Melakukan berendam di air yang terasa begitu sejuk, Jenny benar-benar merasa begitu menyenangkan. Sayangnya Debian kembali lebih dulu akibat lelaki itu harus memverifikasi beberapa prosedur masuk akibat diketahui pengunjung masuk tanpa membeli tiket lebih dulu.
Akhirnya, mau tidak mau Jenny melenggang pergi sendirian. Gadis itu telah puas bermain air pun memutuskan untuk membersihkan tubuh sekaligus mengganti pakaiannya kembali menjadi bersih. Jenny menaiki anak tangga satu per satu tepat langkah kakinya menghadang kedua orang lelaki yang hendak turun.
“Udah selesai, Bang?” tanya Jenny mendongak menatap kedua lelaki tampan di hadapannya.
Fajrian mengangguk singkat, lalu menjawab, “Udah. Tadi emang ada rombongan yang masuk tanpa tiket, jadi semua pembeli harus datang ke sana lagi buat ngelakuin verifikasi sekaligus mencegah terjadinya penerobosan tempat wisata. Karena beberapa hari yang lalu di sini terjadi penemuan mayat diketahui bukan pengunjung.”
“Hah? Kok bisa?” Jenny menatap penuh ngeri. “Terus gimana jadinya, Bang?”
Debian menepuk puncak kepala Jenny dengan tersenyum tipis. “Enggak ada yang perlu dikhawatirin lagi, karena penemuan jasadnya bukan di sini, tapi curug yang lagi ditutup sama polisi. Jadi, pengurus cuma takutnya ada seseorang yang sengaja datang ke sini buat menghilangkan bukti.”
“Lo udah selesai, Jen?” Fajrian memperhatikan pakaian sang adik yang telah berubah. “Kalau beitu, kita langsung ke atas aja buat makan siang. Udah laper banget gue.”
Jenny mengangguk bersemangat, kemudian memberikan tas pakaian kepada kakak pertamanya. Untuk dibawakan oleh Debian membuat lelaki itu berlapang d**a menerima tas pemberian sang adik yang begitu menggemaskan.
Sejenak ketiga orang kakak beradik itu tampak melangkah secara bersamaan dengan sesekali Debian membantu Jenny yang sedikit kesulitan menapakkan kedua kakinya beralaskan sepatu lari cukup tebal. Gadis itu hendak tergelincir beberapa kali kalau tidak cepat-cepat ditahan oleh Debian.
Sesampainya di depan stand makanan berat, ketiga kakak beradik itu kompak terdiam menatap satu per satu pedagang yang terlihat ramai. Meskipun tidak dalam hari weekend tetap saja tempat wisata tidak pernah sepi membuat banyak sekali pengunjung berdatangan tanpa henti.
“Mau makan apa?” tanya Fajrian menoleh ke arah Jenny.
“Mie ayam enak, Bang,” jawab gadis itu menunjuk ke arah pedagang seorang lelaki paruh baya dengan kedua tangan kokohnya meracik bumbu sekaligus menuangkan beberapa bahan ke dalam mangkuk.
“Bakso atau mie ayam?” Debian kembali bertanya dengan meyakinkan, sebab Jenny tipikal gadis yang tidak akan puas sebelum melakukan sesuai kemauan hatinya.
“Kalau kata gue ... lebih baik makan mie ayam, Jen. Porsinya banyak dan enak juga, ditambah bakso ataupun pangsit!” usul Fajrian berusaha menggoda sang adik agar tidak goyah dalam pilihannya.
“Atau ... sate ayam aja, Bang? Bumbu kacangnya juga enak!” balas Jenny tertarik ketika hidung mungilnya mencium asap dari pegadang paruh baya bersama istrinya mulai menyajikan sate ayam dengan saus bumbu kacang beserta nasi panas.
Debian mengembuskan napasnya panjang. “Kalau di Bogor, biasanya gue lebih suka makan Bubur Ayam Cianjur. Karena kalau nyari di Jakarta rasanya kurang sesuai dibandingkan di sini. Apalagi suasana Bogor lebih dingin, enakan makan yang masih panas.”
Mendengar penuturan kakak pertamanya, Jenny pun mendadak terdiam. Air liur gadis itu nyaris keluar mendapat usulan makanan yang memang sudah lama sekali tidak dinikmati. Terlebih selama berada di Jakarta, Jenny memang lebih sering membeli makanan yang berada di restoran, ataupun pedagang kaki lima ketika malam tiba.
“Bubur juga enak!” balas Jenny mengangguk mantap. “Jen mau makan itu aja, Bang! Ayo, kita serbu sebelum kehabisan!”
Ketika Debian merasa berbangga diri telah mendapatkan persetujuan Jenny, lain halnya dengan Fajrian yang merasa sedikit kecewa. Nyatanya lelaki itu memang tidak mengerti kemauan adik perempuannya yang mudah sekali berubah sebelum bisa memantapkan sesuatu.
“Pak, bubur ayam 3 porsi! Satu pori sambalnya banyakin, ya. Yang duanya lagi enggak usah. Terus, yang sambalnya banyak jangan pakai daun bawang sama kacang kedelai. Itu aja,” ucap Jenny seperti biasa melakukan penyebutan pesanan yang hendak dimakan.
Sedangkan Debian mengambil minuman yang berada di lemari pendingin membuat Fajrian bergegas mencari tiga bangku kosong untuk diisi. Keadaan stand makanan itu memang cukup ramai, sehingga Fajrian mendapatkan bangku yang cukup jauh dari pedagangnya.
Tak lama kemudian, Debian pun datang membawa tiga botol minuman the dengan berukuran sedang. Disusul Jenny membawa nampan berisikan bubur pesanannya membuat Fajrian langsung bangkit mengambil alih makanan tersebut.
Sejenak ketiga kakak beradik itu tersenyum senang melihat ke arah bubur ayam panas di hadapannya. Tidak dapat dipungkiri Jenny mulai menyendok tepi mangkuk dengan mengambil lebih sedikit bubur ayam tersebut lengkap beberapa topping di atasnya.
“Uhm! Enak banget,” puji Jenny menutup separuh wajahnya dengan melebarkan mata tidak percaya, kemudian gadis itu mulai makan dengan lahap. “Baru kali ini makan bubur ayam yang rasanya khas dibandingkan pas beli di Jakarta.”
“Emang benar bubur ayamnya punya ciri khas,” timpal Debian mengangguk beberapa kali sembari memberikan cakwe ke arah Jenny. “Selain rasanya yang kuat, porsi buburnya juga seimbang antara topping dengan bubur putihnya tanpa timpang tindih.”
Fajrian mengangguk mengerti, lalu berkata, “Pantas aja banyak dokter yang kalau balik dari Bogor itu langsung ngeluh masalah bubur ayam. Gue pikir mereka aja lebay, ternyata emang seenak ini rasanya. Sampai gue benar-benar merasa di awan.”
“Tinggi banget bahasa lo sampai di awan!” ejek Debian tertawa geli dan mengambilkan kerupuk yang berada di atas mangkuknya kepada Fajrian.
Sontak hal tersebut membuat Fajrian dan Jenny saling melemparkan tatapan geli. Mereka berdua jelas mengetahui bahwa salah satu tindakan kasih sayang dari Debian memang tidaklah bisa dilihat sederhana. Terkadang lelaki itu memperhatikan setiap hal-hal kecil dari kedua adiknya.
Akhirnya, kegiatan makan siang dari ketiga kakak beradik itu terselesaikan membuat mereka secara kompak melenggang pergi meninggalkan stand Bubur Ayam Cianjur. Fajrian dan Jenny tampak mendatangi beberapa penjual kaus di pinggiran jalan tempat khusus area oleh-oleh untuk dibeli.
Jenny menyentuh beberapa kasus berlengan pendek yang bertuliskan Kota Hujan, panggilan khusus untuk Bogor yang memang setiap hari akan ada hujan mengguyur kota tersebut. Membuat beberapa pengendara yang datang dikhususkan untuk mengenakan jas hujan agar pakaiannya tetap dalam keadaan kering.
“Bang, bagusan yang ini atau yang ini?” Jenny mengambil dua kaus yang sama hanya berbeda warna, merah dan biru.
Fajrian terdiam sesaat, lalu menjawab, “Kalau kata gue, lebih baik merah, Jen. Lo udah lama banget enggak beli kaus merah.”
“Aah, tapi gue lebih suka biru,” keluh Jenny mengerucutkan bibirnya tidak rela.
***
“Nona Bel, ada seseorang yang ingin menemuimu.”
Perkataan dari Max membuat seorang wanita tengah berdiri memegang cangkir berisikan kopi itu tampak membalikkan tubuh sesaat. Bel terlihat menaruh cangkir tersebut di meja kecil yang berada di sampingnya.
“Siapa?” tanya Bel membalikkan tubuh sembari melangkah ke arah meja kerja.
Max berdeham pelan sebelum menjawab, “Polisi yang pernah kita tangkap di klub malam itu.”
Mendengar jawaban tersebut, Bel mengangguk singkat. Wanita cantik itu tampak mendudukkan diri di kursi kebesarannya bersamaan Max melenggang keluar untuk memanggilkan seseorang yang hendak bertemu dengan dirinya.
Wanita itu memang sedikit terkejut menyadari orang asing yang belum pernah ditemuinya malah datang tanpa memberi kabar sama sekali. Apalagi untuk ukuran bawahannya yang kemungkinan besar baru saja menceburkan diri di pekerjaan ilegal.
Seorang pemuda tampan nan gagah tepat berdiri di hadapan Bel, membuat wanita itu memandangi penuh tatapan menelisik. Terlebih ia seperti pernah melihat lelaki itu sebelum datang kemari. Namun, ia memilih untuk diam sebelum lelaki di hadapannya berbicara lebih dulu.
“Selamat siang, Nona Bel. Saya Delvin yang kemarin datang ke sini untuk mengantarkan surat, sayangnya tidak ada jawaban apa pun hingga saya memutuskan datang kemari,” ucap Delvin dengan niat terselubung.
“Letter?” Bel menukik alis kanannya bingung, kemudian melemparkan tatapannya ke arah Max. “What do you mean?”
Seakan mengerti tatapan anak bos di hadapannya, Max memberikan secarik amplop putih tepat di hadapan Bel membuat Delvin terlihat mematung menyadari suratnya ternyata tidak pernah sampai di tangan wanita tersebut.
Bel mengembuskan napas panjang sembari membuka surat tersebut. “Lain kali diperhatikan, jangan sampai klien kita merasa kecewa.”
“Baik, Nona!” jawab Max tegas.
Tepat menyelesaikan perkataannya, Bel kembali fokus mengambil sesuatu yang berada di amplop tersebut. Ia merasakan terdapat beberapa kertas tebal berisikan foto membuat wanita itu mengernyitkan kening bingung, lalu menatap ke arah Delvin sesaat.
Wanita itu menatap hasil bidikan kamera yang memperlihatkan lima orang polisi tengah berdiri tepat menghadap ke arah Delvin dengan tatapan serius. Bel mengibaskan tangannya ke arah Max dengan memberikan kode pada lelaki paruh baya tersebut keluar dari ruangannya.
Setelah memastikan Max benar-benar melenggang keluar dari ruangan, Bel menatap penuh sekaligus tajam ke arah Delvin yang kini melangkah mendekat.
“Katakan!” Bel menyandarkan tubuhnya santai sembari menautkan sepuluh jemari yang begitu lentik dihiasi kuku panjang dengan beberapa pernak-pernik khusus. “Kedatangan Anda datang ke sini hanya untuk bernegosiasi dengan saya, bukan?”
“Cerdas!” Delvin menjentikkan jemarinya singkat, kemudian mendudukkan diri dengan mencondongkan tubuh serius. “Selama ini gue tahu kalau kepolisian memiliki hubungan khusus sama organisasi gelap yang ternyata menjadi pemilik pulau panti asuhan Kasih Bunda.”
“Jangan terlalu banyak bicara! Cepat katakan!” potong Bel merasa tidak sabar dengan sikap bertele-tele dari lelaki di hadapannya yang seakan hendak memberikan tekanan pada dirinya.
Padahal upaya yang dilakukan lelaki itu cukup menyedihkan sampai tidak menyadari bahwa tindakannya benar-benar mencerminkan Delvin yang rakus akan kekuasaan sampai menemui Bel secara pribadi hanya untuk mengancam wanita tersebut.
Delvin menegakkan tubuhnya serius, lalu bertanya, “Sejak kapan lo berubah menjadi pemilik perusahaan? Bukankah waktu masih dijaga oleh Tuan Adsila?”
Bel menatap tanpa ekspresi. Wanita itu terlihat tidak ingin mengatakan apa pun, sampai tangannya meraih salah satu foto yang ada di sana. Ia sesekali memastikan bahwa di tangannya memang benar-benar milik seorang gadis yang menjadi penyebab sekaligus alasan dirinya memutuskan untuk meninggalkan Debian.
“Jenny?” Bel mengenal salah satu dari lima orang dalam bidikan foto di tangannya.
Delvin tersenyum miring menyadari wanita di hadapannya mengenal salah satu dari mereka, lalu berkata, “Jangan terlalu fokus dengan gambar di depannya. Perlu diketahui itu memiliki dua foto yang berbeda.”
Sejenak wanita itu menuruti perkataan Delvin dan mulai membolak-balikkan foto di tangannya. Sayang sekali hasilnya nihil membuat Bel merasa seperti dipermainkan, sampai tatapan wanita itu terpaku pada amplop yang terlihat sedikit rapat meski sudah diambil isinya.
Dan benar saja, di sana tertempel foto lain membuat Bel merasa dikerjai oleh seorang lelaki yang jauh lebih muda dibandingkan dirinya. Wanita itu menghela napas kasar sampai kedua matanya membulat sempurna menyadari hasil bidikan foto tersebut adalah dirinya sendiri yang berpegangan tangan bersama Debian. Tepat ketika mereka berdua tanpa sengaja bertemu di rumah sakit.
“Apa maksudmu?” tanya Bel terdengar dingin yang mengancam. “Jangan hanya karena dua foto ini sudah berani datang. Sebenarnya saya juga tidak terlalu peduli dengan ancaman murahan seperti ini.”
Delvin menggeleng singkat, lalu menjawab, “Kedatangan bernegoisiasi ke sini memang benar. Tapi, gue masih belum puas dengan tawaran yang terlalu kecil. Lain halnya ketika gue mempublikasikan foto-foto seperti itu di media. Apakah lo masih ada muka untuk tampil di depan umum?”
Merasa sangat terpojok dengan perkataan Delvin, membuat Bel ingin sekali mencekik lelaki itu. Sayangnya pekerjaan Delvin tidak sesederhana kelihatannya, menajdikan lelaki itu sedikit lebih cerdas dibandingkan pekerja lainnya.
Tidak menutup kemungkinan tanpa disadari Delvin, memang sudah sejak dulu Bel merasa kurang puas dengan pelayan polisi yang lebih mementingkan bayaran, meskipun pekerjaan mereka sebanding dengan orang pengangguran elit.
“Saya ingin penambahan personil!” ungkap Delvin mantap. “Bukankan itu sudah menjadi tanggung jawab Anda sebagai pemasok orang baru?”
Bel tertawa sinis, lalu membalas, “Astaga, Anda sangat lucu. Jangan berpikiran saya memang menjalani semua bisbis tanpa prioritas. Nyatanya apa yang Anda minta memang bukan urusan saya.”
Perkataan tersebut sukses membuat Delvian merasa tersinggung. Apalagi lelaki itu benar-benar memberikan bidikan foro miliknya yang menandakan dirinya memang cukup berbahaya. Apalagi ditambah semakin berani terhadap menampakkan wujud aslinya di depan orang tertentu.
“Jangan bermain-main, Nona Bel!” kecam Delvin berusaha menahan diri.
“Sudah saya bilang, kalau ini bukan urusan saya!” seru Bel melempar kedua foto tersebut dengan tatapan berapi-api, sebab ia sama sekali tidak mempercayai telah diperalat oleh lelaki muda seusia Jenny. “Max, cepat masuk! Urus semua keperluannya dan peringatkan jangan pernah datang ke sini lagi tanpa urusan penting.”
Tepat menuturkan kalimat panjang, Bel langsung memutar kursinya membelakangi Delvin yang melebarkan kedua mata terkejut. Namun, sayangnya Max dengan gerakan secepat kilat berdiri tepat di hadapan Delvin, berusaha mengalihkan perhatian lelaki itu.
“Silakan keluar!” titah Max tetap menjaga kesopannya.
Delvin mendengkus keras, lalu berkata dengan intens, “Nona Bel, jangan mengira keputusan Anda seperti ini akan melindungi kenyataan bahwa saya orang yang mudah diperalat. Nyatanya Anda yang perlu berhati-hati. Karena akan ada kamera baru yang siap menangkap gambar selanjutnya.”