BUKA SATU

1108 Kata
“Kalian makan saja. Itu makanan sudah datang bik Siwa juga makan jangan sampai tidak makan,” perintah Biru yang sedang bersama Siwa dan Senja. “Daddy, apa boleh aku tinggal sama mommyku saja? Aku tidur sama dia, belajar sama dia saja,” pinta Senja sambil makan. Bik Siwa memperhatikan majikannya makan terlebih dahulu. Sejak masuk sekolah semua guru mengingatkan agar anak-anak dibiarkan makan sendiri walau berantakan agar motoriknya terlatih juga mandiri. “Tidak bisa. Kecuali dia tinggal sama kita. Tapi kalau kamu tinggal sama dia tidak bisa,” kata Biru. Biru tahu siapa yang dipanggil mommy oleh Senja, sebab Senja menyebut mama kandungnya PEREMPUAN ITU, walau eyang, kakek dan dirinya mengajarkan agar menyebut Wangi dnegan panggilan MAMA, tapi Senja tak pernah mau. “Apa kamu tidak berpikir kalau mamamu akan melukai miss Lala bila kamu tinggal dengannya? Apa kamu mau mis Lala celaka seperti yang Daddy, eyang atau Kakek alami karena kemauannya tak dituruti?” “Besok Daddy bicara sama Miss Lala. Semoga saja dia mau menjadi guru privatmu tapi Daddy tidak berjanji dia mau tinggal dengan kita selamanya. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ ‘Mengapa aku lihat bayangan dia?’ Tanya Pelangi dalam hatinya. Jelas dia melihat Hasto ada di sekitar sekolah. Sudah dua hari mobil itu parkir di luar sekolah dan Pelangi melihat Hasto dalam mobil berkaca gelap itu dari jauh. Saat itu satpam sekolah mengetuk kaca jendela dan bertanya ingin menunggu siapa. Itulah sebabnya sejak dua hari ini pulang Pelangi selalu pulang melalui gang kecil sehingga tidak bisa dimasuki mobil. Dia takut kalau dikuti sampai rumah tentu bahaya. Pelangi pura-pura tidak tahu bahwa dia diikuti, sejak dua hari ini tapi dia sangat cermat masuk ke gang kecil yang benar-benar tidak masuk mobil padahal jadi memutar, karena dia harus ke kampus sepulang mengajar. ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ Sampai malam tidak ada bendera kuning ( di Jakarta tanda orang meninggal pakai bendera kuning, kalau di jawa tengah dan Jogja pakai bendera putih, daerah kalian pakai bendera apa? ) di rumah keluarga Syahab. Tentu saja Wangi jadi penasaran mengapa tak ada berita kematian soal mantan mertuanya itu. “Tapi seharusnya memang dia tidak mati. Seharusnya kan aku mengancam Biru dulu, lalu disentil sedikit bila tak digubris. Bukan dibikin langsung mati. Kenapa belum aku ancam tiba-tiba sudah ada kejadian itu?” Wangi jadi merasa aneh sendiri. “Aku belum mengancam loh, kalau dia mati juga tidak ada gunanya kan? Ini pasti kerjaan orang dua g0bl0k itu,” Wangi meradang. Tanpa membuang waktu dia langsung menuju rumah papanya. Wangi tidak tinggal di rumah papanya, sejak gadis dia tinggal di apartemen sendiri sebab tak suka dengan keberadaan ibu tirinya. Tanpa salam atau apa pun Wangi langsung membanting guci yang ada di dekatnya ketika baru masuk rumah papanya. Tentu saja Tsarwah Huwaida, istri kedua Ekata sebagai nyonya rumah kaget melihat Wangi datang mengamuk seperti itu. “Ada apa?” tanya Majeed Ekata Haz yang lebih dikekenal sebagai Ekata, papa kandung Wangi. “Siapa yang berani-berani mengacaukan planningku? Jawab sekarang atau aku bikin mati sekarang juga kalau tidak ada yang mau jawab. Waktu itu kita bicara hanya ber-tiga di kantor Papa!” teriak Wangi. Ekata dan Tsarwah tentu bingung karena mereka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Wangi. “Apa maksudmu?” Ekata bertanya sebab tak mengerti apa yang membuat Wangi berang kali ini. “Ada yang mengacaukan planning-ku. Aku belum mengancam Biru, aku belum mengancam Tara, kenapa tiba-tiba Julanar dibikin mati? Harusnya kan aku ancam dulu, bukan main bikin mati saja. Kalau dia mati itu g0bl0k! Tidak ada guna kan?” jelas Wangi. “Tidak bisa kan aku ngancam untuk Biru menikahi aku. Siapa yang bikin ini? Pasti dua anak g0bl0kmu itu kan!” kata Wangi tanpa menyaring kata-katanya. Tsarwah tentu saja kaget mendengar perkataan itu. Dia memang kemarin cerita bahwa Wangi ingin menghabisi Julanar ibunya Biru pada dua putranya, tapi dia sama sekali tidak menyuruh apa pun. “Tidak mau mengaku?” Oke kita lihat saja!” ancam Wangi keras. Wangi langsung pegang handphonenya, “Buka satu!” perintah Wangi. “Selamat tinggal. Itu baru teguran pertamaku! Tapi aku tak pernah kasih ampun pada siapa pun yang merusak program kerjaku!” Wangi memandang dengan senyum mengejek pada ibu tirinya, lalu keluar rumah tanpa pamit. Tsarwah bingung, kata-kata buka satu itu pasti kunci dari Wangi untuk berbuat aneh-aneh. Dia langsung cari di internet melalui Hpnya. Dan sekarang terlihat Parabawa Laksita Haz atau ARA, anak bungsunya sedang pesta narkoba dan sudah banyak komentar di sana. “Pa cepat take down berita ini, lihat kelakuan Wangi pada adiknya,” kata Tsarwah pada Ekata. “Dia berbuat itu pasti karena anak-anakmu bikin ulah kan? Sudah aku bilang jangan pernah ikut campur urusan Wangi. Tapi mereka selalu ikut campur. Ingat Wangi tak pernah menganggap mereka adiknya jadi jangan pernah kamu katakan dia adik-adiknya Wangi bila tak ingin membuat Wangi tambah marah padamu.” “Kamu jadi ibu saja g0bl0k, tidak bisa ngebilangin dua anakmu. Sekarang kalau Wangi seperti itu mau di take down habis berapa M juga tidak akan bisa, karena pasti akan dia buka yang lainnya.” “Percuma!” “Sekarang tinggal kamu kasih tahu sama anak-anakmu jangan pernah campuri urusanku dan Wangi kalau mereka mau hidup aman dan nyaman. Sebentar lagi lihat saja polisi pasti akan mencium kasus yang lain dan anak-anakmu itu akan terciduk.” “Itu tidak bisa ditutup, tidak bisa. Sudah terlihat Dia sedang pesta narkoba seperti itu sebentar lagi istri-istri mereka juga akan terbuka kasusnya,” ucap Ekata datar. Sejak lama dia tahu kelakuan dua anak lelaki idi0t yang dilahirkan Tsarwah. Mungkin sebenarnya mereka tak idi0t bila pola asuhnya benar seperti yang diterapkan Laksmi Kahiyang, mamanya Wangi yang mendidik anak tunggalnya dengan tegas dan sedikit keras agar putrinya jadi gadis mandiri yang tidak cengeng dan bisa jadi pemimpin. Sayang Kahiyang jadi gila karena disingkirkan Tsarwah dengan cara licik, sayang Ekata baru tahu setelah Kahiyang dirawat di RS Jiwa. “Jadi sekarang nikmati saja kelancangan yang kalian lakukan. Sudah berapa puluh kali aku mengingatkan jangan pernah campuri urusanku dan Wangi. Tapi kamu dan anak-anakmu tak pernah mau peduli. Merasa kalian paling pintar. Merasa kalian paling hebat. Sekarang kalau ini merembet kepada anakmu yang lain juga menantu-menantumu aku tak bisa berbuat apapun. Karena itu di luar kapasitasku.” “Sudah aku bilang berapa M pun ditutup untuk take down berita tersebut tidak akan mungkin bisa menyelesaikan masalah, kalau bukan Wangi yang men-take down sendiri. Itu sudah hukum baku buat Wangi. Tidak bisa siapa pun menembus apa yang Wangi buka. Dan ingat Wangi tidak pakai tangan sendiri, dia menyuruh suatu jasa yang hebat. Dia tadi cuma bilang kan buka satu, berarti kan ada yang lain dan berarti dia punya banyak data. Terlalu gegabah kalau kamu melawan Wangi!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN