Sebuah papan nama panti asuhan Kasih Bunda dengan berisikan sekitar 36 anak kecil berpakaian putih polos. Masing-masing dari mereka memiliki usia yang cukup berbeda, tetapi tidak membuat keributan yang terlalu menyusahkan para pengurus.
Terlihat beberapa anak kecil berwajah polos tampak bermain di sebuah lapangan basket kecil dengan di tangan mereka berisikan sebuah kapur untuk melakukan corat-coret hasil karya seni diri sendiri. Sesuatu yang wajib diapresiasi untuk sebagian anak memiliki bakat melukis.
“Apa yang sedang kamu gambar?” tanya anak perempuan pada anak laki-laki yang terlihat serius mengukirkan kapurnya pada lapangan basket berwarna hijau tersebut.
“Masa depan kita akan bahagia. Lihatlah, aku menggambar dirimu dan dua teman kita lainnya,” jawab anak laki-laki itu tersenyum lebar memperlihatkan hasil karyanya yang tidak terlalu buruk.
“Wah, apa aku baru saja bertambah tinggi di sini?” seru anak perempuan itu bersemangat.
“Iya, kamu akan bertambah tinggi saat besar nanti. Tapi, enggak akan bisa melebihi tinggiku,” balas anak laki-laki itu percaya diri.
“Mengapa? Bukankah semua anak perempuan akan bertambah tinggi melebihi teman laki-lakinya sendiri?” sahut anak perempuan itu mengernyit bingung.
“Mungkin itu akan berlaku kalau kamu saat kecil tingginya sudah melebihi aku, tapi lihatlah sekarang. Bahkan kamu saja tidak sampai ke telingaku,” balas anak laki-laki itu tertawa geli.
Seorang anak laki-laki lainnya pun datang membawa sebuah kotak di tangannya. Ia menghela napas panjang mendengar perdebatan yang selalu saja terjadi tanpa diketahui siapa pemenangnya.
“Tama, Ara, kalian berdua selalu saja bertengkar seperti anak kecil,” ucap Alfa sok dewasa dengan menggeleng berpura-pura tidak percaya melihat sifat kekanakkan keduanya.
“Jangan berlaga sok dewasa, Alfa. Kamu juga anak kecil dan kita semua akan kecil,” sahut Zio terdengar sinis, lalu mendudukkan diri di samping Tama yang mengangkat alisnya tidak mengerti.
“Kalian bertiga bisa diam tidak? Aku pusing mendengarkan perdebatan ini!!!” protes Ara dengan nada bicara cukup tinggi sehingga hampir terdengar seperti berteriak. Lalu, gadis kecil itu menutup telinganya rapat-rapat. Seakan ia tidak suka pembicaraan yang terus berlanjut.
Akhirnya, tiga anak laki-laki yang mendengar hal tersebut tidak memiliki pilihan lain. Mereka harus segera menuruti permintaan Ara. Kalau tidak, terpaksa mereka harus membuat gadis itu diam seperti anak kucing daripada menjadi burung beo yang terus berbicara tanpa lelah.
Di tengah tiga anak kecil itu tengah membuat karya, tiba-tiba terdengar seruan seseorang wanita dewasa yang berada jauh dari mereka. Sampai dengan Zio yang memiliki pendengaran tajam itu pun bangkit.
“Ibu panti sudah memanggil kita untuk makan!” celetuk Zio bersemangat.
“Ara, ayo kita makan!” ajak Tama mengulurkan tangan pada gadis kecil yang menghela napas panjang.
“Baiklah, ayo kita pergi!” balas Ara patuh.
Kemudian, mereka berempat pun masuk ke dalam dengan sambutan hangat dari ibu panti yang langsung menyiapkan tempat duduk. Terlihat banyak sekali anak kecil tengah berebut makanan dan sibuk memakan tanpa mengindahkan teman sampingnya yang merasa iri ketika mendapati makanan mereka dalam jumlah berbeda.
“Anak-anak, dengarkan Ibu sebentar dan jangan ada yang berisik!” seru seorang wanita paruh baya sembari memberikan interupsi agar tidak ada lagi pertengkaran yang dibuat.
Setelah beberapa saat hening, wanita itu pun tersenyum lebar. Lalu, menatap semua anak-anak dengan ekspresi kebahagiaan yang tidak terpancarkan lebih.
“Nanti malam kita akan kedatangan donatur terbesar di panti asuhan ini. Tapi, donatur terbesar itu ingin mengadakan pesta kecil-kecilan yang harus kalian rayakan nanti. Jadi, Ibu minta kalian semua mandi dan berpakaian rapi untuk mengikuti acaranya, ya?” celoteh ibu panti dengan ekspresi kebahagiaan yang begitu terpancar.
“Wah, ada pesta!!” pekik anak-anak dari panti asuhan Kasih Bunda itu senang.
Tidak sedikit mereka mengekspresikan kesenangannya dengan memukul-mukul meja membuat keadaan mendadak sangat riuh hingga tidak bisa dikendalikan dalam beberapa saat. Harus ada pengurus lainnya yang bertindak.
“Baiklah. Selesai makan malam, kalian semua harus segera mandi. Jangan sampai Ibu menemukan ada anak yang belum mandi. Karena Ibu akan memberikan hukuman yang sangat berat,” ancam ibu panti tersebut dengan ekspresi berpura-pura kesal.
“Enggak akan, Bu! Ara pasti akan mandi dan berpakaian bagus,” jawab seorang anak perempuan yang terlihat bersemangat.
Ibu panti yang berdiri di tengah-tengah itu pun tertawa pelan mendengar jawaban yang diberikan oleh Ara. Sebab, gadis kecil itu baru saja mendapatkan hadiah gaun cantik dari salah satu pengunjung yang datang.
“Selamat makan, semuanya!!!” putus ibu panti dengan ekspresi kegembiaraan yang selalu terpancar di depan semua anak-anak panti. Akan tetapi, tidak ada yang tahu bahwa wanita paruh baya itu memiliki beberapa kesulitan.
Sementara itu, Ara yang menatap kepergian ibu panti pun sedikit bingung. Karena wanita paruh baya itu terlihat sedih sekaligus murung saat melangkah ke belakang.
“Aku melihat Ibu menangis,” celetuk Ara pada Alfa dan Tama.
“Di mana?” tanya Tama penasaran.
“Pas Ibu masuk ke dalam wajahnya terlihat sedih,” jawab Ara jujur.
“Bukankah tadi masih baik-baik saja?” sahut Alfa bingung.
“Aku juga tidak tahu, tapi wajah Ibu benar-benar sedih,” balas Ara menggeleng pelan, lalu memasukkan makan malam yang hanya mendapat lauk sup dan beberapa suir daging ayam.
Sedangkan Zio terdiam mendengarkan obrolan tiga temannya yang mendapati ekspresi tersembunyi ibu panti. Padahal ia sudah melihatnya sejak dulu, tetapi dirinya sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya sendiri.
“Menurutku, Ibu sudah bersedih sejak kemarin. Saat panti ini kedatangan tamu yang memberikanmu gaun cantik Ara,” celetuk Zio yang duduk di samping Tama.
“Cepat ceritakan pada kami!” pinta Ara terdengar menuntut.
“Kapan kamu melihatnya?” tanya Tama kebingungan. Karena teman sekamarnya ini memang tidak pernah mengatakan apa pun.
“Saat kamu dan Alfa sedang bermain bola di lapangan,” jawab Zio santai.
Namun, ekspresi penasaran terlihat jelas di hadapan Ara yang menyadari bahwa perkataan Zio adalah kebenaran. Karena anak laki-laki itu adalah yang paling jujur di antara mereka berempat.
“Aku menjadi penasaran apa yang sedang terjadi,” gumam Ara layaknya orang dewasa membuat Alfa yang mendengar hal tersebut ikut mengangguk.
“Tapi, sepertinya Ibu juga tidak akan mengatakannya kepada kami. Karena kami masih terlalu kecil untuk mengerti masalah orang dewasa,” timpal Alfa.
“Kita juga tidak bisa berdiam diri seperti ini,” tolak Tama tidak terima.
“Kalau begitu, kita hanya perlu mengamati keadaan dan selalu menyelidiki ketika ada tamu yang datang dan pergi tanpa membawa salah satu dari kita,” putus Zio tersenyum meyakinkan.