5. Melepas Rindu

1403 Kata
Irina Maurisni, usianya tiga tahun lebih muda dari Gege. Baru menginjak dua puluh empat tahun dan sekarang sedang menempuh pendidikan magister di salah satu universitas ternama di Jakarta. Gege mengenalnya sejak usia SD, keluarga Irina yang asli Jakarta pindah dan menetap di Bukittinggi karena pekerjaan sang ayah, rumah mereka yang saling berhadapan tentu saja membuat mereka cepat dekat. Gege sadar sepenuhnya sejak mereka beranjak dewasa, Irina menaruh hati padanya. Perasaan yang lebih dari sekedar kakak adik atau persahabatan biasa. Namun Gege tidak pernah membalas semua perasaan gadis bermata bulat itu, bukan karena tidak menarik, justru Irina adalah sosok perempuan cantik, fashionable dengan tubuh tinggi semampai bak model yang tentu saja sangat mudah menarik perhatian lawan jenis. Sayangnya, Irina terlalu berambisi memaksakan perasaannya pada Gege. Bahkan ia mengaku sebagai kekasih Gege pada teman-teman kampus Gege, teman kost, bahkan beberapa teman di kantor Gege bekerja. Berkali-kali Gege menyanggah, berkali-kali pula Irina mengamuk, menangis, meraung-raung bahkan berteriak-teriak dimana pun ia berada. Mungkin karena Irina terbiasa dimanja sejak kecil, sehingga ia sangat terobsesi pada apapun yang ia inginkan, termasuk soal pria. Hal itulah yang membuat Gege beberapa kali mengalah dan menjauhi perdebatan dengan Irina. Tapi kali ini, Gege sudah bertekad akan mengambil langkah tegas mengenai pergulatan batinnya sejak Aruna muncul dan memporak-porandakan tatanan hatinya. Seperti saat ini, saat Gege mengantarkan Irina pulang ke rumah kedua orang tuanya “Masuk bang,” ucap Irina saat menyerahkan helm. “Ndak lah Ina, udah malem. Kurang sopan.” Gege menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ina ... Irina kan kini udah dewasa, bentar lagi bergelar ’master’, please ... bersikap dewasa juga ya.” seru Gege perlahan. “Irina gak pernah kekanakan kok Bang.” “Selama ini abang tulus anggep Ina sebagai adek Abang, gak lebih. Abang sayang Ina sebagai adek, bukan sebagai seorang wanita yang kelak mendampingi Abang.” Irina yang mendengarnya mulai gusar, menyilangkan kedua tangan dengan angkuh. “Becandanya gak lucu,” ketus Irina. “Abang gak pernah becanda kalo soal perasaan Ina, ini juga demi kebaikan kita kan? Kebaikan Ina juga.” Gege tetap menjaga nada bicaranya sepelan mungkin. “Jadi siapa?” Irina menatap nyalang ke arah Gege. “Siapa apanya?” “Perempuan yang bikin Abang kayak gini? Anak mana? Tinggal dimana?” jawab Irina cepat. “Ini bukan tentang siapa-siapa, ini murni tentang kita, Ina akan jadi adek Abang kini dan nanti. Selamanya, perasaan abang gak bisa berubah, Abang gak bisa membalas perasaan Ina.” ucap Gege penuh penekanan. “Ina akan cari dia sampai ketemu Bang, kemaren-kemaren abang gak pernah kayak gini ke Ina.” Irina mengarahkan telunjuknya tepat di depan hidung Gege. Gege mendesah hampir frustasi menghadapi gadis di depannya. “Please... please.” “Udah ah bang, udah malem, Ina ngantuk, assalamualaikum.“ Irina membanting pintu di depan Gege. *** Bandara Internasional Minangkabau, 3.40 PM. ‘Abaaang ... pesawaatku delay.’ ‘I'ts okay.. Abang setia menanti, Abang cari makan dulu lah deket airport.’ ‘Oke, ini udah masuk pesawat lagi kok, see you.’ ‘Siap sweet heart-nya Bang Gege.’ Balasan terakhir dari Gege sukses membuat perut Aruna berasa diaduk-aduk perasaan aneh, jadi gak sabar ketemu, batinnya seraya melonjak girang. Empat puluh menit kemudian, pesawat yang ia tumpangi sudah mendarat mulus bandara Minangkabau Padang. ‘Bang bentar, aku lagi antri bagasi.’ ‘Siap.’ Beberapa menit setelahnya, Aruna menangkap sosok pria yang hampir dua minggu ini mengisi hatinya. Berdiri dengan sebelah tangan yang dimasukkan saku celana warna hitam, sedangkan sebelah tangannya lagi menggenggam ponsel dan melambai ke arahnya. Senyum Aruna mengembang sempurna. Gadis itu berlari kecil menghampiri Gege yang tinggal beberapa meter lagi di depannya, bak adegan romantis di drama-drama Korea. Kedua mata mereka bertemu, sebelah tangan Aruna terbuka seolah ingin memeluk pria di hadapannya, sedangkan tangan sebelahnya masih kerepotan menyeret koper yang tak begitu besar. “Abaaaang...” teriak Aruna bersemangat Namun ia berhenti ketika jarak mereka semakin mendekat, tangannya yang terbuka tiba-tiba kebas dan ia turunkan. “Eh.. kok gak jadi peluk.” goda Gege, pria itu kini maju beberapa langkah ke arah Aruna. Detak jantung Aruna makin berdisko ria, menyadari tubuh tegap Gege makin mendekat dan sekarang mengurung sempurna tubuh mungilnya dalam pelukan. Menghantarkan perasaan hangat ketika pria itu menepuk-nepuk punggungnya. “Kalo kangen mah kangen aja, gak usah ditahan lagi.” bisik Gege sangat lirih di telinga Aruna. “Peluk yang bener.” kekehnya lagi semakin mengeratkan pelukannya. Nana.... nafas.... Inhale... exhale... Nafas... nafas... Batin Aruna beberapa kali, setelah beberapa detik merasakan jantungnya yang kobat-kabit tak karuan saat tubuhnya menempel sempurna pada d**a bidang Gege. Aruna sedikit merenggangkan pelukannya. Perasaan apa ini?? ”Abaaang.” lirihnya saat mendongakkan wajah, matanya bersirobok kembali dengan tatapan teduh milik Gege, ada getaran hati yang sulit dijelaskan dengan kata-kata di sana. “Hmm, ndak kangen sama Abang?” tanya Gege memecah lamunnya. “Enggak kangen sih, merindu aja dikit.” Aruna menunduk menyembunyikan wajahnya yang makin bersemu merah. “Abang juga rindu.” Gege tersenyum lebar dan kembali memeluk gadis belia itu. Menggoyang-goyangkan tubuh kecil dalam dekapannya ke kanan dan kiri. “Abang....” “Hmm...” “Mau sampe kapan pelukan terus?” tanya Aruna polos. “Sampe seterusnya sih kalo bisa, kan melepas rindu ceritanya nih.” Gege terkekeh lagi dan ganti posisi bersebelahan dengan Aruna, merangkul erat bahu gadis kesayangannya itu. “Kakak-kakak rumah hijau mana?” Aruna memeriksa sekelilingnya. “Sudah balik lah, bisa demo mereka kalo nungguin lo di sini sejam lebih.” “Eh ... iya, tapi Abang nungguin Nana gak sampe jungkir balik tuh?” Aruna mengendikkan dagu. “Jungkir baliknya nanti aja di tempat yang lain.” bisik Gege. “Serius mau jungkir balik?” lagi-lagi Aruna menatap Gege dengan keluguannya. “Antahlah diak.” Gege mengacak rambut lebat Aruna yang mulai memanjang. *** “Udah ilang kangennya sama ortu?” tanya Gege saat mereka dalam perjalanan pulang. “Alhamdulillah, seneng banget bisa kumpul pas lebaran, gak nyangka sih bisa pulang. Makasih banyak ya Bang, berkat Abang juga kan Nana bisa pulang.” Aruna menoleh ke arah Gege di kursi kemudi. “Sama-sama, asal bisa bikin lo happy aja.” Gege memasang senyum menawannya lagi “Eh... gue dibawain oleh-oleh apa nih dari Malang?” “Banyak dong, aku bawa apel sama strawberry segar dari kebun bapak, bawa kering tempe juga yang aku masak sendiri, ada sambel bajak juga, ada keripik buah, manisan buah, banyak lah pokoknya.” cerocos Aruna panjang lebar. “Kalo oleh-oleh yang lain ada?” tanya Gege lagi masih menatap lurus jalanan. “Abang pengennya oleh-oleh apa? Kemaren gak pesen sih.” “Cinta mungkin.” jawab Gege cepat sambil mengulum senyum. Tak ayal jawaban Gege langsung membuat Aruna membuang muka ke arah jendela, menutupi pipinya yang lagi-lagi merona merah. “Abang ... please deh.” “Please.. apa?” “Abang gini juga ke cewek lain?” “Ya gak lah, lo yang pertama.” jawab Gege santai. “Yakin?” Gege mengangguk cepat “Aku harus gimana biar kamu yakin?” “Au’ ah... aku gampang baper loh bang.” cetus Aruna blak-blakan. “Ya emang itu tujuan gue.” Gege kini menoleh sempurna dan menjetikkan jarinya pada puncak hidung Aruna. Drrrrttt.... Drrttt.... Ponsel Gege bergetar memecah percakapan dua insan yang saling melempar kode itu. Layarnya berkedip beberapa kali menampilkan nama yang saat ini paling ingin Gege hindari, Irina. “Angkat bang.” Aruna melirik sekilas ke arah ponsel disebelah Gege, terbaca nama penelponnya dilayar itu, ‘Irina Maurisni’. Dengan terpaksa Gege menggeser tombol hijau di gawainya. “Iya Assalamualaikum, kenapa Ina?” “....” “Iya abang tadi di airport, jemput temen, ini masih di jalan.” “....” “Abang kan kemaren bilang kalau pagi emang gak bisa.” “....” “Udah ya, Abang tutup. Lagi nyetir, assalamualaikum.” dengkus Gege lantas memutus panggilannya. Sudah ia putuskan sebelumnya tak akan membuka hati untuk gadis lain, selain gadis manis yang kini duduk di sebelahnya. Selesai menutup teleponnya Gege melirik sekali lagi ke arah Aruna, gadis itu masih sama cerianya seperti tadi. Senyumnya tetap bertengger di bibir tipisnya, manis sekali membuat pikiran liar Gege berlarian, ingin mencecapnya. “Kenapa bang?” Pertanyaan Aruna menarik Gege dari lamunannya. “Gapapa, pipi kamu makin temok nak, empuk nih pasti.” jawab Gege yang langsung mencubit gemas pipi sebelah kanan Aruna. “Aaawwww Abaaaaang....” teriak Aruna mencak-mencak dalam mobil sambil mengusap pipinya yang memerah.. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN