Falisa bukanlah wanita bodoh, mana mungkin dia berdiam diri di sana dan membiarkan dirinya tertangkap basah baru saja memungut jas yang sudah dibuang Juan ke tempat sampah. Sebelum pintu terbuka dengan lebar dan sosok seseorang keluar dari ruangan, dengan cepat Falisa berlari. Dia bersembunyi di balik vas bunga berukuran besar yang berada tak terlalu jauh dari tempat sampah. Vas bunga itu sangat besar, dijadikan tempat untuk menanam pohon bunga melati di mana bunganya sedang bermekaran dengan indah. Bersembunyi di balik vas itu membuat Falisa bisa mencium dengan jelas aroma wangi bunga melati tersebut.
Begitu pintu terbuka sempurna, yang keluar dari ruangan ternyata bukan Juan seperti yang Falisa duga, melainkan seorang pria yang dari seragamnya terlihat bekerja sebagai office boy.
“Huh, ternyata bukan CEO itu yang keluar. Syukurlah,” gumam Falisa lega sambil mengusap-usap dadanya karena di dalam sana jantungnya yang malang sedang berdetak dengan cepat.
Namun, perasaan lega yang dirasakan Falisa tak bertahan lama ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang yang ikut keluar dari pintu ruangan Juan. Ternyata kali ini Juan yang keluar, tengah memanggil sang office boy yang baru saja hendak pergi.
“Iya, Pak. Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya office boy tersebut.
“Kau melihat jas saya tidak di tempat sampah ini?”
Falisa serasa membeku di tempatnya bersembunyi karena mendengar Juan yang menanyakan jas yang baru saja wanita itu pungut. Jas Juan dalam pelukannya semakin dia peluk erat.
“Tidak, Pak. Saya tidak melihat jas Anda.”
“Tapi semalam saya membuang jas itu di tempat sampah ini.” Juan menunjuk pada tempat sampah di sampingnya. “Kenapa barusan saya lihat jas itu sudah tidak ada? Apa kau sudah membuang sampah di tempat sampah ini?”
Sang office boy menggelengkan kepala. “Belum, Pak. Saya belum membuang sampah karena hari ini bukan bagian saya yang bertugas membuang sampah.”
Juan berdecak, tampak jengkel. “Terus ke mana jas itu? Di saku jasnya ada dompet saya yang tertinggal.”
Falisa refleks menyentuh saku jas Juan dalam pelukannya begitu mendengar ucapan Juan, sedetik kemudian dia membulat sempurna karena memang benar ada sebuah dompet di dalamnya.
“Saya tidak tahu apa-apa, Pak.” Sang office boy kembali bersuara, tampak takut dirinya disalahkan atas menghilangnya jas tersebut.
“Ya sudah, sana kau panggil ke sini orang yang hari ini kebagian mendapat tugas membuang sampah.”
“Baik, Pak.”
Tanpa pikir panjang lagi sang office boy pun pergi dengan langkah lebar dan cepat agar bisa segera melaksanakan tugas dari sang CEO.
Sedangkan Falisa kini membeku di tempatnya bersembunyi, ketakutan karena Juan masih berdiri di sana, belum kembali ke ruangannya. Pria itu juga sedang menatap sekeliling, membuat Falisa semakin panik karena takut keberadaannya diketahui pria itu.
“Semoga dia tidak melihatku di sini. Semoga dia tidak menemukan keberadaanku di sini,” batin Falisa dalam hati, terus mengutarakan harapan dan doanya agar Juan tak menemukan dirinya.
Falisa semakin beringsut mundur hingga punggungnya membentur dinding di belakangnya ketika dilihatnya Juan mulai berjalan mendekati vas bunga yang Falisa jadikan tempat untuk bersembunyi.
“Ah, tidak, tidak. Jangan ke sini!” Kali ini batik Falisa berteriak. Takut setengah mati, terutama ketika dia mendengar suara langkah kaki Juan semakin mendekat padanya.
“Hah, mati aku. Dia pasti menemukanku.”
Falisa sudah pasrah seandainya Juan benar-benar menemukan dirinya. Dia memejamkan kedua mata, tak kuasa melihat sepatu Juan yang semakin terlihat jelas olehnya karena pria itu mendekat ke tempat persembunyiannya.
“Pak Juan.”
Namun, sebuah suara terdengar dan membuat Falisa kembali membuka mata. Dia mengembuskan napas lega ketika melihat Juan melangkah menjauh karena ada seorang wanita yang menghampiri dirinya. Falisa tebak wanita itu merupakan sekretaris pribadi pria itu.
“Apa terjadi sesuatu, Pak? Tadi saya melihat Anda bicara dengan office boy?” tanya sekretaris Juan yang bernama Viona tersebut.
“Ya, tadi saya memang bicara dengan office boy karena ingin menanyakan jas yang saya buang di tempat sampah ini. Apa kau melihatnya?”
Viona menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Saya tidak melihatnya.”
“Ck, padahal ada dompet saya di saku celananya, saya lupa dompet itu belum diambil.”
“Kenapa jasnya dibuang, Pak? Apa jas itu sudah rusak?”
Juan mendengus. “Sebenarnya masih bagus, hanya saja seorang wanita gila menumpahkan teh pada jas itu karena itu jasnya jadi kotor. Saya tidak sudi memakainya lagi makanya saya buang ke tempat sampah ini. Baru semalam saya buang jas itu ke tempat sampah ini, waktu saya akan pulang.”
Di tempat persembunyiannya, Falisa mengepalkan tangan. Tentu saja tersinggung karena lagi-lagi dia mendengar Juan menyebutnya sebagai wanita gila.
“Padahal jas ini hanya terkena tumpahan teh, bukan terkena tumpahan kotoran manusia, sombong sekali dia sampai bilang begitu dan membuang jas ini,” batin Falisa kembali bergumam. Semakin yakin bahwa orang bernama Juan itu memang tipe pria sombong dan arogan.
“Coba kau cari jas itu sampai ketemu, mungkin ada yang sudah membuang atau memungutnya karena di dalam dompet saya ada surat-surat penting dan kartu-kartu saya,” titah Juan, terlihat mulai kesal.
“Baik, Pak. Saya permisi dulu.”
Sang sekretaris pun pergi, membuat di sana kembali hanya ada Juan dan Falisa yang masih bersembunyi.
“Ck, ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku menjadi buruk,” gerutu Juan, sebelum akhirnya dia kembali ke ruangannya, meninggalkan Falisa yang kembali mengembuskan napas lega seraya mengusap-usap dadanya, tenang karena dia tak ditemukan pria itu.
***
Falisa sedang di toilet apartemennya, tiada hentinya menggerutu karena masih kesal mendengar ucapan Juan yang beberapa kali menyebutnya wanita gila hanya karena dia melakukan kesalahan kecil.
Falisa tidak berdiam diri, dia berada di toilet karena sedang membersihkan jas Juan, membersihkan noda teh yang tertinggal di sana. Benar dia kesal dan marah pada Juan, tapi Falisa tetap merasa harus bertanggungjawab karena perbuatannya yang sudah mengotori jas tersebut.
Setelah selesai mencuci jas itu, Falisa menjemurnya. Setelah kering dia berniat menyetrika jas tersebut hingga kembali rapi seperti sediakala.
Ting Tong Ting Tong
Ketika Falisa sedang berada di balkon karena baru saja selesai menjemur jas milik Juan, suara bel tiba-tiba terdengar. Tanpa pikir panjang Falisa berlari menuju pintu, dan begitu membukanya dia temukan sosok Yuuya yang berdiri di sana sambil mengangkat plastik yang Falisa yakin berisi makanan.
“Yuuya, ayo masuk,” ajak Falisa ceria seraya menarik tangan sang kekasih agar masuk ke dalam apartemen. “Aku pikir kau tidak akan ke sini. Padahal ini sudah malam.”
“Aku tidak sanggup sehari saja tidak bertemu denganmu.”
Falisa mendengus, tahu persis Yuuya sedang menggombalinya. “Pintar sekali kau menggombal, ya?”
“Siapa yang menggombal? Aku tidak sedang menggombal tapi mengatakan kebenaran. Aku memang tidak bisa jika sehari saja tidak melihatmu, rasanya rindu sekali.”
Yuuya lalu memeluk Falisa tanpa permisi, tentu Falisa tak merasa keberatan, dia justru ikut membalas pelukan itu. Mereka berpelukan dalam waktu yang cukup lama.
“Kau membawa apa? Pasti makanan ya?”
Pelukan itu baru terlepas karena Falisa yang mengingat Yuuya datang ke apartemen tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa sesuatu.
“Ini maksudnya,” sahut Yuuya seraya mengangkat plastik di tangannya.
“Ya, itu makanan untukku bukan?”
“Coba saja buka sendiri.”
Falisa tanpa ragu mengambil plastik yang diulurkan Yuuya padanya, dengan semangat melihat isi plastik yang dia harap merupakan makanan karena perutnya mulai keroncongan. Sejak pulang bekerja tadi, dia belum memakan apa pun.
Sedetik kemudian kedua mata Falisa membulat sempurna karena ternyata yang ada di dalam plastik itu bukan makanan seperti yang dia duga, melainkan beberapa pasang pakaian baru yang sepertinya sengaja dibelikan Yuuya untuk Falisa.
“Oh, My God, pakaian ini semuanya untukku?” tanya Falisa memastikan.
Yuuya menyengir lebar seraya mengangguk. “Tentu saja. Pakaian itu kan semuanya untuk wanita, untuk siapa lagi kalau bukan untukmu? Itu semua pakaian kantoran jadi bisa kau pakai saat bekerja. Tadi aku melakukan pertemuan dengan klien di salah satu pusat perbelanjaan karena itu aku mampir untuk membeli pakaian-pakaian itu untukmu.”
“Ah, Yuuya, kau baik sekali. Aku semakin cinta padamu.”
Falisa pun kembali menghamburkan diri dalam pelukan Yuuya. “Terima kasih, Sayang. Aku cinta padamu.”
“Aku jauh lebih cinta padamu, Falisa sayang.”
Ya, Falisa merasa sangat beruntung karena memiliki kekasih seperti Yuuya. Pria baik hati yang selalu peduli dan perhatian padanya. Dalam hatinya Falisa bertekad tidak akan pernah meninggalkan pria ini, dia akan selalu setia padanya.
***
Entah sudah keberapa kalinya Falisa menghela napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Di tangannya ada sebuah jas yang sudah dilipat dengan rapi karena selain sudah dia cuci dengan bersih, jas tersebut sudah dia setrika agar kembali rapi.
Falisa sejak tadi berdiri tak jauh dari ruangan Juan. Sekarang merupakan waktu istirahat siang dimulai, Falisa berniat mengembalikan jas yang dia pungut serta dompet Juan yang ada di dalamnya.
Namun, tiba-tiba dia merasa gugup karena hatinya belum siap bertatap muka dengan Juan, sang CEO arogan yang sepertinya selalu memperbesar masalah yang sepele.
“Duh, aku harus bagaimana sekarang? Apa iya aku harus pergi ke ruangan CEO itu? Nanti apa yang akan dia katakan, ya?”
Falisa bergumam sendirian dan berjalan mondar mandir karena gelisah bukan main. Di satu sisi dia ingin mengembalikan jas dan dompet itu, di sisi lain dia juga belum memiliki keberanian sebesar itu untuk bertatap muka langsung dengan sang CEO.
“Ah, sudahlah. Nanti saja aku temui dia. Atau aku suruh Yuuya saja yang mengembalikan jas dan dompet ini.”
Falisa sudah mengambil keputusan, dia pun berjalan berniat kembali ke ruangannya, tapi begitu tatapannya tertuju pada jas dalam pelukannya, seketika langkahnya terhenti.
“Ah, tapi aku sudah ada di sini, kenapa juga aku harus kembali lagi? Ck, ya sudah, aku kembalikan saja jas dan dompet ini padanya, setelah itu langsung pergi. Lagi pula aku tidak boleh melibatkan Yuuya dengan masalahku dan CEO itu.”
Falisa sudah mengumpulkan tekad dan keberanian, dia lantas berbalik badan dan melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju ruangan Juan.
Setibanya di depan pintu ruangan Juan, Falisa mengembuskan napas berat berulang kali, sungguh dia gugup bukan main sekarang.
“Aku harus tetap menemuinya. Falisa … kau harus berani.”
Falisa mencoba menguatkan dan menyemangati dirinya sendiri. Salah satu tangannya terangkat dan mendarat pada daun pintu. Akhirnya dia mengetuk pintu tersebut. Namun, tak ada tanda-tanda seseorang membukakan pintu dari dalam ruangan meskipun sudah lebih dari tiga kali Falisa mengetuknya.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?”
Falisa tersentak kaget karena tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah belakang. Spontan Falisa berbalik badan dan dia menemukan sosok Viona, sekretaris Juan, berdiri di hadapannya.
“Apa kau ada perlu dengan Pak Juan?” tanya Viona lagi karena Falisa yang hanya diam membisu.
“Hm, ya. Saya ingin bertemu dengannya.”
“Pak Juan sedang keluar, tidak ada di ruangannya. Memangnya ada apa? Silakan tinggalkan pesan pada saya, nanti saya sampaikan pada Pak Juan.”
Falisa menatap wajah Viona dan jas dalam pelukannya secara bergantian, hingga dia pun akhirnya mengambil sebuah keputusan.
“Sebenarnya saya ingin mengembalikan jas ini pada Pak Juan.”
Falisa pun mengulurkan jas tersebut pada Viona.
“Ah, dan juga dompet Pak Juan yang sebelumnya ada di dalam jas itu.”
Lalu mengulurkan dompet milik Juan.
“Oh, kenapa jas dan dompet Pak Juan ada padamu?”
“Itu karena …” Falisa menjeda ucapannya, sempat ragu mengakui bahwa dialah yang memungut jas tersebut dari tempat sampah setelah dibuang oleh Juan. Namun, dia tahu tetap harus mengatakan kebenaran.
“Sebenarnya saya yang mengambil jas itu dari tempat sampah. Saya mengambilnya karena merasa bertanggungjawab telah mengotori jas tersebut,” sahut Falisa seraya menundukan kepala.
“Ah, jadi kau yang menumpahkan teh pada jas Pak Juan?”
Falisa mengangguk. “Ya, tapi saya tidak sengaja melakukannya.”
“Ya, saya mengerti. Mustahil kau sengaja melakukannya.”
“Benar. Saya melihat jas itu dibuang karena ada di tempat sampah karena itu saya mengambilnya. Jas itu sudah saya cuci bersih dan sudah saya setrika agar kembali rapi. Tolong kembalikan jas itu pada Pak Juan. Dan tentang dompetnya, jangan khawatir, saya tidak mengambil apa pun. Silakan Pak Juan periksa sendiri dompetnya.”
“Hm, baiklah. Akan saya berikan jas dan dompet ini pada Pak Juan.”
“Terima kasih ya. Saya permisi dulu.”
Falisa pun berbalik badan, bersiap untuk pergi.
“Oh, iya. Siapa namamu?”
Langkah Falisa terhenti karena mendengar suara Viona yang kembali bertanya padanya. Dia kembali berbalik badan menghadap Viona.
“Nama saya Falisa.”
“Apa kau karyawan baru karena saya tidak pernah melihatmu sebelumnya?”
“Iya benar, saya memang karyawan baru di sini. Baru mulai bekerja kemarin.”
“Oh, pantas saja. Kau dari divisi apa?”
“Divisi keuangan.”
“Hm, baiklah. Terima kasih sudah mengembalikan jas dan dompet ini.”
“Sama-sama.”
Setelah itu Falisa kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Merasa hatinya tenang dan damai bukan main karena berpikir urusan dan masalahnya dengan sang CEO sudah selesai sampai di sini.
Yang jadi pertanyaannya … benarkah demikian? Benarkah urusan dan masalahnya dengan Juan memang sudah selesai sampai di sini?