25. Pekerjaan BIN dan Polisi Tertukar

1172 Kata
Persetujuan Alister yang memperbolehkan Yuni untuk ikut menuju polsek membuat Jenny sedikit merasa senang. Sebab, kedua orang yang canggung itu bisa saling bertemu dan bertegur sapa kembali seperti biasa. Inisiatif Yuni untuk datang membuat gadis itu yang tidak memiliki pekerjaan langsung memutuskan menunggu di ruangan Tim Investigasi Tingkat Lanjut. Ia tengah menggunakan komputer untuk melihat situasi interogasi yang ada di dalam dengan peretasan buatannya. Saat gadis itu asyik menonton, tiba-tiba pintu ruangan dibuka oleh seseorang membuat Yuni langsung mengalihkan jendela pekerjaan pada sistem operasi laptop pribadinya ke arah dokumen laporan yang sempat dibuka tadi. Terpampang seorang lelaki tampan yang membawa dua cup kertas kopi dengan tersenyum tipis menyadari gadis di dalam ruangan itu teralihkan. Delvin datang dengan mendudukkan diri tepat di hadapan Yuni. “Lagi ngapain?” tanya Delvin basa-basi melihat Yuni tampak selalu membawa laptop hitam milik BIN. “Bukannya udah enggak kerja di BIN, ya? Kenapa masih pakai laptop dari sana?” Yuni mengangguk singkat, lalu menjawab, “Gue kerja di Mabes Polri cuma sebentar. Mungkin bakalan balik lagi ke BIN. Karena posisi tetap gue ada di sana.” “Oh, gue pikir lo bakalan kerja di kepolisian.” Delvin mengangguk singkat, kemudian mendorong salah satu cup berisikan kopi tepat di hadapan Yuni. “Kopi buat lo. Pasti ngantuk banget nunggu di sini, tapi enggak ngapa-ngapain.” “Sebenarnya enggak bosan juga, gue malah yang minta ke sini. Karena gue juga penasaran sama Arkanio yang katanya menjadi tersangka dari pembunuhan kedua orang tuanya sendiri.” “Masalah itu … baru instituisi polisi aja. Kalau faktanya kita emang masih mencari, tapi Arkanio mau mengaku sesuatu hal. Jadi, dia manggil detektif Mabes Polri buat pengakuan.” Sementara itu, di sisi lain Alister dan Jenny baru saja masuk ke ruangan interogasi yang tertutup. Arkanio yang berada tepat di hadapan mereka berdua tampak terdiam dengan pandangan kosong. Hal yang menarik perhatian Alister sejak pertama kali membuka pintu. Kalau diingat, kemarin Arkanio benar-benar percaya diri. Bahkan sama sekali tidak mau mengakui sesuatu yang dilakukannya. Entah itu benar, atau tidak. Pada kenyataannya, Arkanio lebih banyak mengelak dibandingkan harus mengalah pada bukti yang jelas-jelas sudah berada tepat di hadapannya. “Bagaimana kabarmu, Pak Arkanio?” tanya Alister mendudukkan diri dengan membuka catatan berkas di tangannya. Sedangkan Jenny yang berada tepat di samping lelaki itu tampak membaca sebagian laporan dari Delvin. Memang tidak banyak yang lelaki itu katakan, selain menginginkan mereka berdua untuk datang. “Saya sedang tidak baik-baik saja,” jawab Arkanio tersenyum miris. “Yeah, you looking so bad,” gumam Alister mengangguk beberapa kali, kemudian Arkanio penuh. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan sampai memanggil kita berdua kemari?” Arkanio terlihat menarik napas panjang, dan mengembuskan secara perlahan. Ia mencondongkan tubuhnya menatap kedua orang di hadapannya yang terlihat serius. “Saya ingin mengakui satu hal,” ucap Arkanio. “Tentang?” sahut Jenny mengernyitkan keningnya penasaran. “Orang tua saya dibutuh tepat semalam sebelum beliau melaporkan tentang kasus kebakaran dua puluh tahun lalu,” balas Arkanio menatap serius, bahkan ia sama sekali tidak berkedip. Seakan hendak memberi tahu bahwa dirinya tengah jujur dari lubuk hati yang paling dalam. Sejenak Alister dan Jenny saling berpandangan. Keduanya tampak mengerti satu sama lain, dan kembali menatap ke arah Arkanio yang terlihat berusaha memberanikan diri untuk mengatakan semuanya. “Dari mana kamu tahu?” tanya Alister terdengar tidak percaya. Kejadian semalam sebelum Pabio dan istrinya dibunuh mulai diceritakan oleh Arkanio, yang kebetulan menjadi tersangka pertama di balik pembunuhan. Sebab, Pabio tepat dibunuh setelah selesai menelepon anak kandungnya sendiri. Malam yang gelap untuk sepasang suami-istri yang baru saja selesai makan malam. Tinggal berdua tanpa anak membuat mereka terkadang kesepian. Akan tetapi, tidak ada yang bisa berbuat banyak hal, selain menunggu kedatangan anak-anak mereka yang masih sibuk di luar sana. Pabio sehabis makan malam pun memilih untuk mendudukkan diri di balkon kamar. Kornea matanya yang terlihat sayu tampak merekam jelas di ingatan tentang suasana Kota Bekasi yang penuh gemerlap lampu. Salah satu kota metropolitan dengan segala perindustrian terpusat membuat Kota Bekasi benar-benar terasa penuh dan sesak. Sebagai penopang ekonomi setelah DKI Jakarta, Kota Bekasi memang sering kali dikenal sebagai sayap segala perindustrian yang terjadi. “Pah, kenapa belum tidur?” tanya Yunita menghampiri suaminya yang ternyata masih terjaga di dalam kamar. Pabio menoleh dengan senyuman lembut, lalu menjawab, “Sudah lama kita tidak mendengar suara Arkan. Apa dia masih sibuk dengan pekerjaannya?” “Papah ‘kan tahu kalau Arkan sedang melakukan perjalanan bisnis. Pastinya dia sibuk sampai belum menghubungi kita beberapa hari ini.” Yuni memeluk pundak Pabio dengan erat. “Papah jangan khawatir. Mamah yakin kalau Arkan di luar sana baik-baik saja.” Pabio mengembuskan napasnya berat. “Sebenarnya Papah ingin membicarakan masalah kasus dua puluh tahun lalu. Papah pikir, sudah seharusnya kita mengakui apa yang kita perbuat dulu.” Mendengar hal tersebut, Yunita tampak terdiam. Wanita paruh baya itu memang sering kali dihantui oleh perasaan bersalah. Walaupun pada kenyataannya, memang bukan murni dari kesalahan Yunita sendirian. “Papah yakin?” tanya Yunita memastikan. “Yakin,” jawab Pabio mengangguk mantap. Pada saat yang bersamaan, ponsel milik salah satu dari pasangan paruh baya itu pun berdering pelan membuat tatapan Yunita tampak berbinar ketika melihat nama Arkanio terpampang jelas. “Halo, Mah, Pah! Ini Arkan,” ucap lelaki itu terdengar serak menahan rindu. “Iya, sayang,” balas Yunita tersenyum haru membuat air matanya mengalir begitu saja. “Gimana kabar kamu di sana? Baik-baik aja, ‘kan?” “Mamah tenang aja. Arkan di sini baik-baik aja kok. Bahkan Arkan menang tender yang ada di Singapura,” ucap Arkanio terdengar senang sekaligus bangga. “Baiklah, sayang. Kamu di sana jaga kesehatan. Jangan lupa makan dan beristirahat penuh,” ucap Yunita tersenyum lega. “Oh ya, Papah mau ngomong sesuatu sama kamu.” Arkanio tidak menjawab apa pun sampai suara Pabio terdengar berat dan serak. Lelaki paruh baya itu memiliki suara berat basah yang begitu dalam. “Halo, Arkan! Ini papah,” ucap Pabio memberi tahu. “Iya, Pah,” jawab Arkan singkat. “Katanya Papah mau ngomong, tentang apa?” “Arkan, bagaimana kalau Papah melaporkan kebakaran dua puluh tahun lalu?” Pertanyaan tersebut membuat Arkanio sukses tidak bersuara sama sekali. Lelaki itu terdiam membisu sampai kedua orang tuanya yang menunggu jawaban terlihat cemas. Apalagi Pabio sering kali membicarakan hal seperti ini, sampai keluarga mereka terkadang mendapatkan banyak teror. “Pah, bukannya Arkan udah bilang. Jangan menjadi orang yang sok pahlawan. Papah lupa terakhir kali kita bicarain soal ini, tiba-tiba Arkan kehilangan semua kontrak kerja sama. Bagaimana kalau sekarang malah jadi incaran pembunuh bayaran?” omel Arkanio terdengar tidak setuju. “Nak, jangan terlalu kasar! Ini papah kamu,” tegur Yunita tidak suka dengan perkataan anaknya mulai menjadi-jadi. “Mah, Arkan khawatir kalau kalian berdua terjadi sesuatu!” seru Arkan terdengar kesal. Pabio mengangguk mengerti membuat Yunita langsung memegang lengan sang suami semari menggeleng pelan. Seakan wanita paruh baya itu tidak ingin keduanya saling bertengkar hanya karena masalah seperti ini. “Arkan minta, kalian berdua jangan ngelakuin apa pun sampai Arkan datang!” pungkas lelaki itu tepat mematikan panggilannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN