Rosi perlahan mendekati Herman. Walau wanita itu benar tengah kesepian, tapi sihir Herman membuatnya semakin panas dan bergetar. Dengan gerakan s*****l, Rosi mulai menyentuh pelan bahu Herman dan mengangkat dagu pria itu dengan tangan kirinya.
“Ada apa?” gumam Herman pura-pura menggoda.
Tanpa menjawab, Rosi seketika mengecup lembut bibir suami Santi itu. Awalnya hanya berupa kecupan lembut, namun perlahan berubah menjadi lumatan yang membuat Herman mendesah nikmat.
Setelah puas melumat bibir Herman, Rosi melepaskan bibirnya dan menatap netra Herman dengan tatapan tajam. Ke dua pasang mata itu saling bertemu dan beradu.
Pandangan mata Rosi berubah-ubah seakan bukan ia sendiri yang berada dalam jasad itu. Wajahnya juga berubah-ubah. Terkadang menjadi Rosi, terkadang menjadi wanita cantik bak bidadari.
Beberapa detik kemudian, sebuah seringai kembali terukir di bibir manis Rosi. Lalu, bibir yang baru saja menyeringai itu kembali melumat bibir Herman dengan lebih sadis lagi.
Herman membalas. Ia menggigit dan menghisap lidah Rosi dengan penuh nafsu. Decakan demi decakan terdengar di ruang dapur itu karena sepasang manusia itu begitu brutal melakukan aksinya.
“Ah!” Rosi berdecak seraya melepaskan bibirnya dari bibir Herman.
“Kenapa, ha?! Herman menarik rambut Rosi dan bersiap mencium wanita itu lagi.
“Mengapa kau memanggilku, Herman? Mengapa kau masukkan aku ke dalam tubuh ini?” Suara Rosi berubah menjadi lebih berat. Tangannya perlahan mulai membuka kancing kemeja Herman.
“Itu karena aku merindukanmu, Sayang ....” Herman membelai wajah Rosi dengan lembut.
“Kenapa? Bukankah aku sudah menawarkanmu kekayaan, tapi kau malah menolaknya?”
“Bukannya aku menolak, tapi belum waktunya. Orang-orang akan curiga jika tiba-tiba aku kaya mendadak.”
“Hhmm ....” Suara lenguhan pun terdengar. Kemeja Herman sudah terlepas dari tubuhnya.
“Tapi aku juga membencimu, Silvia!” Herman menjambak rambut Rosi dengan keras. Bukan, bukan Rosi sebenarnya yang sudah dijambak oleh pria itu. Silvia ... ya, Silvia lah yang saat ini ada di hadapannya dalam wujud Rosi.
“Ada apa, Herman?” Wanita itu kembali melenguh.
“Mengapa kau tidak bisa masuk ke raga Cici, ha? Bukankah kau tahu, betapa aku begitu menginginkannya. Bukankah kau tahu, aku begitu menggilainya.” Herman melepaskan jambakannya. Pria itu kembali membelai wajah Silvia dalam wujud Rosi.
“Wanita itu sulit untuk ditembus,” lirih Rosi. Napasnya sudah memburu.
“Apa masalahnya?” tanya Herman. Tangan kanannya terus membelai lembut wajah Rosi.
“Ilmunya terlalu kuat,” lirih Rosi lagi. napasnya mulai tersengal sebab ia mulai memanas.
“Tapi aku menginginkannya.”
“Bukankah kau tetap terpuaskan walau tidak bersama wanita itu?”
“Tapi aku menginginkannya.” Herman mengulangi kata-katanya.
“Mengapa kau tidak minta kekayaan saja, itu akan lebih mudah untuk aku penuhi,” lirih wanita itu lagi. ia mulai meremas d**a Herman dan memilin ujung benda hitam yang ada di d**a Herman.
“Aku ingin Cici, bukan kekayaan.”
“Bukankah jika kau kaya, maka dengan mudah kau akan dapatkan apa yang kau inginkan?”
“Tapi bukan Cici, sebab wanita itu tidak pernah berambisi dengan kekayaan. Ia sederhana, lembut dan sempurna.”
“Nanti akan aku usahakan lagi. sekarang kau sudah memanggilku dan saatnya kau harus memuaskan aku.”
Silvia dalam wujud Rosi, kembali melumat bibir Herman dengan sadis. Erangan demi erangan menggema mengisi setiap sudut ruangan itu. Erangan dan desahan itu cukup keras. Namun anehnya, tidak ada satu pun tetangga yang mendengarnya. Seharusnya dengan suara erangan yang nyaris berteriak itu, sudah mengundang perhatian warga atau setidaknya tetangga. Namun, tidak sedikit pun suara desahan mereka terdengar hingga keluar rumah.
“Ayo ....” Rosi menuntun tangan Herman menuju kamar putra Rosi. Kamar yang selalu digunakan oleh Herman dan Rosi untuk menghabiskan waktu bersama seraya melepaskan rasa yang tertahan. Kamar yang sarat dengan aura mistis dan juga hawa panas. Bahkan kasur tak berdipan itu sudah berulang kali terkena cairan sepasang manusia yang tengah dikuasai nafsu setann.
Rosi menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam. Wanita itu pun dengan cepat melepas semua pengaman tubuhnya yang hanya ditutupi daster tipis tanpa underwear.
Namun, tiba-tiba saja, tubuh Rosi berubah menjadi sosok yang lain. Sosok wanita cantik dan begitu seksi. Wanita yang dari wajahnya seperti gadis umur dua puluh dua tahun. Pinggang, wajah dan dua gundukan yang terpampang sangat indah dan sempurna. Bibir manis dan merona serta rambut lurus, panjang dan hitam lebat.
“Silvia ...,” gumam Herman terpana menatap wanita itu tanpa berkedip.
Herman di mata Silvia juga tampak berbeda. Pria hitam manis dan sederhana itu berubah menjadi sosok pemuda gagah dan memesona. Tubuhnya kekar dan wajahnya sangat tampan.
Perlahan, Silvia mendekat. Ia berjalan dengan gerakan eksotis seraya meliuk-liukkan pinggangnya dengan sedemikian rupa. Gunung kembar nan padat itu juga ikut bergoyang mengikuti irama langkah kakinya.
Ketika Wanita iblis itu sampai di depan Herman, pria itu segera mendekapnya. Melumat kasar bibir itu hingga erangan dan desahan yang keras kembali menggema. Kamar sederhana milik putra Rosi, seketika berubah bak kamar pengantin dengan kelambu melambai-lambai indah.
“Kau tetap saja menggairahkn, Sayang ....” Herman membelai pipi Silvia dengan lembut dan kembali mengulum bibir itu tiada henti. Seakan ia tidak pernah puas melumat bibir manis itu.
Jasad Herman dan Rosi pun mulai bergumul hebat. Herman meremas, menggigit dan menampar setiap sudut tubuh itu hingga membuat Silvia yang berada dalam tubuh Rosi semakin agresif dan bermain semakin kasar.
“Kau ... gila!” racau Silvia terus masuk lebih dalam ke permainan yang sudah ia ciptakan bersama Herman.
“Kau yang sudah gila!” Herman menjambak rambut Rosi dan menggigit bibir Rosi dengan keras.
Rosi berteriak. Rasa sakit dan nikmat bercampur aduk di jiwanya. Hingga lebih dari satu jam, mereka terus bergumul tanpa ada seorang pun warga yang curiga dengan aktifitas itu.
-
-
-
Rosi tiba-tiba terjaga. Ia melihat kamar putranya sudah sangat berantakan. Sprei yang membalut ranjang itu sudah terlepas dan ia tengah tidur di atas matras tak beralas.
Kamar itu benar-benar sangat berantakan. Selama bermain panas bersama Herman, tidak pernah sekali pun membuat kamar itu seberantakan ini sebelumnya.
Rosi terduduk, ia tercenung. Bahkan ia tidak ingat sudah melakukan apa saja dengan saudara sepupunya itu hingga menyisakan kekacauan separah ini.
Rosi juga merasa tubuhnya sangat pegal dan sakit. Rosi menatap gunung kembarnya, bagian itu memerah dan menyisakan banyak tanda kepemilikan di sana.
Apa yang sudah terjadi denganku dan bang Herman? Apakah kami sudah melakukannya? Tapi mengapa aku tidak ingat? Gumam Rosi di dalam hatinya.
Perlahan, Rosi menyentuh miliknya. Bagian itu masih lembab dan sedikit perih ketika ia menyentuhnya. Namun tiba-tiba, Rosi merasakana miliknya kembali bereaksi ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kulit bagian itu.
“Kenapa aku benar-benar tidak ingat apa pun? Gumam Rosi lagi. Ia terus memainkan jarinya di bagian itu.
Sial, aku justru menginginkannya, Rosi enggan melepaskan jarinya dari bagian itu. ia menatap Herman yang tengah terlelap seraya telentang. Matanya tertuju pada sebuah benda yang membuatnya candu, yaitu rudal.
Rosi pun mulai mendekati Herman. Ia menyentuh benda itu tanpa membangunkan Herman. Rosi begitu menikmati benda itu tanpa memedulikan jika pemiliknya masih saja terlelap.
Tidak lama, Herman pun terjaga. Ia merasakan ada sesuatu di bagian bawah tubuhnya yang membuatnya meremang. Ketika melihatnya, ternyata Rosi tengah menikmati benda kesayangannya tanpa membangunkannya lebih dahulu.
“Rosi, apa yang kau lakukan?” tanya Herman berusaha untuk duduk.
“Aku menginginkannya,” lirih Rosi.
Herman menatap sekitar. Ia melihat kamar itu sangat amat berantakan.
Kepalanya tiba-tiba saja nyeri. Ia memukul kepalanya pelan seraya mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Perlahan, ingatan Herman pulih. Ia ingat, betapa dahsyatnya permainnya tadi bersama Silvia—makhluk tak kasat mata yang sudah memberinya kekuatan gaib dalam berhubungan badan.
Ya, Herman kembali bisa mengingat betapa nikmatnya hubungannya dengan Silvia dalam jasad Rosi. Herman bahkan memuntahkan lahar hangatnya sampai dua kali.
Akan tetapi, bayangan wajah Cici kembali menari-nari di benaknya. Bagaimana pun puasnya ia bersama Rosi, Santi atau pun makhluk gaib bernama Silvia, tetap saja tidak membuat obsesinya terhadap Cici memudar. Herman ingin merasakan berhubungan dengan istri Sandi itu. Tidak saja ingin berhubungan, akan tetapi ingin memilikinya.
“Ada apa, Bang?” lirih Rosi menghentikan aksinya.
“Ah, tidak apa-apa.”
“Bang, apa kau tahu apa yang sudah terjadi? Aku merasa tubuhku sangat pegal dan kamar ini sangat berantakan. Tapi mengapa aku tidak bisa mengingat apa pun?”
“Itu karena kau terlalu hanyut dalam permainan abang, Sayang ....” Herman mulai membelai kepala Rosi. Ia berusaha mengalihkan perhatian Rosi.
Tentu saja kau tidak ingat apa-apa, Rosi. Sebab bukan kau yang tengah berhubungan denganku tadi, melainkan Silvia yang menumpang dalam tubuhmu. Gumam Herman dalam hati disertai seringai menakutkan.
“Aku menginginkannya lagi,” lirih Rosi, manja.
“Ayok ....”
Herman segera merebahkan tubuh Rosi ke atas ranjang. melumat bibir itu dengan kasar lalu melakukannya lagi. Kali ini ia melakukannya dengan Rosi bukan Silvia.