Kota Padang sedang dalam cuaca terbaiknya pagi ini, langit sangat cerah disertai angin pelan yang begitu segar. Tapi entah kenapa begitu berbanding terbalik dengan suasana hati Aruna yang sedang terlena dengan lamunan kosongnya dari balik meja kerja.
“Haii cantik, pagi-pagi kenapa udah pasang tampang judes aja sih anak gadis? ” goda Shanti yang baru saja datang dan langsung duduk di kursi depan meja kerja Aruna. Hal yang sontak menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
“Kenapa? Kamu lagi PMS, hah?”
“Bukan gitu Uni, hmm ... aku kan udah sebulan lebih ya ditugasin di sini, tapi kenapa masih berasa pindah planet ya? roaming terus gitu.” lirih Aruna sembari menopang dagu dengan telapak tangan.
“Pindah planet piye (*bagaimana) sih?”
“Yaa, aku belom banyak paham bahasa sini Nishan, berasa jadi bahan ledekan gitu deh, gara-gara aku gagal paham obrolan temen-temen.” Aruna menunduk lesu sambil memutar-mutar ponselnya.
“Halah nduk, nanti lama-lama lak terbiasa juga cah ayu. Aku aja yang udah lima tahun di sini, masih sering gak connect kok, apalagi kamu yang masih satu bulan, sabar-sabar ya diak (*adik).” ucapnya sambil mengusap lengan atas Aruna naik turun.
“Eh iya, ini ada makan siang buat kamu nanti, siapa tau kamu lagi kangen masakan rumah kan.” Shanty mengerlingkan mata setelah meletakkan dua kotak tupperware di atas meja kerja Aruna.
Satu kotak ia pastikan berisi nasi dan lauk, satunya lagi pasti olahan sayur khas masakan jawa kadang sayur asem atau sayur lodeh dengan isian nangka muda.
“Aahhh so sweet. Nishan the best pokoknya! terima kasih banyak ya beauty Uni.” Aruna yang langsung berbinar mengangkat kedua ibu jarinya ke udara.
Sudah hampir satu bulan gadis yang belum genap berusia delapan belas tahun itu dipindah tugaskan dari kantor pusat Jakarta ke salah satu kantor cabang di Padang. Yaa ... Padang, Sumatra Barat yang baginya adalah negeri antah berantah, karena bahasa daerah yang menurut Aruna sangat jauh berbeda dengan tempat asalnya di Jawa Timur.
Aruna yang gadis Jawa tulen tentu butuh banyak waktu untuk mencerna bahasa keseharian yang digunakan di sini. Di kantornya yang sekarang pun hanya ada empat orang yang sama-sama berasal dari pulau Jawa dan sangat mengerti perasaan Aruna.
Shanty yang berasal dari Ponorogo, biasa ia panggil Nishan, singkatan dari Uni Shanti. Ada lagi Hakim dari Malang yang ternyata masih satu alumni di sekolah Aruna dulu, Moko dari Jombang dan terakhir dirinya sendiri, Aruna Malik Ayeesha dari Malang.
“Alah sarapan, Diak?” sapa Saliem membuat Aruna spontan menoleh ke arahnya.
“Udah Bang.”
“Yaa, padahal mau abang ajak sarapan bareng sama anak-anak FO lain. Mau?”
Sarapan bareng-bareng dan gratis?
Siapa yang sanggup nolak sih.
Sedetik berselang Aruna langsung mengiyakan ajakan dari seniornya di kantor ini. Kapan lagi bisa hemat duit gajian kaan, pikir gadis belia itu.
“Hayuk mau bang, mau sarapan di mana?”
***
“Eh dek, di kamar kamu udah ada kasurnya?” tanya Dina pada Aruna saat mereka sama-sama menikmati sarapan di resto.tak jauh dari tempat mereka bekerja.
Di antara beberapa karyawan kantor hanya beberapa yang memanggilnya dengan baik dan benar sesuai kaidah KBBI. Bukan dengan sebuat ‘adiak’ atau ‘piak‘ yang masih terasa asing bagi telinganya, tapi dengan panggilan ‘dek’. Aruna memang jadi staff termuda di kantornya kini, jadi tak heran jika staff yang lain begitu perhatian padanya, jadi yang termuda dan 'terbuang' jauh dari rumah, mungkin itu label yang ia bawa di keningnya kemana-mana.
“Udah kak, kemaren anak ibuk kost yang gantengnya sebelas dua belas sama Siwon Suju itu dateng. Terus aku minta tolong bukain pintu gudang bawah buat ambil kasur. Eh ... taunya malah dia ikut bantuin angkat-angkat ke kamarku.” kekeh Aruna meski masih sibuk mengunyah rendang di piringnya.
”Bagus laah, kalo belum ada kasur mau kakak ajak cari-cari nanti pas pulang kantor.”
“Makasih kak, tapi kamarku udah lengkap paripurna kok sekarang. Kasur empuk, lemari besar plus kaca, kamar mandi plus meja kecil.” ucap Aruna bangga.
Sebagai pendatang yang kepolosannya masih tingkat dewa, Aruna iya-iya saja ketika seniornya di kantor, si kakak beradik Elma dan Okta, menawarinya tinggal di rumah kost yang tak jauh dari kantor mereka. Bangunan besar dengan dua lantai, enam kamar tidur di lantai atas semuanya disewakan. Sedangkan lantai satu dibiarkan kosong, untuk sang pemilik yang sewaktu-waktu datang berkunjung.
Tapi satu yang mereka lupa, jika kamar kosong di seberang kamarnya ternyata tanpa kasur ya pemirsa, jadilah si Aruna anak rantau tidur hanya beralaskan karpet bulu dan selimut tebal selama seminggu pertama sejak ia menjejakkan kaki di Padang. Beruntung, hari minggu lalu pemilik rumah datang dan Aruna dengan percaya diri memasang wajah udiknya, mereka sudah iba pada gadis itu dan semerta-merta langsung memindahkan spring bed empuk dan lemari besar dari gudang lantai satu untuk dipindahkan ke kamar Aruna di lantai dua.
“By the way, udah betah kamu di sini dek?” usik Dina lagi.
“Lumayan lah Kak, makanannya enak-enak sumpah. Sambal ijonya apalagi.” cerocos Aruna dengan mulut lincah mengunyah ini dan itu.
“Syukurlah kalau begitu, enak kali tinggal di sini, masih seger, asri, yaa... meski kadang panas juga nak.” lanjut Dina.
“Iya sih Kak.” Aruna kembali sibuk dengan potongan rendang di piringnya.
“Nanti kalo senggang, kita ajak kamu keliling Padang deh, pasti makin betah, apalagi cowok-cowok di sini ganteng-ganteng, ya siapa tau ada jodoh kamu di sini diak, iya kan Din.” timpal Saliem sambil melirik Dina.
“Naah ... betul tuh dek, siapa tau kayak Ni Shanty kan? Kerja di sini, lanjut dapet jodoh orang Padang asli. Nanti kalau kamu dapat pasangan orang sini, dijamin deh lupa pulang ke Jawa.” Dina terkekeh bersamaan dengan staff yang lain.
Hampir setiap hari terjadi, tiap sarapan atau jam makan siang, Aruna si anak rantau paling muda yang jadi bahan bulan bulanan. Bahkan tak jarang mereka menggunakan sepenuhnya bahasa Minang yang sama sekali tak bisa diserap otak pas-pasan Aruna.
***
“Assalamualaikum. El.. Elma, bukain pager El.” suara berat seorang pria menggema di depan pagar rumah kost Aruna.
Brak...
Brak...
Brakk...
Aruna yang tengah berada di dapur lantai satu yang tak begitu jauh dari pagar utama, bergegas keluar setelah mendengar sedikit kebisingan di depan.
“Kak Elma nya belum pulang bang, gak sabaran banget sih gedorin pager sampe segitunya, berisik!!” dengkus Aruna dengan wajah sebal, tak lupa ia menggosok-gosok telinga kanannya seolah memberi isyarat kebisingan yang baru saja mengganggu ketenangannya.
“Oh ... belum pulang?” pria itu mengangguk sekilas.
“Belum, Abang siapa? nanti biar aku sampein aja pesen abang ke kak Elma kalo udah pulang.” dengkus Aruna berkacak pinggang.
“Lo yang siapa? pasti anak baru ya? gue udah sering main kesini, Elma, Wita, Okta, sama Iyut semuanya geng gue.”
“Diih udah om-om juga, masih sok ABG banget main geng-geng segala, inget umur kali, gak pantes.” decih Aruna seraya mengerucutkan bibir.
“Songong banget sih anak kicik, buruan bukain pager aja kenapa sih?”
Mau tak mau, akhirnya Aruna menuruti juga perintah pria yang baru pertama kali dilihatnya itu. Bisa-bisa kena bullyan lagi nanti jika kakak-kakak kost nya marah karena teman baik mereka ia halangi masuk.
“Nana ini namanya Gerian biasa kita panggil Gege. Ge, ini Aruna bisa dipanggil Nana, anak baru di kantor gue, dari Jawa dia, makanya masih lugu, polos, kadang gak sinkron juga otaknya kalo kita ajak ngomong, plus masih piyik pula, jangan coba-coba lo poles deh ya.” titah Okta panjang kali lebar saat mengenalkan keduanya.
Aruna hanya tersenyum kecut melirik Okta, lantas mengalihkan pandangan menuju lelaki yang dimaksud.
Geri.. Geri ... Geri siapa tadi ya??
Geri Chocolatoss bukan sih?
***