Happy Reading
Alva saat itu langsung pergi ke rumah sakit setelah tahu di mana Tante Indira dirawat. Alva sebelumnya meminta Angga sang asisten pribadinya untuk mencari tahu di rumah sakit mana ibunya Aluna dirawat dan akhirnya sekarang Alva berdiri di depan resepsionis rumah sakit Mitra Hospital.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya resepsionis wanita yang terlihat begitu kagum terhadap pesona Alva.
Alva sadar kalau dia ditatap begitu intens oleh wanita itu, membuat Alva sebenarnya merasa risih. Entah kenapa Alva jadi tidak suka jika para wanita menatapnya dengan tatapan seperti itu–menggoda. Mungkin Alva akan suka jika yang menatapnya seperti itu adalah Aluna dan Alva yakin jika Aluna sekarang pasti tidak akan pernah lagi menatapnya dengan penuh cinta.
Alva merepih perih setiap kali mengingatkan jika dia telah kehilangan cinta yang begitu besar dan tulus dari wanita yang telah melahirkan anaknya itu.
"Pak ...." Alva kembali kepada kenyataan yang sekarang setelah resepsionis itu memanggilnya lagi.
"Saya ingin tahu di ruangan mana Bu Indira Sebastian dirawat," jawab Alva dengan datar
"Indira Sebastian, ya? Baik, kami akan mencari tahu terlebih dahulu, Pak," jawab resepsionis itu yang kali ini sepertinya lebih profesional karena melihat Alva yang begitu dingin.
Alva mengangguk, jantungnya berdegup lebih kencang saat ini. Setelah ini dia akan bertemu dengan Aluna dan anak mereka. Setelah enam tahun lebih mereka tidak bertemu, sudah sebesar apa anaknya, ya? Alva sama sekali tidak bisa membayangkan garis wajah anak biologisnya.
Entah kenapa rasanya sendi-sendi ototnya jadi kaku, dia tahu kalau dia ingin menemui Aluna dan anaknya untuk minta maaf dan hal itu langsung membuat Alva jadi grogi tidak karuan. Bukan hanya grogi, tetapi degupan jantungnya terdengar begitu keras.
"Bu Indira Sebastian ada di ruangan VIP 1 lantai 3 pak, Anda bisa langsung menaiki lift itu untuk ke sana," tunjuk resepsionis tersebut ke arah lift yang ada di bagian selatan.
"Oh, baik. Terima kasih." Alva langsung berjalan sedikit cepat untuk mencapai lift. Saat pintu lift terbuka dan Alva masuk ke dalam, pintu lift sebelahnya terbuka. Valen dan Jean keluar dari dalam.
Pintu lift Alva tertutup dengan gerakan slow motion, seperti di film-film drama dan akhirnya Alva tidak melihat Valen dan Jean yang berjalan menuju pintu keluar.
"Om Jean ini siapanya kakek?" tanya Valen pada pria dewasa yang menggandengnya itu menggunakan bahasa inggris. Valen melihat ke atas karena Jean memang tinggi sekali.
"Om ini asisten pribadi Kakeknya Valen," jawab Jean tersenyum samar. Pria itu sudah 3 tahun menjadi asisten pribadi Bima yang sebelumnya menggantikan ayahnya yang pensiun.
"Oh ...." Valen hanya ber-oh ria. Jean langsung menggendong Valen dan langsung berjalan menuju parkiran. Tadi Aluna sudah meminta Valen untuk pulang karena tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Aluna meminta Jean menjaganya selama dia di rumah sakit. Nanti malam Aluna berjanji akan pulang.
Di sisi lain.
Alva langsung berjalan cepat setelah keluar dari dalam lift, dia celingukan mencari kamar VIP 1 dan di sana ada beberapa ruangan khusus. Alva melihat ruangan itu di pojok dan langsung berjalan menuju ke sana. Akan tetapi saat ingin mengetuk pintu, Alva mengurungkan niatnya.
"Duh, gimana tanggapan mereka kalau aku tiba-tiba datang? Apalagi tante India terlihat begitu tidak menyukaiku. Takutnya nanti malah beliau jadi tambah drop saat melihat kedatanganku," gumam Alva.
Pria itu akhirnya menjauh dari depan ruang rawat Tante Indira, yang penting Alva sudah tahu di mana ruangannya.
Alva mendengar pintu terbuka, entah kenapa dia reflek masuk ke dalam ruangan di depan ruangan Tante Indira, Alva tidak ingin ada yang tahu jika dia ada di sana. Entah pergi ke mana keberaniannya tadi, padahal tadi dia sangat percaya diri ingin mengejar Aluna dan bicara kepadanya, akan tetapi setelah dia berhasil berada di dekat Aluna, tiba-tiba Alva menjadi begitu takut. Bukan pengecut, ya? Alva hanya takut nanti keadaan tante Indira jadi drop kalau sampai Alva muncul dan hal itu semakin membuat Aluna membencinya, tahu sendiri kan kalau tante Indira masih begitu tidak menyukainya.
Berbeda dengan Om Bima, yang menanggapinya dengan lebih baik setelah Alva berani mengatakan isi hatinya pada Om Bima tiga tahun lalu. Akan tetapi untuk segalanya, Om Bima hanya menyerahkan pada Aluna, bagaimana baiknya nanti karena biar bagaimanapun ada anak diantara mereka.
"Pa, nanti setelah ini Luna mau nyari pengasuh buat Valen. Kalau nantinya Luna tinggal, kan ada yang jaga di rumah." Alva mendengar suara itu, suara yang sudah enam tahun lalu tidak dia dengar lagi. Suara yang sangat dia rindukan.
Alva melongok ke keluar untuk melihat Aluna yang sepertinya tengah bicara pada ayahnya itu, tetapi dia dikejutkan dengan suara seorang wanita dari dalam.
"Masnya siapa, ya?"
"Eh, maaf mbak, saya numpang ngumpet, ya?"
***
Mutia menatap wajahnya di depan cermin, matanya sembab dan hidungnya merah. Sudah hampir satu jam dia menangis dan rasanya sekarang kepalanya begitu pusing.
"Cukup, Mutia. Kamu nggak akan pernah bisa menjadi seperti Aluna, sekian lama kamu berusaha menjadi seperti dia, buktinya Alva tidak pernah mau melihatmu. Seandainya saja dulu kamu nggak pernah mengungkapkan semuanya dan Alva nggak pernah dengar hal itu, pasti sampai sekarang kehidupan kami akan bahagia. Tapi, aku tahu jika hidup dengan merebut kebahagiaan orang lain itu tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia, sekarang ikhlaskan," lirih Mutia menyemangati dirinya sendiri.
Masih menatap cermin yang ada di toilet kantor, tadi setelah Alva pergi dengan tergesa keluar dari kantor, Mutia langsung teringat semua yang telah dia lakukan dulu terhadap Alfa dan Aluna.
Saat itu, dia bahagia sekali bisa mendapatkan hati Alva, bahkan pria itu sampai serius dengan hubungan mereka. Alva melamarnya, pernikahan itu pun terjadi. Tetapi sesuatu yang dimulai dari sebuah kecurangan pasti tidak akan pernah abadi. Bukan dalam hitungan tahun, tetapi hanya dalam hitungan hari saja sikap Alva sedikit berubah padanya. Apalagi setelah Alva tidak sengaja mendengar perkataan Mutia kepada sang ibu waktu di kamarnya, sontak saja hal itu membuat Alva murka dan sejak saat itu pernikahan yang Mutia gadang akan membuat hidupnya bahagia, ternyata malah seperti neraka yang membuat hidupnya selalu terbakar dalam bara api yang dia sulut sendiri.
"Bu, Alva belum pernah nyentuh aku, padahal ini udah seminggu kami resmi sebagai suami istri." Mutia mengingat saat di mana dia curhat pada ibunya yang datang seminggu setelah pernikahan mereka.
Saat itulah Mutia curhat kalau sampai saat itu Alva bahkan belum mau menyentuhnya sama sekali.
"Kenapa? Kok bisa? Apakah kalian ada masalah?"
"Nggak kok, kami nggak ada masalah sama sekali. Malah Alva yang berubah setelah acara pernikahan kami, dia tidak mendapati Luna datang, bahkan Om Bima sama tante Indira juga nggak dateng di acara pernikahan kami. Saat itu Alva langsung datang ke rumah Aluna setelah acara pernikahan kami selesai, tapi setelah pulang dari sana sikap Alva jadi murung dan dia seperti ingin selalu menyendiri bahkan saat tidur pun, Alva selalu memunggungi ku. Saat ku tanya ataupun aku kode cium-cium gitu, biar Alva terpancing, tapi Alva selalu menolak dan jawabannya selalu bilang kalau dia capek."
"Ya mungkin dia memang capek beneran, kamu jangan terlalu berpikir negatif gitu dong."
"Bu, apa Alva tahu ya, kalau sebenarnya selama ini aku bohong sama dia."
"Bohong gimana?"
Mutia saat itu langsung menceritakan yang sebenarnya pada sang ibu tanpa Mutia tahu jika Alva ada di balik pintu kamar yang sedikit terbuka dan mendengarkan semuanya.
Bersambung.