banget jawab hal-hal yang bermartabat gitu, tentang personality-nya, misalkan. Atau apa ya. Tentang betapa dia orang yang serius karena kasih gue buku? Ajak gue ke seminar? Itu kan yang bikin dia beda? Tololnya, yang keluar dari mulut gue malah, "Dia seksi dengan caranya sendiri." Oh, Buddy, Samiya Eila emang udah t***l semenjak memutuskan kenalan dengan om-nya Azriel dan segala t***k bengek yang nempel di dirinya. Mala senyum penuh arti, gue pusing secara harfiah.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN