Clara memandangi kartu nama berwarna hitam yang kemarin Rachel beri. Membaca sekali lagi dengan seksama apa yang memang tertera di sana.
BlackGold Enterprise
Nathanael Frost
Chief Executive Officer
Head Office :
1655 Mountain City Hwy, Elko, Nevada 89801, United States
Tower Office :
7251 W Lake Mead Blvd # 350, Las Vegas, Nevada 89128, United States
+170255778899
Sejenak, Clara menghela napasnya berulang kali. Sedang pikirannya melayang-layang. Memikirkan dengan teramat seluruh perkataan serta saran yang sudah Rachel beri untuknya saat kemarin berada di tempat kerja.
Sebenarnya, Clara benar-benar takut dan tidak sedikit pun memiliki nyali untuk mencoba apa yang Rachel sarankan. Akan tetapi, kala mengangkat wajah dan melihat bagaimana sang ibu yang kini terbaring diam di atas tempat tidur karena dalam keadaan koma, seketika itu juga hatinya langsung bergejolak.
"Demi Tuhan, Clara. Kau punya modal yang amat menjual serta menjanjikan. Pertama, wajahmu cantik. Penampilanmu bahkan menarik. Tinggal dipoles sedikit agar terlihat lebih nakal dan seksi. Asal tahu saja, para pria suka perempuan yang terlihat nakal dan menantang."
"Jadi, menurutmu aku harus merubah penampilan?"
Rachel mengangguk.
"Ya, tentu saja. Kau tidak perlu khawatir. Aku berjanji akan bantu memoles penampilanmu. Dan yang kedua, ini paling penting yang ada di dalam dirimu. Kau masih perawan."
Rachel mengatakan hal itu dengan penuh penekanan. Seolah keperawanan yang Clara miliki adalah harta karun berharga yang tidak semua perempuan miliki saat ini.
"Bayangkan saja, di zaman seperti ini, kita sama-sama tahu kalau begitu sulit mencari perempuan yang tidak pernah tidur dengan kekasih atau teman kencannya. Itu sebabnya, aku berani bertaruh, mereka di luaran sana berani membayar mahal untuk menjadikanmu teman tidur atau mungkin simpanan."
"Kau yakin aku mampu melakukan ini semua?"
Sekali lagi Rachel berusaha meyakinkan. Ditatapnya Clara lekat-lekat demi mengenyahkan semua keraguan yang tampak jelas di wajah cantik rekan kerjanya tersebut.
"Kau pasti bisa. Lagi pula, tidak perlu merasa canggung atau jijik. Yang kau layani dan temani tidur nanti adalah pria kaya raya yang wajahnya sangat tampan. Anggap saja kau sedang bersenang-senang dengan kekasihmu."
Provokasi yang Rachel gaungkan terus saja berusaha memporak-porandakan pertahanan Clara. Batinnya tentu beradu. Setengah hatinya bahkan tampak setuju dengan apa yang sudah rekan kerjanya itu sampaikan.
Mau bagaimana pun, kalau dipikir-pikir, zaman sekarang memang begitu sulit mendapatkan uang dengan jumlah yang banyak dan dalam waktu singkat. Sedang saran yang Rachel kemukakan memang cukup realistis. Tidak ada lagi cara tercepat mendapatkan uang selain menjual diri atau menjadi simpanan pria kaya di luaran sana.
Selain hidup serta keuangannya yang nanti akan terjamin, ia tidak perlu lagi kepusingan mencari dana untuk mengcover biaya pengobatan yang Ibunya butuhkan.
"Tapi... menjual diri bukan hal yang harus kau pilih, Clara."
Kali ini, ucapan Bella yang terngiang-ngiang di kepala Clara. Sahabatnya yang satu itu cukup keras menolak apa yang sudah Rachel sarankan sebelumnya. "Masih ada cara lain kalau kau mau berusaha."
Sekali lagi mata Clara memejam. Detik itu juga ia merasakan seperti ada setan dan juga malaikat yang tengah beradu argumen tepat di kedua telinganya.
Namun, kalau mengingat-ingat perkataan Rachel, di dunia ini mana ada manusia yang tidak luput dari dosa. Dari pada pusing, lebih baik dirinya fokus terlebih dahulu memikirkan bagaiamana cara menyelamatkan nyawa sang Ibu. Kalau sudah membaik, dirinya bisa saja bertobat di kemudian hari, bukan?
Itu sebabnya Clara membulatkan tekad. Pulang dari rumah sakit, ia mempersiapkan diri. Memeriksa gaun, heels, serta clutch yang Rachel pinjamkan untuk dirinya kenakan saat nanti menemui Nathanael.
"Ini semua barang baru. Aku pinjamkan khusus untukmu," kata Rachel saat singgah ke rumah Clara dan meminjamkan barang-barang miliknya. "Tenang saja, besok aku sendiri yang akan mengantarmu ke Club. Sebelum bertemu Tuan Nathanael, ada baiknya kau mencari tahu sedikit informasi tentang pria itu."
Clara mengangguk setuju. Ditemani Rachel, ia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh latar belakang mengenai siapa sosok Nathanael dari beberapa portal berita bisnis.
"Lulusan terbaik di Colombia University. Punya banyak prestasi. Menikahi Carolina Blackwood, putri tunggal Abraham Blackwood, konglomerat yang merupakan pengusaha emas asal Kanada."
Clara kemudian menghela napas hingga bahunya sedikit terangkat. Belum apa-apa ia sudah merasa insecure dengan dirinya sendiri.
"Ya Tuhan. Tuan Nathanael jelas bukan orang sembarangan. Dari fotonya saja, terlihat jelas kalau istrinya sangat cantik. Setiap mampir ke coffeshop, ia bahkan tidak pernah tersenyum kepadaku. Aku jadi tidak yakin kalau beliau mau menerimaku."
Rachel tersenyum. Ia maklum kalau Clara berpikiran naif seperti ini. Apalagi tahu bahwa Clara sosok yang bisa dikatakan polos dan tidak banyak bergaul dengan para pria sebelumnya.
"Sudah ku katakan, kau tidak perlu khawatir soal ini. Jadi, alih-alih banyak berpikir, lebih baik kau ingat-ingat kembali pelajaran yang sudah aku ajarkan."
Pipi gadis berambut cokelat itu sontak memerah. Teringat kembali bagaimana Rachel yang sebelumnya memaksa ia untuk menonton beberapa cuplikan film dewasa berisi adegan sepasang kekasih yang tengah berciuman dengan begitu intim. Bukan hanya itu. Rachel juga meminta Clara untuk memerhatikan sekaligus mempelajari bagaimana cara membuat seorang pria tergoda.
"Aku sudah mengingatnya baik-baik di dalam otakku."
***
Clara memastikan kembali penampilannya dari balik cermin. Mengenakan mini dress berwarna hitam dengan aksen glitter di padu padankan dengan Heels serta clutch warna senada, ia tampak begitu menggoda.
Bersama Rachel, malam itu Clara menyambangi OMNIA Nighclub yang berada di Las Vegas. Baru saja sampai, mereka berdua langsung disambut oleh Daniel, asisten Nathanael, yang kemudian menuntun keduanya untuk pergi menuju ruang VIP.
"Apa ini gadis yang kau ceritakan?"
Daniel bertanya kepada Rachel tepat di depan pintu masuk ruangan. Setelahnya, pria itu melempar tatapan memindai ke arah Clara. Memastikan dengan amat sangat bagaimana penampilan gadis itu dari ujung rambut hingga kaki.
"Yeah. Dia Clara yang ku ceritakan tempo hari. Bagaimana menurutmu? Dia cantik, bukan?
Daniel tersenyum tipis. Pria berkacamata tersebut mengangguk.
"Lumayan. Sebenarnya, kalau soal cantik, di luar sana ada banyak yang lebih cantik."
"Tapi, dia istimewa," sela Rachel penuh percaya diri.
"Ku harap dia benar istimewa seperti yang kau ceritakan. Apabila Tuan Nathanael setuju, kalian berdua akan mendapatkan uang yang sangat banyak."
Rachel tersenyum penuh arti. Setelahnya berbalik menghadap Clara demi mengecek kembali penampilan rekan kerjanya tersebut.
"Clara... sebentar lagi kau harus masuk. Ku harap kau mengingat semua yang sudah aku ajarkan."
Clara mengangguk. Detik kemudian menghampiri Daniel lalu mengekor pria itu masuk ke ruang VIP untuk menemui Nathanael di dalam sana.
Begitu pintu dibuka dan mulai melangkah masuk, Clara dapat melihat bagaimana Nathanael tengah duduk sembari menyesap wine di tangannya. Mengenakan stelan semi formal, pria itu terlihat amat sangat tampan. Belum lagi postur tubuhnya yang proporsional, membuat Nathanael terlihat seperti dewa-dewa dalam mitologi Yunani.
"Permisi, Tuan."
Daniel menyapa dengan sopan. Nathanael lantas mengangguk, mempersilakan asistennya untuk berbicara.
"Ini kandidat pertama yang saya ceritakan kemarin. Namanya Clara Winterbourne."
Nathanael mengangkat tangan kanannya ke udara, pria itu memberi isyarat agar Daniel keluar dari ruangan.
Setelahnya, Nathanael menyandarkah bahu pada sofa. Bersedekap di depan dadaa, pria itu melempar tatapan lekat ke arah Clara. Memerhatikan dengan amat sangat apakah Clara masuk dalam kriteria gadis yang ia inginkan.
"Berapa umurmu?"
Clara mengerjap. Sedikit gugup, ia berusaha menguasai diri.
"Dua puluh dua tahun."
"Baik. Sekarang, aku mau tahu, apa yang bisa kau lakukan untukku."
Mengenyampingkan rasa takut dan gugup, Clara mendekat lalu mengambil posisi duduk tepat di sebelah Nathanael. Walaupun tidak memiliki pengalaman memuaskan pria di atas ranjang, ia tetap ingin berusaha demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan sang ibu.
Mengikuti instingnya. Pun sembari mengingat beberapa adegan romantis yang ia tonton kemarin, Clara lantas pelan-pelan memajukan wajah. Berusaha mendaratkan ciuman yang terasa amat kaku di bibir Nathanael.
"Ck!"
Decakan itu terdengar jelas. Detik kemudian, Nathanael langsung menarik wajahnya sembari tertawa remeh.
"Ya Tuhan. Sebenarnya kau pernah berciuman atau tidak?"
"A-aku..."
Clara tergugu. Bagaimana mau berciuman. Berpacaran atau teman kencan saja ia tidak punya.
"Kau itu jauh dari kata amatir. Kalau berciuman saja tidak bisa, lantas bagaimana caranya kau memuaskanku di atas tempat tidur?"
Suara Nathanael terdengar dingin dan ketus. Clara langsung dibuat kebingungan oleh pria itu.
Clara yakin kalau dirinya baru saja mengecewakan sosok Nathanael. Tapi, kalau dibiarkan saja, ia benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang.
"T-tapi aku masih perawan, Tuan."
"Percuma cantik, seksi, atau perawan sekali pun kalau tidak bisa apa-apa. Itu sebabnya, aku mencari wanita profesional yang bisa memuaskanku di atas tempat tidur."
Karena tidak tahu harus bertindak seperti apa, kali ini Clara mengambil posisi lain. Bangkit dari duduknya, lalu sengaja berpangku pada Nathanael. Untungnya saja ia tidak diusir.
Untuk kali kedua Clara kembali meraih bibir pria itu. Walau terasa kaku, ia terus berusaha untuk mencium.
Sedang Nathanael terlihat gemas. Merubah posisi, dengan sekali gerak, pria itu menjatuhkan tubuh Clara lalu membaringkannya tepat di atas sofa. Penuh perhitungan menindih, lalu balas mencium.
Nathanael terus memagut kedua belah bibir gadis di bawah tubuhnya. Seolah memberi tahu bahwa ciuman yang sebenarnya itu seperti apa.
Sementara Clara diam saja. Pasrah kala Nathanael menjelajah tiap centi bibirnya. Kemudian, ia merasakan bagaimana tangan pria itu berpindah tempat. Menyasar pada payudaranya, kemudian tanpa aba-aba meremas salah satunya.
Dalam ciumannya, bola mata Clara melebar dengan tubuh menggelinjang. Perpaduan antara rasa kaget dan juga tidak biasa. Remasan yang Nathanael beri berhasil membuatnya membeku beberapa saat. Mana pernah sebelumnya ia merasakan sentuhan aneh seperti ini.
Sambil terus memagut, tangan Nathanael lantas berpindah tempat. Berusaha menurunkan gaun Clara, di detik yang sama ia malah mendapati gadis itu refleks menggeleng berulang kali.
Nathanael sontak langsung menarik wajahnya. Melihat Clara yang tiba-tiba berurai air mata, dirinya pelan-pelan bangkit dari atas tubuh gadis itu.
"Astaga... ternyata aku hanya buang-buang waktu. Aku rasa kau tidak pantas menjadi partner ku di atas tempat tidur. Kau benar-benar payah."
Nathanael kemudian merapikan kemejanya, detik kemudian pria itu kembali berbicara sembari bersiap-siap untuk pergi.
"Rapikan gaunmu. Setelah ini silakan pergi dari hadapanku."
Clara tersadar kalau saat ini Nathanael sudah menolak dan juga mengusirnya. Ini berarti impiannya untuk mendapatkan uang banyak demi operasi sang ibu harus kandas. Lantas, ke mana lagi ia harus mencari uang. Clara sudah tidak punya banyak waktu.
"T-tapi, Tuan. Aku mohon beri kesempatan sekali lagi."
Nathanael tampak tidak perduli. Alih-alih menggubris, pria itu memilih keluar dari ruang VIP dengan santai, seolah tidak terjadi sesuatu sebelumnya.