30. Lelaki Aneh Klub Yang Mendekat

1052 Kata
“Jenny, mau clubing enggak?” Sebuah pertanyaan itu sukses mengejutkan Jenny yang baru saja meneguk air minum membuat ia terbatuk-batuk pelan. Sebelum akhirnya, mengelap mulut menggunakan tisu yang tersedia di atas meja. “Lo gila!? Kita itu polisi Yuni …!” Jenny memejamkan matanya sesaat, kemudian berusaha menahan diri untuk tidak mencecar sahabatnya habis-habisan. “Kalau ketahuan, apa kata atasan nanti? Masa polisi malah ngajarin yang enggak benar, sih.” “Ih, bukan begitu maksud gue,” bela Yuni dengan sedikit gemas mendengar respon sahabatnya sedikit berlebihan. “Ya, terus maksud lo apa?” “Sebenarnya gue udah bilang sama Delvin buat ketemuan gitu, sekaligus ngelurusin hubungan kita berdua biar enggak canggung lagi. Tapi, katanya Delvin lagi ada operasi tangkap tangan di club. Jadi, gue mau ke sana sekalian nyamperin dia.” “Hah? Lo mau nyamperin polisi lagi operasi?” Lagi-lagi Jenny dibuat terkejut dengan ajakan sahabatnya yang benar-benar di luar dugaan. Karena terkadang Yuni memang semua orang sulit untuk mengerti gadis itu, sampai Jenny yang bersahabat sejak lama pun mulai ikut meragukannya. “Yuni, kalau polisi lagi operasi itu enggak seharusnya lo ajak main. Karena mereka pasti langsung sibuk interogasi tersangka, bukannya mau seperti yang lo lihat di BIN,” ucap Jenny mengusap dadanya perlahan agar tetap sabar. “Tanggung jawab mereka sebagai polisi besar, jadi enggak seharusnya kita ke sana malah bikin repot.” Mendengar hal tersebut, Yuni mendadak terdiam. Nyatanya gadis itu juga baru mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Jenny memang benar. Terkadang polisi tidak langsung merasa tenang telah melakukan operasi tangkap tangan, tetapi ada ketakutan tersendiri jika mereka memiliki tersangka yang kabur. “Begini aja, kalau emang lo mau ke sana. Gue bisa nganterin sekaligus ngebantu Delvin. Tapi, kalau buat nongkrong, lebih baik lo cari hari yang lebih nyaman aja,” lanjut Jenny berusaha mengerti sahabatnya yang memang tidak pernah mengetahui konsep kerja seorang polisi. “Oke, Jen. Gue ikut apa kata lo aja,” balas Yuni terdengar tidak keberatan sama sekali. Akhirnya, panggilan yang dilakukan oleh mereka berdua pun terputus. Jenny mengembuskan napas panjang sambil menggeleng beberapa kali menyadari sahabatnya benar-benar di luar dugaan. Sampai mengingikan datang ke tempat terlarang yang tidak terduga sama sekali. Tak lama Jenny bersiap untuk berangkat menemui sahabatnya, benda pipih yang berada di dalam kantung celana pun berdering pelan. Membuat gadis itu merogoh salah satu sakunya melihat sebuah pesan yang ternyata dikirimkan oleh sang kakak. Sebenarnya mereka berdua jarang sekali berbincang melalui telepon, sebab panggilan yang dilakukan untuk internasional benar-benar sangat mahal. Membuat Jenny sering kali mendengar kedua kakaknya protes ketika mendapatkan tagihan telepon. Jalan tengah yang menjadi keputusan paling adil memang hanya berkomunikasi melalui pesan singkat. Walaupun pada kenyataannya, kedua sang kakak lelaki itu bisa saja menggunakan aplikasi lain untuk menjadi perantara. Akan tetapi, keduanya cukup malas untuk berganti dalam teknologi yang berbeda. Jenny tersenyum senang melihat candaan ala bapak-bapak yang dilontarkan sang kakak, sebelum akhirnya ia kembali memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku. Gadis itu menggunakan mobil pribadi, sebab angkutan umum yang bisa digunakan benar-benar memasuki jam terakhir. Sehingga sulit jika sewaktu-waktu gadis itu hendak kembali tanpa ingin menunggu lama. Beberapa saat berkendara membelah jalanan padat merayap ala ibukota yang tidak pernah berubah, akhirnya Jenny pun sampai di depan gedung penuh gemerlap cahaya malam. Salah satu tempat laknat yang sering kali dinasehati oleh kedua kakaknya itu benar-benar Jenny datangi untuk pertama kali dalam hidupnya sebagai perempuan, dan bukan polisi. Tentu saja menangani kasus n*****a membuat Jenny sering kali memasuki tempat berbahaya tanpa merasa takut sedikit pun. Karena keselamatannya akan dijamin oleh negara dan atasan. Membuat gadis itu tidak pernah takut atau ragu dalam melakukan pekerjaan. “Jenny!” panggil Yuni yang baru saja tiba diantarkan oleh taksi. “Naik taksi?” Jenny mengernyitkan keningnya bingung, lalu mengembuskan napas panjang. “Nanti baliknya sama gue aja.” Yuni tersenyum senang sambil mengangguk kuat, kemudian gadis itu pun memeluk tangan kiri Jenny dengan erat. Membuat sang pemiliknya mengernyit tidak percaya. “Lo ke sini mau ikut operasi, Yuni. Bukannya senang-senang,” ucap Jenny memutar bola matanya malas. “Kayaknya gue salah nurutin kemauan lo datang ke sini.” “Gue cuma pengen nikmatin suasana aja, Jen,” balas Yuni mendengkus pelan. “Lagian semua bakalan curiga kalau gerak-gerik kita aneh. Jenny mengangguk malas. “Terserah lo aja.” Setelah itu, kedua gadis cantik dengan pakaian sedikit nyetrik pun melenggang masuk. Mereka berdua diperiksa lebih dulu oleh petugas wanita tersebut. Sebelum diperbolehkan masuk dengan memegang sebuah kartu undangan. “Apa ini?” tanya Yuni mengernyit bingung tangannya memegang kartu undangan malam ini. Jenny melirik singkat, lalu menjawab, “Biasanya ada pesta di dalam sini. Tapi, gue enggak yakin kalau Delvin datang tanpa melihat situasi dulu. Atau … jangan-jangan dia.” Mendengar perkataan menggantung yang sedikit mengerikan, hal tersebut membuat Yuni menggeleng keras. Gadis itu berusaha mengusir perkataan Jenny yang mungkin terdengar sedikit menakutkan. “Jangan berpikir aneh-aneh dulu, Jen.” Kemudian, tatapan Yuni terjatuh pada seorang wanita cantik yang terlihat berbincang dengan beberapa lelaki di dekatnya. Ia bisa merasakan betapa kuatnya kharisma wanita itu, walaupun hanya tertawa ataupun sesekali menanggapi perkataan lelaki di hadapannya. “Kayaknya Delvin belum datang ke sini,” gumam Jenny pelan, lalu menoleh ke arah gadis di sampingnya. “Lo mau duduk dulu di bar?” “Ayo!” balas Yuni bersemangat Kebetulan sekali kursi tinggi yang berada tepat di depan meja bar tampak beberapa kursi kosong membuat kedua gadis itu bisa mendudukkan diri tanpa meraa terganggu dengan musik berdentum kuat. Entah kenapa Jenny sedikit takjub dengan orang-orang yang sangat menyukai club, padahal baru masuk saja mereka langsung disuguhi musik yang begitu memekakkan telinga. Membuat siapa pun mungkin akan merasa gendang telinga berdengung ingin pecah. “Lho, Jenny, tumben lo ke sini!” celetuk seorang lelaki tepat berada di samping Yuni tampak mencondongkan tubuhnya menatap seorang gadis cantik yang begitu anti mendatangi klub malam. Jenny menoleh dengan alis kanan terangkat, lalu mendesis pelan. “Emangnya kenapa kalau gue datang?” “Ya, lo bisa ngajak gue ke sini,” jawab lelaki itu tersenyum menggoda, kemudian melirik ke arah Yuni dengan mengusap dagunya minat. “Siapa nih? Bisalah kenalin ke gue, Jen.” “Mimpi!” seru Jenny terlihat marah. “Please, Jod. Bisa enggak sih lo pergi? Gue datang ke sini bukan buat senang-senang. Jadi, lebih baik lo sekarang nyingkir sebelum gue teriak pelecehan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN