Bab 1. Hamil

1329 Kata
Happy Reading "Dua garis!" Aluna menutup mulutnya dengan punggung tangan, matanya melotot tidak percaya. "Itu artinya aku hamil?" Jantung Aluna berdegup kencang, testpack itu pun terjatuh dari tangannya. Bagai disambar petir di siang bolong, perasaan Aluna dua bulan ini yang mengira jika dirinya telah berbadan dua benar-benar menjadi kenyataan. Dia hamil dan ayah dari janin yang dikandungnya seminggu lagi akan menikah dengan sahabatnya sendiri. "Nggak! Ini nggak bisa dibiarkan! Aku harus kasih tahu Alva. Dia harus tanggung jawab!" Alva Ivanno Xanders, pria yang selama ini dicintai oleh Aluna Sebastian Charles dengan ugal-ugalan selama 6 tahun, tetapi perasaan Aluna harus bertepuk sebelah tangan karena Alva malah jatuh cinta pada sahabat baiknya–Mutia Billar. "Dengan testpack ini seharusnya Alva batal nikahi Mutia, dia harus nerima anak yang ada di kandunganku." Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Aluna memutuskan untuk pergi ke rumah Alva. Sungguh dia tidak menyangka jika perbuatan Alva dua bulan lalu membuahkan benih dalam rahimnya. Luna masih ingat dengan jelas saat itu mereka tengah berpesta di sebuah bar terkenal di kota Jakarta. Alva mengajak Aluna, mereka memang sedekat itu. Sejak kelas 3 SMA sampai selesai kuliah dan bekerja, Aluna adalah orang yang selalu ada untuk Alva. Begitupun sebaliknya, tetapi Alva murni menganggapnya sahabat bahkan setiap Luna menyatakan perasaannya, Alva selalu mengatakan jika dia menganggap Aluna sebatas teman bahkan saudara, tidak lebih dan Alva juga mengatakan jika dia tidak akan bisa jatuh cinta pada saudara sendiri, diibaratkan seperti itu. Padahal jelas-jelas mereka tidak ada hubungan darah sama sekali, Aluna sabar dan berusaha untuk menerima keputusan Alva. Berharap jika kebersamaan mereka suatu saat nanti bisa membuat Alva terketuk pintu hatinya dan mulai belajar mencintainya. Akan tetapi, dua tahun yang lalu, saat Aluna mengenalkan Mutia pada Alva, bencana itu terjadi. Diam-diam dibelakang Aluna, Alva dan Mutia sering bertemu dan akhirnya menjalin hubungan. Hal itu membuat Aluna kecewa berat dan patah hati. Apalagi beberapa bulan yang lalu Alva telah melamar Mutia dan mereka dipastikan akan segera menikah seminggu lagi. Mungkin hal itulah yang membuat Aluna nekat memberikan obat perangsang pada minuman Alva dua bulan lalu dan berakhir mereka berhubungan intim. Alva saat itu minta maaf dan merasa bersalah, tetapi Alva juga sama sekali tidak bersedia untuk tanggung jawab karena dia tidak ingin menyakiti Mutia. "Please, Lun. Anggap aja kita one night stand dan setelah itu nggak ada apa-apa. Gue tahu gue salah, gue juga nggak sadar semalam. Sepertinya gue terlalu mabuk dan akhirnya gue nidurin lu, please maafin gue, ya?" "Tapi, gue udah kehilangan hal yang berharga, Al!" "Iya, gue tahu. Gue pasti nggak akan pernah ninggalin lu, gue janji pasti bakal ada terus." "Beneran, Al. Lu mau tanggung jawab?" "Bukan tanggung jawab seperti itu, gue nggak bisa ninggalin Mutia, gue tetep akan sama dia, nikahin dia." "Jadi, maksudnya lu nggak akan ninggalin gue, apa?" "Ya, gue bakal jagain lu, sebagai seorang kakak." "Lu emang b******k, Al. Kenapa sih lu nggak bisa cinta sama gue?! Apa kurangnya gue? Apa kelebihan Mutia yang nggak gue punya?! Bilang Al, biar gue bisa seperti yang lu harapkan!" "Nggak ada, Lun. Gue sayang sama elu tapi cuma sebatas sahabat. Nggak lebih! Dan sebaiknya kita lupain malam ini. Anggap aja kita gak pernah lakukan itu." *** Aluna masih ingat dengan jelas perkataan Alva padanya saat itu, pria itu tetap tidak mau bertanggung jawab meskipun sudah menodainya. Rasanya Aluna sudah ingin menyerah saja, dia tidak bisa memaksa perasaan Alva yang memang tidak bisa mencintainya. Akan tetapi, setelah dia mengetahui jika dirinya hamil, tentu saja hal itu membuat Aluna harus egois dan Alva harus bertanggung jawab atas benih yang tumbuh di dalam rahimnya. Memang setelah malam panas itu, Alva terkesan menghindarinya. Aluna tahu dan dia juga merasakan hal itu, sepertinya Alva memang tidak bisa untuk mencintainya. Tetapi, setidaknya setelah tahu dia hamil, seharusnya Alva bisa menyukai anak yang ada di dalam rahimnya, bukan? "Al, lu di rumah, nggak?" tanya Luna saat panggilan teleponnya diangkat oleh Alva. "Hem, gue di rumah. Ada apa?" Seperti inilah sekarang Alva, semakin dingin dan menjauh. "Gue mau bicara, bisa kita ketemu?" Hening sebentar. Aluna sudah meremas setir mobilnya saat menunggu jawaban dari Alva. "Oke, kita ketemu di kafe biasa." "Di rumah lu aja, sekarang gue udah di depan rumah lu." *** Alva menatap wajah cantik didepannya ini, wanita yang selama dua bulan ini dia hindari karena sebuah kesalahan fatal yang dia buat. Alva hanya tidak ingin merasa semakin bersalah jika harus bertemu dengan Aluna setiap saat seperti dulu. Jika bertemu dengan Luna, hati Alva merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang aneh muncul tiap kali berhadapan dengan wanita itu. Ah, mungkin saja karena malam panas itu mengubah segalanya. Mengubah sesuatu dalam hati Alva sehingga membuatnya tidak bisa berlama-lama dengan Luna. "Ada apa?" Aluna menatap wajah tampan Alva yang sangat dia gilai ini. Selain tampan, hati Alva juga lembut. Dia selalu bisa membuat Luna berbunga-bunga hanya dengan perhatiannya saja. Alva memang seperhatian itu dari dulu, siapa yang tidak akan jatuh cinta kepada pria seperti itu. Aluna menghela napas, dia harus bicara. "Al, gue mau kasih tau sesuatu." Luna menunduk dan meremas ujung roknya dengan perasaan gelisah. Jantungnya berdegup kencang bahkan napasnya terasa berat. Apakah ini keputusan yang baik? Mengatakan yang sebenarnya pada Alva sebelum semuanya terlambat. Ya, sebelum Alva mengucapkan ijab qobul di hadapan Ayah Mutia seminggu lagi, bukankah semuanya masih bisa dirubah. Alva akan tanggung jawab menikahinya karena ada anak diantara mereka dan dia akan membatalkan pernikahannya dengan Mutia. Seharusnya Mutia bisa mengerti karena sejatinya Alva memang diciptakan untuk Aluna. Ya, benar. Alva hanya untuk Aluna dan Tuhan memberikan janin di rahimnya agar mereka bisa bersama. Aluna sudah membayangkan jika dia nanti akhirnya menikah dengan Alva dan membangun rumah tangga yang bahagia. Ah, kenapa hanya dengan menghayal saja bisa membuat hati Aluna berbunga-bunga. "Apa Lun? Gue sibuk, kalau lu mau bicara ya cepat bicara, jangan cuma diem aja!" Luna sedikit tersentak mendengar ucapan Alva yang naik setingkat. "Gue ... gue hamil Al." Waktu seakan berhenti, Luna bisa melihat jika tubuh Alva menegang, pupil matanya melotot sempurna. Pastinya dia terkejut sekali. "Apa?! Lu nggak usah bercanda, Lun!" suara Alva berbisik, meskipun masih terdengar tajam. Matanya melihat sekeliling, saat ini mereka berada di taman belakang halaman rumah Alva. "Gue nggak bohong Al. Ini buktinya!" Aluna menyodorkan tespek yang dia bawa. Tentu saja dia harus membawa bukti itu jika Alva tidak percaya. "Ini dua garis merah dan lu tahu sendiri kan artinya apa? Malam itu gue kehilangan kesucian gue dan yang ngambil itu lu, Al. Nggak usah pura-pura lupa!" Alva langsung merebut testpack itu dan mematahkannya meskipun sulit. Aluna yang melihat hal itu tentu saja terkejut. "Lu apa-apaan, sih!" Aluna berusaha merebut benda kecil itu dan berhasil, dia sungguh tidak menduga Alva malah merusak barang bukti. "Gugurin kandungan lu, gue nggak akan bertanggung jawab! Gue udah mau nikah sama Mutia, semua persiapan udah hampir seratus persen dan gue nggak mau pernikahan itu batal. Jadi sebaiknya lu gugurin kandungan itu!" "b******k lu, ya! Tega lu nyuruh gue bunuh darah daging lu sendiri!" Aluna sangat marah, dia tidak menyangka jika Alva tega mengatakan hal seperti itu. "Itu bukan benih dari gue! Gue nggak menginginkan benih itu! Lu harus buang karena hanya Mutia yang akan mengandung benih gue!" Mata Aluna berkaca-kaca mendengar ucapan Alva yang begitu kasar dan menyakitkan, dadanya sesak sekali, Aluna sampai kesulitan bernapas. Padahal dia kira Alva akan bertanggung jawab jika tahu dia mengandung, tetapi ternyata Aluna salah. Alva tetap tidak mau bertanggung jawab dan menikahinya, dia lebih memilih menyuruh Aluna untuk menggugurkan janin di dalam perutnya itu. Dari sini sudah bisa dilihat betapa Alva memang tidak bisa mencintainya. Cukup sudah menanggung semua perasaan ini sendirian, cukup sudah dia sakit hati karena perbuatan Alva dan puncaknya ketika pria itu tetap tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri. "Lu laki-laki b******k yang pernah gue kenal! Mulai sekarang, detik ini juga pertemanan kita putus, anggap aja kita nggak pernah saling kenal dan ingat!" Aluna menunjuk muka Alva. "Lu pasti bakal nyesel dan hidup lu nggak akan tenang!" Setelah mengatakan itu Aluna langsung pergi meninggalkan Alva yang masih mematung di tempatnya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN