“Pagi, Bu...”
“Pagi Dian..”
“Pagi, Bu”
“Pagi...” Selalu begitu, Nia adalah sosok yang sangat disegani karena sikapnya yang tegas dan tidak kenal ampun jika sudah mendapati seseorang lalai dari tugasnya. Selain itu dirinya termasuk seorang bangsawan dari tanah Sumatera, saat ini keturunan raja pulau itu berhenti padanya dan dua orang sepupu laki-laki. Harusnya gadis ini sudah berada di kedutaan besar Indonesia di Rusia. Namun berkat keberadaan sekelompok pria tua yang ia panggil Datuk*, ia tetap mendekam di pulau indah ini. *Datuk / Datuak = Kakek atau orang yang dituakan. Kata Datuk / Datuak / Dato berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari Da yang artinya Yang Mulia dan To yang artinya Orang. Dapat pula berarti Raja. Orang Minang Kabau, Malaysia, Brunei dan Filipina Selatan masih menggunakan gelar ini sampai sekarang.
“Puti*, Datuk Medan menitipkan pesan.” *Puti adalah bahasa Minang dari Putri. Artinya Tuan Putri.
“Simpan saja pesan beliau untukku, Diah.”
“Saya yakin kalau saya simpan, Puti akan mendapat suami dalam beberapa kedipan mata,” ucap Diah pada majikannya.
Nia menghentikan langkahnya, Datuk Medan adalah sebutan untuk kakeknya yang berkuasa di Medan. Dan yang satu ini cukup tegas dari yang lain. “Apa yang Atuk-ku mau kali ini?” tanya Nia yang kali ini benar-benar menoleh pada Diah, menunjukkan wajah bangsawannya nan anggun.
“Anda dan para Sultan diminta menghadap karena sudah dua tahun mengabaikan permintaan untuk menikah.” Wajah putri Sumatra itu langsung kaku mendengar kegilaan Datuk-nya itu.
“Ramdan dan Azka sudah menghubungiku hari ini?” tanya Nia karena ia sama sekali tidak pernah memegang benda itu lebih dari sejam dalam sehari. Handphonenya harus tetap jauh dari Nia agar seseorang tidak bangun dan mengambil alih hidupnya yang sudah sempurna. Sangat sempurna. Terlalu sempurna.
“Sultan Azka ingin anda saja yang menemui Datuk Medan sekalian merayu beliau,” ucap Diah. Diah paham betul bahwa apa yang ia sampaikan ini bisa membuat Puti Aini mengamuk. Tapi apalah daya dirinya yang hanya seorang dayang, sedang yang berpesan itu bukan orang sembarangan pula. Beginilah hidup Diah, terombang ambing antara Puti dan para Sultannya.
Nia mendengus kesal, ternyata Azka sudah mengamankan dirinya sendiri. Asal tau saja, pepatah Minang: ‘Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh’ (Terkurung tapi di luar, terhimpit tapi di atas) benar-benr di amalkan oleh Sultan Azka Lazuardy Jebat. Azka adalah rajanya kalau dalam hal berpandai-pandai, licik dan egois. Minang banget pokoknya dia, atau bahasa merekanya: Minang Bana.
“Ramdan?” tanya Nia yang moodnya sudah turun pada kadar tujuh puluh persen.
“Sultan Ramdan akan mendatangi anda nanti malam.”
Berdecak kesal, Nia meninggalkan dayangnya itu begitu saja. Nanti malam berarti siap-siap saja dia diceramahi lagi oleh Sutan* Rajo Angek Garang itu. Sebetulnya gelar Ramdan bukanlah Sutan Rajo Angek Garang, melainkan Sutan Paduko. Hanya saja karena dia yang selalu galak, gampang emosian dan suka sekali mengatur Nia sambil membentak, Nia akhirnya memberikan gelar khusus untuk sang sepupu. *Sutan = Sultan.
Diah menunggu majikannya keluar dari salah satu ruangan yang ada di gedung pemerintahan Sumatera. Ia yakin mereka akan segera pulang dan pastinya ia akan disemprot habis-habisan. Sejak tujuh tahun lalu majikannya ini berubah menjadi sosok yang berbeda, sering membentak, menatap tajam setiap orang yang membuatnya kesal, dan menghindari semua manusia yang berasal dari masa lalunya.
“Di, minta Ramdan menemuiku lusa dan aku ingin minta tolong juga bagaimana caranya supaya aku tidak berurusan dengan Fatih Ardan Mubarack.”
Diah tau bahwa Puti Nia suka minta yang aneh-aneh, tapi yang satu ini sungguh tak pernah ia bayangkan. Bukankah Fatih adalah orang yang sudah dikenalinya? Mereka satu sekolah bukan? “Urusan yang bagaimana, ya, Puti?” tanya Diah melupakan rasa ingin tahunya yang jika ditanyakan hanya akan membuatnya mendapat bentakan, lebih baik Diah bertanya yang normal-normal saja. Semisal urusan apa yang sang Putri maksud.
“Entahlah Di, dan karena aku tidak tau wajah orang ini, jangan sampai aku tau atau duniaku kiamat begitu saja.”
“Tidak tau wajahnya? Anda sangat tau wajahnya Puti Aini, dan setau saya anda tidak pernah mengalami amnesia.” Akhirnya Diah menyuarakan isi hatinya, sulit memang untuk tidak bertanya mengenai pikiran bangsawan cantik yang wajahnya sangat ingin dimiliki oleh semua gadis di pulau ini. Entah untuk pulau lain karena Diah dari kecil sampai sekarang selalu menapakkan kakinya di pulau Sumatera. Kecuali saat-saat tertentu ketika puti Aini yang memang mengajaknya bepergian.
“Aku Nia!! Dan berhenti bertanya!!!” tuhkan, dibilang juga apa. Semoga untuk hari ini hanya sekali saja Puti Aini membentaknya.
>>>
“Masa iya cewek ini teman sekolahku dulu,” gumam Fatih tidak percaya. Bagaimana pun cara melihatnya, layar ponselnya di lihat dari atas, dari samping, dari bawah, atau justru ponselnya itu yang dimiring-miringkan, Fateh tetap tidak bisa mengingatnya. Ia terus mempelototi wajah cantik dan angkuh milik seorang Putri tanah Sumatera yang akan ia temui untuk membicarakan pembangunan Mall di pulau itu.
Baru saja ia kembali mencoba mengingat bagaimana sosok Putri Aini di masa lalu, ponselnya berdering dengan heboh.
“Ya, saya sendiri,” jawabnya dengan gaya super formal dan super tenang.
“....”
“Saya butuh bicara dengan Aini, bukan dengan asistennya-” Omongan Fateh terjeda gara-gara orang yang sedang bicara dengannya saat ini sempat-sempatnya mengoreksi caranya bicara. Katanya tidak boleh memanggil nama langsung. Harus ada embel-embel Putri atau Puti-nya, sebagai bentuk penghormatan.
“Kalau dia Putri, berarti anda juga harus panggil saya Pangeran atau Paduka Raja sekalian! Lagian bukan urusan saya kalau dia ada urusan mendadak dengan kakek-kakeknya karena saya yang duluan membuat janji sama dia,” ucap Fateh kesal dan mematikan sambungan telfon begitu saja.
“Fay, lo yakin orang ini beneran anak sekolah kita?” Faya mempelototi adiknya dan tidak menggerakkan bibir sedikitpun. Ribuan kali sudah Fay mengingatkan untuk memanggilnya dengan sebutan Kakak dan berbicara padanya dengan bahasa yang sopan meskipun jarak umur mereka hanya satu tahun lima bulan namun si adik yang bebal ini masih saja tidak mengerti.
Fateh memutar bola matanya bosan. Kalau di Sumatera sana ada seorang Putri yang ngotot di panggil Putri, di sini juga ada Fay yang pengen sekali di panggil Kakak. Susah emang kalau Kakakmu kolot begitu. Memegang teguh banget aturan untuk menghormati yang duluan lahir. Untung aja Fateh lahirnya belakangan. Kalo engga.. beeehhhh mengundurkan diri dengan hormat pastinya Fay Alisha Rossalind dari Kartu Keluarga.
“Maksud Atih, Kakak beneran yakin Putri songong ini dulunya anak sekolah kita?”
Faya melengos menuju kamar anak-anaknya dan dari jauh Fateh mendengar betapa cerewet dan baiknya sang kakak pada dua bocah yang sekarang membuatnya berstatus sebagai paman itu, membuat siapapun yang mendengarnya pasti berpikir bahwa Fatih Ardan Mubarack sudah sangat tua karena dipanggil Om.
“Radinka Aini Jebat itu memang anak Bina Bangsa dan sempat jadi sorotan karena dia keturunan bangsawan Sumatera. Sekarang makin ramai lagi karens selain bangsawan, dia juga sepupu perempuan satu-satunya Sultan Sumatera. Makanya! Kalau sekolah itu jangan cuma badan saja.” Fatih yang baru saja berusaha meredakan emosinya karena gadis tidak jelas yang membuatnya membuang-buang waktu dengan tiduran selonjor dengan kepala berada di lengan sofa, langsung meraba dadanya mendengar suara sang Kakak. Bukannya barusan Fay di kamar anak-anak, ya?
Setelah terdiam cukup lama dan menormalkan detak jantungnya, “Atih sekolah cuma belajar kok,” ucapnya memasang wajah polosnya. Wajah yang kalau Adri dan Bian lihat pasti sudah mereka ludahi. Astaga, teman-temannya itu memang suka sekali menistakan titisan dewa yang satu ini.
“Iyaa.. belajar godain cewek satu sekolah.”
“Duh.. beliau ga nyadar,” cibir Fateh, dia merubah posisi menjadi berdiri sehingga Fay harus mendongak melihatnya. “Cewek mana Fay? Justru gue bisa dikategorikan cowok paling polos abad ini karena ga kenal cewek, kecuali temen lo yang mulutnya nyablak itu sama satu lagi, pacar ga jadi-jadinya Adri. Dan coba tebak kenapa? Karena gue harus ngawasin Kakak gue yang genitnya melebihi perawan yang minta dikawini! Sok-sok-an suka sama Abid eh... ternyata malah,” Fateh mendekati telinga Kakaknya agar hal selanjutnya yang ingin ia katakan hanya mereka berdua saja yang bisa mendengar, “Ikut program bayi tabung sama Abang ipar gue yang sekarang.” Begitu lanjutan kalimat Fateh. Bagaimanapun juga, ponakan pertamanya yaitu Danis Ammar Hardian adalah ponakan kesayangannya sehingga ia tidak ingin Ammar tau soal ini. Sedang untuk fakta bahwa Ammar adalah ponakan kesayangannya, dunia tidak perlu tau. Cukup dirinya saja yang paham akan hal itu. Ammar juga tidak perlu tau, cukuplah bagi Fateh bahwa di mata ponakannya itu Fateh adalah Om yang bawel dan ketus.
Dulu Fateh sempat gondok dengan kenyataan minimnya perempuan di antara mereka bersaudara, hanya ada dirinya dan sang Kakak ditambah Agam, Runa dan Gilang. Lalu ketika ia mendapat kabar kalau Kakanya hamil lagi, Fatih bahkan sengaja berdoa siang-malam agar ponakannya yang akan lahir itu adalah perempuan sehingga keluarganya bisa seperti keluarga normal lainnya. Jujur saja, berhadapan dengan para laki-laki ditambah Kakaknya dengan pola pikir ajaib sungguh membuat Fateh migrain hampir setiap hari. Apalagi pas hari raya, oh, jangan ditanyakan lagi.
Fay mengepalkan kedua tangannya kesal, dan tidak perlu menunggu lama sampai kedua tangannya mampir di rambut sang adik.
“Apa seperti ini contoh kakak-adik yang harus Abi dan Ammar dapat?” tegur Denis pada istri dan adik iparnya.
Fay dan Fatih segera menjauh satu sama lain dengan tampang datar keduanya yang sudah tidak asing lagi bagi Denis. Keduanya tampak kesal karena interupsi Denis. Fay melangkahkan lebar menuju dapur sedangkan Fatih melakukan hal yang sama menuju kamar yang Abang iparnya sediakan untuknya di rumah ini.