Happy Reading
"Paman siapa?"
Alva rasanya ingin menangis, jantungnya berdetak begitu cepat saat melihat sosok anak laki-laki di depannya ini. Fitur garis wajahnya mengingatkan dirinya saat masih kecil, mereka seperti pinang dibelah dua, jika Alva versi dewasa maka anak laki-laki di depannya ini adalah versi kecilnya.
"Apakah kamu anakku? Benih yang dulu pernah tidak ingin aku akui? Benih yang dulu pernah aku minta gugurkan?" ucapan ini hanya dalam hati. Alva tidak berani mengucapkan hal tersebut.
Sungguh rasanya ingin menangis saat melihat anak laki-laki yang dia duga anak biologisnya itu. Aluna merawatnya dengan sangat baik, dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang sangat tampan.
"Valen, siapa yang bertamu?" Suara seorang wanita dari dalam menyentak lamunan Alva. Dia langsung mengusap sudut matanya yang sudah berair karena tidak ingin dipergoki anaknya tengah menangis dengan menoleh ke belakang. Setelahnya Alva langsung berbalik lagi.
Alva terkejut melihat wanita seusianya yang berjalan cepat ke arah Valen dan langsung menggendong anak laki-laki itu.
"Maaf, Bapak siapa, ya? Apakah tamunya Pak Bima?" tanya wanita itu.
Alva tidak mengenalnya, bahkan wanita itu pun tidak mengetahui siapa dirinya. Seharusnya kalau itu keluarga Aluna ataupun asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini, mereka tentu mengenal dengan baik siapa Alva. Hampir enam tahun ini Alva sering bolak balik ke rumah Aluna hanya sekedar meminta maaf dan mencuri perhatian Tante Indira. Walau akhirnya dia hanya akan diusir dan dicaci maki oleh wanita yang telah melahirkan Aluna itu.
Bahkan barang-barang yang dia bawa pasti hanya akan berakhir di tempat sampah. Namun, Alva tidak pernah merasa tersinggung ataupun lelah untuk minta maaf. Sampai seluruh asisten rumah tangga yang ada di rumah om Bima selalu memandangnya dengan wajah kasihan.
Akan tetapi, sepertinya wanita yang ada dihadapannya ini orang baru, jadi dia tidak tahu siapa Alva.
"Ya, saya mencari Pak Bima. Apakah beliau ada?" tanya Alva. Tidak mungkin 'kan kalau dia langsung bertanya tentang Aluna.
"Oh, Pak Bima barusan pergi ke rumah sakit bersama dengan Maminya Valen. Silakan masuk dulu Pak, tidak enak kalau bicara di tengah pintu seperti ini," ujar wanita itu membuka pintu lebih lebar agar tamunya bisa masuk.
Valen masih berada di gendongan wanita muda itu sambil terus menatap wajah Alva.
"Jadi, Pak Bima sama Aluna sudah pergi?"
"Iya, Pak."
Meskipun Alva kecewa karena tidak bisa bertemu lagi dengan Aluna tetapi dia merasa sangat senang bisa bertemu dengan putranya. Tadi siapa namanya? Alva sudah mendengar dari wanita yang tengah menggendong putranya itu jika namanya adalah Valen.
"Namanya siapa, boy?" tanya Alva tentu dalam bahasa Inggris karena Alva tahu jika Valen besar di negara tersebut.
"Namaku, Valen. Paman ini siapa?" tanya Valen yang ternyata mahir berbahasa Indonesia. Karena sekarang Valen menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Sepertinya Aluna memang mengajarkan bahasanya sendiri meskipun dia besar di negara lain. Entah kenapa rasanya Alva ingin menangis, meluapkan semua kesedihannya dengan memeluk putranya itu.
Dada Alva rasanya seperti diremas oleh tangan tak kasat mata. Dia merasa begitu sedih dan sesak saat melihat putranya yang sudah sebesar ini. Apalagi yang lebih menyayat hati jika dibandingkan anaknya sendiri yang tidak mengenalinya sama sekali.
Alva tahu jika setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya. Dia dulu menolak dengan tegas kehamilan Aluna dan bahkan meminta wanita itu untuk menggugurkan janin yang bersemayam di rahimnya. Akan tetapi, sekarang Alva rasanya seperti jatuh cinta kepada putranya itu.
"Bolehkah ...."
Alva meminta Valen kepada wanita yang Alva duga adalah pengasuhnya. Wanita itu tidak curiga sama sekali karena setelah melihat postur wajah Alva yang ternyata sangat mirip dengan Valen, wanita itu sudah menduga jika Alva adalah Ayah dari pria cilik yang dia asuh itu.
"Valen, mau digendong sama paman itu?" tanya Sintia–pengasuh Valen yang baru bertugas kemarin sore. Dia sedikit tahu cerita tentang ibunya Valen yang pergi saat hamil dan pria yang menghamilinya tidak tanggung jawab. Itu cerita dari beberapa pelayan yang ada di rumah ini.
Valen mengangguk, sejak tadi pria cilik itu memang merasa ada sesuatu di hatinya yang membuncah ketika melihat Alva pertama kali, entah kenapa Valen merasa sangat penasaran dengan paman yang datang mencari kakeknya tersebut.
Cynthia menurunkan Valen dari gendongannya dan saat itu juga Alva langsung menunduk menyamarkan dirinya dengan Valen. Ingin sekali rasanya Alva merengkuh tubuh cilik itu, tetapi Alva tidak mau jika Valen menjadi ketakutan karena ini adalah pertemuan pertama mereka. Tangan Alva hanya terangkat untuk mengelus rambut sang putra yang lurus hitam seperti rambutnya.
Ada desiran halus di d**a Alva dan tiba-tiba hal tersebut terasa sangat menyakitkan seperti disayat-sayat oleh ribuan silet saat menatap wajah yang benar-benar mirip dengannya saat masih kecil itu. Tidak perlu tes DNA hanya untuk membuktikan jika laki-laki kecil ini adalah keturunannya.
"Nak, boleh pa ... paman peluk kamu?"
Valen diam saja, kemudian dia menoleh ke arah pengasuhnya. Valen selalu ingat perkataan sang Ibu jika dia tidak boleh dekat dengan orang asing apalagi orang itu belum pernah dia lihat sama sekali. Akan tetapi entah kenapa rasanya beda dengan paman yang ada di depannya ini.
"Boleh, Paman," jawab Valen akhirnya.
Alva tentu saja merasa sangat bahagia, dia langsung memeluk Valen dengan erat dengan perasaan yang membuncah. Air matanya mengenang dan detik berikutnya pun menetes. Rasanya seperti mimpi. Alva pun menggendong Valen dan mengurus punggung anaknya tersebut.
"Maafin Papa ya nak, dulu Papa pernah tidak menginginkanmu. Saat kamu masih berada di dalam perut Mama, meskipun sebenarnya saat itu Papa hanya bimbang dan bingung, bukan bermaksud tidak ingin bertanggung jawab. Sekarang papa senang sekali melihatmu sudah tumbuh sebesar ini, entah bagaimana dulu jika mamamu benar-benar tidak menginginkanmu karena ucapan papa yang begitu menyakitkanm. Maafkan Papa sekali lagi, nak," kata-kata ini hanya terucap dalam hati saja.
***
Aluna dengan telaten memberikan potongan apel kepada mamanya. Sang Mama juga sudah terlihat lebih cerah wajahnya, tidak pucat lagi.
"Mama harus sembuh, Valen udah nunggu neneknya di rumah," ujar Aluna.
"Jadi kalian akan menetap di sini, kan? Tidak pergi lagi?"
"Luna akan menetap di sini, Ma. Bentar lagi Valen juga udah masuk TK, lebih baik sekolah di sini. Nanti Luna juga mau nyari kerja."
"Kerja di perusahaan Papa?" Aluna menggeleng.
"Bukan, nanti nyari kerja di perusahaan lain."
"Nak, kenapa nggak kerja di perusahaan Papa?" tanya sang Mama.
"Perusahaan papa bergerak di bidang furniture, sedangkan Luna kuliah di bidang kecantikan. Kan, nggak masuk blas," jawab Aluna terkekeh.
"Ya sudah, yang penting kamu tetap di sini dan nggak pergi lagi, Mama cuma punya kamu, anak satu-satunya. Di masa tua ini, Mama hanya ingin dekat dengan anak dan cucu."
Aluna tersenyum dan mengelus tangan mamanya. "Maafin Luna, ya Ma. Karena keegoisan Luna, mama jadi menahan diri selama ini."
Indira ikutan menggenggam tangan sang putri. "Nggak apa-apa, itu mungkin lebih baik daripada kamu harus tetap di sini. Mungkin akan lain ceritanya kalau tetap tinggal di Indonesia. Tapi, menurut mama semua ini sudah cukup. Waktu 6 tahun seharusnya sudah bisa membuat luka kamu menutup meskipun tidak sempurna."
***
"Assalamualaikum, Mami pulang!" Aluna masuk ke dalam rumah tetapi tidak melihat Valen yang menyambutnya.
"Eh, kemana si jagoan?" gumam Aluna.
Apa Valen sudah tidur siang? Mungkin saja.
Aluna memutuskan untuk masuk ke dalam, dia mau ke dapur untuk meletakkan buah-buahan yang dia beli tadi saat di perjalanan pulang dari rumah sakit. Aluna akan meletakkannya di dalam kulkas. Tetapi saat Aluna mencapai ruang keluarga, dia mendengar suara seorang pria yang tengah tertawa bersama dengan suara Valen.
Deg!
Aluna terkejut saat melihat putranya bermain dengan seorang pria yang tidak asing.
Bersambung.