Azan subuh sudah berkumandang. Panggilan cinta itu sudah menggema di seantero kota Pekanbaru yang damai dan tenang di kala subuh. Di sebuah rumah sederhana, seorang wanita kembali terjaga setelah memejamkan matanya tidak kurang dari satu jam saja. Wanita yang tengah hamil tua itu, kembali merasakan sakit yang mendesak di bagian bawah perutnya.
Cici berusaha menahan tanpa mengeluarkan erangan. Perlahan, ia berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan dirinya dengan air wudu. Bagaimana pun juga, ia harus tetap menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim demi meraih cintanya Rabb sang maha pemilik diri.
“Allahu Akbar!” Terdengar suara takbir dari suara lembut Cici. Wanita itu tengah bermunajat kepada Tuhan-nya seraya memohon pertolongan dan kemudahan untuk dirinya dan janinnya.
Rasa sakit itu kembali mendera, Cici kembali berusaha menahan dengan sekuat tenaga. Ia tetap melanjutkan salatnya dengan kyusuk dan damai hingga Cici menyelesaikan dua rakaatnya dengan baik.
Selesai melaksanakan salat, Cici pun mulai menengadahkan tangannya ke atas langit demi mengharapkan pengampunan dan pertolongan dari Rabb-nya. Ia menangis sesegukan sembari mengkredilkan dirinya di hadapan sang khalik yang maha tinggi.
Tanpa di sadari oleh wanita itu, herman terus saja memerhatikan setiap gerak dan langkah Cici. Herman semakin mengagumi adik iparnya itu.
Cici, kamu sangat berbeda dengan kakakmu. Santi bahkan sangat sulit untuk dibangunkan pagi-pagi. Kalau pun bangun, ia tidak pernah melaksanan salat dan kewajiban sebagai hamba Tuhan. Sicilia ... andai saja kamu lahir lebih dulu, Herman terus bergumam seraya menatap punggung Cici yang masih memelas di depan Tuhan-nya.
Selesai bermunajat, Cici pun bangkit dari duduknya. Herman yang semula duduk memerhatikan wanita itu, seketika membaringkan tubuhnya di atas karpet di samping istrinya. Herman pura-pura tertidur.
Cici melipat peralatan salatnya dengan baik, kemudian meletakkannya di tempat yang seharusnya. Wanita itu kembali mengerang, sebab rasa sakit itu semakin lama semakin hebat saja. Dengan susah payah, Cici berjalan ke arah kamar ibunya. Perlahan, Cici melihat Herman dan Santi tertidur dnegan lelap.
“Mama ... mama ... mama sudah selesai salat?” Cici mengetuk-ngetuk pintu kamar ibunya.
“Iya, Sudah ... sebentar, Nak.” Tidak lama, Yeni pun keluar.
“Mama, kita ke rumah bidan May, yuk. jalan kaki saja sekalian maraton. Cici mau memeriksakan diri.”
Yeni mengangguk, “Iya, baiklah ... Tunggu sebentar ya, mama mau ambil jilbab mama dulu.”
Cici yang sudah siap dengan jilbabnya, mengangguk, “Iya, Ma. Cici tunggu diluar ya ....”
Sicilia duduk di bangku teras rumahnya, Herman menghampiri.
“Bagaimana, Ci?” tanya Herman sok perhatian.
“Sakit, Bang ....”
“Apa kata Sandi? Ah, jangan ditanya lah ya, laki-laki itu memang tidak bertanggung jawab.”
“Apa yang abang katakan? Bang Sandi sudah berangkat dan kemungkinan sebentar lagi akan sampai.” Cici membela suaminya seraya mengerang menahan rasa sakit yang kembali mendera.
“Mau abang antar ke rumah bidan?” tawar Herman.
Cici menggeleng, “Tidak usah, Bang. Cici mau pergi sama mama sembari olah raga. Bukankah bidan menyuruh Cici banyak-banyak berjalan.” Sicilia kembali menolak. Herman tampak kesal.
“Ya sudah ....” Herman berlalu dan masuk ke daam rumah.
Tidak lama, Yeni keluar, “Ci, ayo kita berangkat.”
“Ayo, Ma.”
Sicilia dan ibunya pun berjalan menyusuri jalanan kampung itu menuju rumah bidan terdekat. Jarak dari rumah Sicilia menuju rumah bidan lebih kurang sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki.
Sesampainya di rumah bidan May.
“Bagaimana, Ci? Sakitnya sudah sering?”
“Sudah, Bu. Sudah sekali setengah jam,” lirih Sicilia kembali seraya memegangi perutnya.
“Silahkan berbaring, biar ibu periksa.”
Sang bidan pun mulai melakukan pemeriksaan pada jalan lahir calon bayi Sicilia.
“Sudah mulai ada pembukaan. Silahkan cici menunggu dulu di sini. Perbanyak saja berjalan kaki, ibu mau siap-siap ke puskesmas dulu.”
Sicilia yang masih menahan sakit pun mengangguk. Perempuan dua puluh dua tahun itu bangkit dan mulai berjalan-jalan di sekitar kamar tempat ia berada. Baru sepuluh menit berjalan-jalan, Cici merasakan ada cairan yang keluar begitu banyak dari jalan lahirnya.
“Bu ... ibu, ini cairan apa?” Cici panik dan kembali berbaring di atas ranjang.
“Owh, ini cairan ketuban. Tidak apa-apa, itu artinya sebentar lagi Cici akan melahirkan. Perbanyak saja berjalan kaki dan jongkok, itu untuk memudahkan persalinan.”
“Iya, Bu.” Cici pun melakukan semua instruksi yang diperintahkan bidan May.
Namun sayang, sudah tiga jam menunggu, belum ada perkembangan dari jalan lahir itu. Bidan may pun kahirnya memutuskan agar Cici melakukan operasi saecar. Cici segera mengabari
“Cici, suami Cici mana? Ibu harus mengatakan sesuatu kepadanya.”
“Ada apa, Bu?” Sicilia mulai panik.
“Tidak apa-apa, tapi ibu harus menjelaskan beberapa hal kepada suami Cici.”
“Bang Sandi sedang di luar kota. Sebentar lagi akan sampai.”
Bu May mengangguk, sementara Sicilia terus berusaha menahan rasa sakitnya.
Di tempat yang berbeda, Herman tengah berada di rumah Indra—seorang dukun yang juga merupakan teman baik Herman.
“Ada apa, Herman?”
“Cici sedang kepayahan, tolong beri ia sesuatu untuk memudahkan persalinannya. Sekalian, buat ia membenci Sandi.”
“Ada apa? Mengapa kamu harus membuatnya membenci Sandi?” Indra menatap sahabatnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Saya tidak menyukainya. Selama ini ia terlalu mengabaikan Cici.”
“Herman, sepertinya kamu terlalu perhatian kepada adik iparmu itu, ada apa?” Indra terus menatap temannya itu.
“Tidak ada apa-apa. Saya hanya tidak suka dengan Sandi. Sekarang lakukan saja apa yang saya minta. Buatkan ia sebuah ramuan agar persalinannya berjalan lancar. Satu lagi, selipkan mantra agar Cici menjadi benci kepada suaminya.”
“Gampang! Tunggu sebentar, aku akan buatkan.”
Indra masuk ke dalam sebuah ruangan khusus untuk ia meramu mantra dan bersekutu dengan para setan yang selama ini membantunya. Ruangan berukuran tiga kali empat meter yang sarat dengan aura mistis dan seram. Ruangan yang gelap, pengap dan lembab.
Herman ikut masuk ke dalam ruangan itu. herman sudah tidak asing lagi dengan ruangan yang kental dengan aroma kemenyan dan busuk. Entahlah, aroma yang ada di dalam ruangan itu bercampur aduk. Terkadang busuk yang menyengat, terkadang tercium aroma wangi bunga melati yang bercampur dengan kerasnya mau kemenyan.
Herman duduk di depan dupa yang sudah di siapkan oleh Indra. Indra sudah membakar secuil kemenyan ke dalam bara yang terdapat di dalam dupa tersebut. Sesaat kemudian, aroma menyengat mulai tercium dari ruangan itu.
Herman sedikit bergidik, bulu kuduk pria itu mulai meremang. Herman seakan merasakan ada yang hadir di dekatnya. Herman mulai merasa tidak nyaman, namuan perasaannya tetap ia tahan sebab ia tidak ingin merusak konsentrasi sahabatnya dalam merapal mantra.
Sepuluh menit berlalu, Indra pun mulai membuka mata, “Ini ramuannya sudah selesai di mantrakan. Silahkan minumkan air ini kepada Cici. Mudah-mudahan ia akan segera melahirkan dengan lancar. Perlahan, ia juga akan mulai membenci suaminya dan beralih menyukaimu.”
Indra memberikan botol air mineral yang sudah ia bacai mantra-mantra kepada Herman.
“Baiklah, aku akan segera ke rumah bidan dan memberikan minuman ini kepada Cici.” Herman menatap botol air mineral itu dengan senyum miring nan sinis.
“Segeralah pergi, kamu harus meminumkan air ini kepada Cici sebelum suaminya datang.”
Herman mengangguk, “Iya, terima kasih, Indra.”
Herman menyalami Hendra lalu bangkit dari duduknya. Sedetik kemudian, ia pun berlalu dari ruangan yang gelap dan pengap itu menuju rumah bidan May.
“Bagaimana keadaan Cici?” tanya Herman kepada Santi—istrinya.
“Masih belum ada kemajuan, Kak. Ini sedang menunggu Sandi. Katanya sebentar lagi akan sampai.” Santi menjelaskan.
“Minumkan ini kepada Cici. Semoga setelah meminum ini, Cici bisa melahirkan dengan lancar.” Herman memberikan botol mineral itu kepada Santi.
Santi memerhatikan botol tersebut, “Minuman apa ini, Kak?”
“Ini ramuan untuk memperlancar persalinan. Seperti yang kaka buatkan dulu buat kamu. Minumkan saja kepada Cici. Mudah-mudahan setelah meminum ini, Cici tidak jadi operasi.”
Santi mengangguk. Wanita itu menerima botol tersebut tanpa ada rasa curiga sedikit pun juga.
“Segera minumkan kepada Cici,” perintah Herman.
“I—iya ....” Santi segera masuk ke ruang bersalin. Di sana Yeni dengan setia menemani putrinya yang tengah berjuang demi melahirkan anak pertamanya.
“Cici, coba minum ini. Bang herman sudah memintakan ramuan pelancar bersalin. Segera minum dan habiskan.”
“Air apa ini, Kak? Bang herman minta kemana? Kalau ke dukun, Cici tidak mau minum.”
“Minum saja, Ci. Kaka yakin ini hanya air biasa yang dibacakan sedikit doa, semoga setelah meminumnya Cici bisa melahirkan dengan lancar.” Santi sedikit memaksa.
“Mama ....” Sicilia menatap ibunya.
“Bismillah ... coba saja, Nak. Minta kepada Allah untuk kelancaran persalinan Cici. Bisa jadi air itu hanya sebagai media saja.” Yeni memberikan semangat untuk putrinya.
Sicilia mengangguk, “Baiklah, Ma.”
Sicilia yang semula berbaring, berusaha untuk duduk dengan baik. Ia mengambil botol air mineral yang masih berada di tangan Santi. Perlahan, Cici mulai membuka tutup botol minuman itu. tanpa di sadari oleh Cici, herman memerhatikan dari pintu ruang besalin tempat Sicilia berada.
“Bismillah ....” Sicilia mulai melafazkan doa. Perlahan, Sicilia mulai mendekatkan bibir botol itu ke mulutnya.
Namun, baru saja seteguk air itu masuk ke dalam mulutnya, Sicilia memuntahkanya lagi. ia merasa ada yang panas di bibirnya.
“Ada apa, Ci?” Santi terlihat panik ketika Sicilia melempar botol itu dan memuntahkan isi mulut dan perutnya. Beruntung, hanya air dan angin yang keluar dari muntahan itu.
“Panas kak, bibir Cici rasa terbakar.”
“Masa?” Santi mengambil kembali botol itu dan menuangkan sedikit air yang masih bersisa ke tangannya, “Dingin kok.”
“Waktu masuk ke mulut Cici rasanya sangat panas.” Sicilia mengernyit. Wanita itu kemudian kembali melafazkan zikir-zikir terbaik dan ayat-ayat suci Alqur’an yang biasa ia hafal.
Sial! Ternyata Indra benar, ada ilmu yang sangat kuat yang bersarang di diri Cici. Penunggu wanita itu sangat hebat hingga ia melempar kembali ramuan yang sudah dimantrai oleh Indra, Herman bergumam dalam hatinya seraya memukul pelan dinding yang terdapat di sebelah pintu kamar bersalin.
Tidak lama, Sandi pun datang.
“Sayang ... kamu tidak apa-apa? Apa yang dikatakan bidan May?” Sandi segera menemui istrinya dan membelai lembut puncak kepala Sicilia. Herman yang melihat kejadian itu, seketika memanas dan berlalu dari tempat itu.