12 : Yama yang Makin Perhatian

1612 Kata
“Memangnya Umi mau cari pekerjaan seperti apa?” Pertanyaan yang terdengar diliputi kasih sayang tulus dari seorang Yama tersebut, membuat langkah seorang Arsy berhenti. Di jalan yang kanan kirinya merupakan pasar dan lima hari lalu ia datangi untuk pertama kalinya bersama orang tua Daven, Arsy merasa sangat sedih. Benar kata Yama, pekerjaan seperti apa yang Arsy cari? Tiga hari mondar-mandir berjalan kaki, melongok dan mengetuk setiap pintu toko yang ia lewati, Arsy selalu mundur di setiap pihak toko menanyakan bukti pendidikan Arsy sebagai sarat mutlak dalam melamar pekerjaan. Tentu saja Arsy hanya akan mendapatkan pekerjaan yang akan membuat Arsy makin dianggap rendah oleh Daven dan juga semua orang yang tidak menyukai Arsy. Andai pun Arsy meminta bantuan kenalannya di kampung, pasti itu hanya akan membuat orang sekampung geger karena yang mereka tahu, Arsy menikah dengan pria kota kaya, meski dulunya Daven sekeluarga juga tinggal di kampung mereka. Serba salah, lagi-lagi Arsy menyadari, segala sesuatunya butuh fondasi yang kuat tanpa terkecuali dalam urusan pekerjaan. Karena jika menginginkan jabatan tinggi atau setidaknya posisi yang bisa membuat kita disegani, tentu saja kita juga harus memiliki pendidikan yang tak kalah tinggi. Hanya bermodal keberanian dan nekat belum cukup membuat kita mampu mendapatkan kesuksesan tanpa dukungan lain. Kalaupun bisa, Arsy pasti harus berjuang berdarah-darah. Arsy akan babak belur dengan kepedihan kehidupan yang hanya indah jika dibayangkan. Sebenarnya jika posisi Arsy tak terikat oleh pernikahan dan juga kekangan orang tua kandungnya, Arsy bisa saja lari atau semacam menjadi TKW ke luar negeri. Namun, Arsy memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam menjaga harkat dan juga martabat keluarga. Tak terbayang andai pekerjaan Arsy hanya sebatas tukang bantu atau buruh kasar, pasti yang ada Daven makin menertawakannya. Dan otomatis, sang bapak juga akan murka. Membayangkan semua itu, Arsy menangis. Gadis itu menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajah. Yama yang turut bersedih, berkaca-kaca dan juga tak tega pada Arsy. Tangan kanannya nyaris meraih kedua tangan Arsy yang masih menutupi wajah di antara keramaian sekitar dan sesekali menjadikan mereka pusat perhatian. Namun, Yama ingat, Arsy melarangnya untuk menyentuh Arsy. Arsy bilang mereka bukan muhrim sekalipun Yama yakin, Arsy merupakan istrinya. Suasana di sana memang sangat ramai, penuh hiruk pikuk kehidupan. Kendaraan yang tetap ramai meski sebagian pedagang menggunakan jalan untuk berdagang. Angkutan umum yang asal berhenti hingga membuat jalanan makin penuh, juga seruan klakson dari setiap kendaraan yang membuat suasana bising penghuni pasar, makin tidak karuan. Kendati demikian, dunia seorang Yama hanya berputar di sekitar Arsy. Yama bahkan merasa, dunianya hanya dihuni oleh Arsy dan dirinya. Aku yakin, bukan hanya aku yang pernah menangis karena tidak memiliki pekerjaan. Enggak terbayang jika ini juga terjadi pada mereka yang memiliki banyak kebutuhan. Mereka yang dengan bersemangat keluar dari rumah dengan keyakinan akan mendapat pekerjaan dan otomatis akan ada upah yang mereka dapatkan untuk memenuhi kebutuhan atau setidaknya makan di hari itu, ... Namun, jangankan upah dan kebutuhan termasuk makan di hari itu yang terpenuhi, mendapatkan pekerjaan saja, mereka tidak, batin Arsy. Ia menyapu lembut air matanya kemudian mengamati sekitar. Jangan menyerah, Sy. Jangan menyerah. Pasti ada jalan, batinnya sambil terus berdoa dalam hati. Sudah tiga hari aku lontang-lantung di sini. Sudah tiga hari pula aku izin keluar dan selalu bikin orang tua mas Daven khawatir. Meski aku tahu kekhawatiran mereka tak semata takut aku kenapa-kenapa karena mereka pasti takut aku salah bergaul apalagi dengan laki-laki lain selain mas Daven, aku tetap menghargai kepedulian mereka kepadaku. Arsy yang masih berbicara dalam hati mendadak fokus menatap dua ruko di hadapannya. Ruko tersebut saling bersebelahan. Satu merupakan toko ponsel lengkap dengan aksesorinya, satunya lagi merupakan tukang jahit. Aku butuh ponsel karena aku bisa memanfaatkan kecanggihan ponsel untuk bekerja secara online. Namun, mesin jahit juga penting karena dari mesin jahit, aku bisa bikin pakaian kemudian aku jual, pikir Arsy. Karena andai Arsy memiliki mesin jahit, tentu ia tak harus keluar rumah dan mondar-mandir mencari pekerjaan di luar. “Umi, mesin jahit di rumah juga masih bagus, kan? Apa Umi mau yang baru? Kita bisa pergi ke toko buat beli yang lebih bagus.” Yama dan segala perhatiannya, Arsy masih kerap dibuat tak percaya, pria yang tampak dingin tak kenal aturan tersebut begitu lembut jika kepadanya. Dari awal, Arsy memang takut bahkan sangat takut kepada Yama. Terlebih embel-embel Yama yang menjadi kurang waras setelah ditinggal sang istri, Arsy sampai panas dingin bahkan meski baru melihat penampakan Yama. Arsy tak pernah memperlakukan Yama dengan berbeda, meski awalnya sempat berpikir Yama berbahaya. Namun seiring kebersamaan mereka yang baru berlangsung lima hari, rasa takut itu sirna. Arsy nyaman-nyaman saja didekati Yama terlebih Yama juga tipikal penurut sekaligus lembut. Tubuh Yama memang besar dan berotot, wajah juga garang tak kalah menyeramkan dari preman meski di mata Arsy, Yama jauh lebih tampan bahkan jika dibandingkan dengan Daven. Terlebih mata hazel Yama ketika menatap Arsy. Semua yang berkaitan dengan Yama dan dikata orang menakutkan sekaligus berbahaya sungguh tak berlaku ketika Yama kepada Arsy. “Aku bukan umi Mas Yama, Mas. Aku Arsy. Umi Mas, ... umi Mas sudah meninggal.” Arsy berharap, keyakinan yang baru ia sampaikan, kali ini akan membuat Yama mengerti. Terlebih Arsy yakin, alasan Yama berlaku lembut kepadanya karena pria itu menganggapnya sebagai sang istri. “Sama saja.” Yama berucap yakin. “Beda ....” “Sama saja karena ke Umi sayang, ke Arsy juga sayang.” Mendengar penjelasan tegas Yama yang masih bertutur lembut, hati Arsy refleks berkedut. Mas Yama hafal namaku? Batinnya yang buru-buru menghindar. Ia memutuskan untuk menghampiri ruko keberadaan penjahit. Ia menanyakan harga dan juga tipe mesin jahit. Alhamdullilah pria paruh baya berkacamata bening yang Arsy datangi merespons dengan sangat sopan. Pria tersebut bahkan memberikan brosur dirinya biasa membeli mesin jahit beserta perlengkapannya kepada Arsy. Ini alamat di mana? Ada nomor telepon, WA ..., batin Arsy yang kali ini melirik toko di sebelah kirinya dan tak lain toko ponsel. Yama yang melihat gelagat Arsy, berpikir Arsy butuh ponsel apalagi sejauh ini, mereka tak pernah memakai gawai dalam berkomunikasi. Yama bergegas menghampiri toko ponselnya lebih dulu. “Umi Arsy, Umi mau yang mana?” tawar Yama meski setelah itu, kepada pemuda yang menjaga toko, ia menanyakan ponsel yang paling bagus. “Eh, Mas!” Arsy panik. Bukan semata karena tak mau dibelikan dan memang takut akan berdampak fatal meski tidak langsung dalam artian terjadi sekarang, tetapi ia yang yakin Yama tidak membawa uang. “Umi Arsy kenapa?” Yama menatap bingung Arsy. “Mas enggak bawa uang, kan? Kalau mau beli harus pakai uang.” Arsy berpikir, sejak kapan orang kurang waras masih membawa uang? Paling tidak jika pun membawa, pasti akan dibuang sembarangan. Namun, ... Yama malah memberikan dompet terbilang tebal karena penuh ATM dan kartu kredit, kepada Arsy! Iya, Yama menyimpan dompetnya di balik saku jaket bagian dalam yang dipakai. “Umi Arsy saja yang pegang. Terus, Umi mau beli apa lagi? Kita ke mal, yuk? Kita beli baju baru juga buat Umi. Dari kemarin, baju umi, itu-itu aja.” Arsy terdiam tak percaya menatap Yama. Orang ini .... Arsy menjadi meragukan ketidakwarasan Yama. Karena harusnya, ... harusnya Yama waras. “Enggak ... enggak. Aku mau beli sendiri saja. Simpan ... ini simpan.” Arsy mengembalikan dompet Yama, dan sengaja memaksa karena Yama terus menolak. Hasilnya, Yama tetap menolak. “Pegang Umi saja ih,” lirih Yama yang juga tak kalah memaksa. Bedanya, ia tetap melakukannya dengan lembut. “Mas Yama,” rengek Arsy mulai kewalahan menghadapi Yama. Arsy takut akan mendapat masalah baru jika ia sampai memakai uang Yama. “Oke, aku yang pegang dompetnya, tapi Umi ambil hape yang paling bagus, ya? Biar kalau ada apa-apa, Umi bisa langsung menghubungiku terlebih Umi tetap enggak mau tinggal di rumah.” Kali ini, Yama sungguh tidak menerima penolakan dan tentu saja, Arsy harus memilih. *** Arsy baru saja selesai salat Ashar, ponsel canggih pemberian Yama, berdering. Dering yang terus bersenandung dan membuat Arsy bingung karena biar bagaimanapun, kini merupakan pertama kalinya Arsy memiliki ponsel. “Sepertinya memang telepon, tapi dari siapa?” tanpa melepas mukenanya lebih dulu, Arsy memastikan. Itu dari nomor baru dan harusnya belum ada yang mengetahui nomor ponsel Arsy karena jangankan mengabari sang ibu di kampung, memakai ponsel saja, Arsy masih bingung. Dan kini, gawai tersebut tengah dicas seperti arahan dari penjual ponselnya. “Ya sudahlah, enggak usah takut. Kalau memang orang iseng bahkan jahat, langsung aku matiin saja teleponnya,” pikir Arsy yang sungguh langsung menjawab. “Assalamualaikum?” “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Umi Arsy ....” “Mas Yama?” Arsy benar-benar terkejut. Ia refleks menekap mulutnya menggunakan tangan kirinya yang bebas. “Iya, ini saya.” Arsy tak langsung menanggapi karena terlalu bingung. Tak disangka, ponsel yang ia terima dari Yama membuat hubungan mereka makin mudah. “Umi, aku sudah di depan. Aku bawa mesin jahit dan keperluannya. Mulai sekarang, Umi enggak usah cari kerja di luar, biar saya saja yang kerja dan Umi fokus jahit saja seperti biasa, ya?” Membahas mesin jahit dan kebiasaan si Umi Yama, Arsy menjadi penasaran, benarkah dirinya semirip itu dengan istri Yama. “Ya sudah, Umi. Umi Arsy keluar dulu. Saya sudah di depan gerbang.” “Lho, lho, kok gitu, Mas?” “Ya iya. Salah siapa Umi enggak mau tinggal di rumah. Ya sudah saya kirim semua mesin jahit dan keperluannya ke rumah yang Umi tempati.” “Namun di sini, saya hanya menumpang, Mas Yama. Enggak enak, bagaimana jika mereka berpikir macam-macam? Termasuk keluarga Mas. Tolong berpikir ke situ!” lirih Arsy penuh penekanan. “Ya enggak apa-apa, nanti saya bayar berapa biayanya biar Umi jauh lebih nyaman. Dan jika Umi tetap merasa enggak nyaman, ya sudah Umi cukup pulang.” Arsy terpejam pasrah. Dalam hatinya ia berkata, “Enggak semudah itu, Mas, terlebih aku ini istri orang!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN