3. Awal Mula Kenangan Buruk

1057 Kata
Pesta pada malam itu pun berjalan dengan lancar. Karena semua prang terlihat sangat bahagia dengan menyantap banyak sekali makanan hasil pesanan dari seorang wanita cantik, tetapi memiliki ekspresi dingin yang berusaha untuk menjadi hangat. Tentu saja semua orang tampak sangat gembira melakukan semuanya tanpa mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, ekspresi senang itu ternyata sama sekali tidak berlaku pada ibu panti yang berdiam diri di sudut ruangan menatap anak-anak asuhannya sudah lumayan besar. Mereka semua tampak tertawa riang sembari menikmati hidangan yang cukup menggiurkan. Tanpa diketahui oleh siapa pun, ternyata empat anak kecil yang sudah merasakan sebuah perbedaan situasi pun merasa ada kejanggalan membuat mereka sangat berhati-hati. Tentu saja yang pertama kali merasakan hal tersebut adalah Tama, dan Ara. Keduanya saling berpandangan tanpa mengatakan apa pun. Ibu panti menyadari bahwa jam sudah hampir larut malam karena biasanya anak-anak akan tidur pukul 21.00 WIB, kini sudah terlewat satu jam. Membuat wanita paruh baya berwajah lembut itu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan pengurus yang sejak tadi duduk di sampingnya sembari menikmati hiburan. “Anak-anak, ayo kalian semua tidur! Sudah hampir larut malam, besok waktunya sekolah dan jangan sampai terlambat,” seru ibu panti membuat beberapa anak patuh meninggalkan meja pestanya masing-masing, lalu menuju asrama yang berada di gedung samping. Namun, seruan tersebut sepertinya tidak berfungsi pada satu meja berisikan tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan yang masih setia menempelkan bo*kongnya di kursi sembari menikmati makanan dengan sangat tenang. “Tama, bawa adik dan teman-teman kamu tidur,” titah ibu panti terdengar tegas. Selama ini memang Tama seakan menjadi seorang kakak bagi Ara. Mengingat betapa dekatnya mereka berdua sampai tidak ada lagi yang berani mendekati Tama, selain Ara dan dua teman lainnya, Alfa dan Zio. Akhirnya mereka berempat pun bangkit meninggalkan meja makan yang masih ada berisikan beberapa potong bolu dan buah-buahan segar. Jarang sekali mereka mendapatkan makanan tersebut ketika berada di sini dan harus berbagi makanan. Sepanjang melangkah menuju asrama yang menjadi kamar bagi anak-anak panti asuhan Kasih Bunda, Ara terlihat sesekali menatap ke arah gedung ruangan makan yang bercampur menjadi dapur. Tempat biasa ibu panti dan beberapa pengurus lainnya menghabiskan waktu di sana. “Ada apa, Ara? Mengapa wajahmu seperti enggak rela untuk kembali?” tanya Tama sedikit cemas melihat perubahan sikap Ara yang tidak seperti biasanya. “Aku hanya enggak ingin tidur lebih cepat. Apalagi perutku masih sangat penuh untuk merebahkan diri. Sepertinya, aku harus duduk di taman menunggu cacing-cacing yang ada di perutku melahap dengan puas,” jawab Ara dengan ekspresi polosnya yang sungguh lucu. Sedangkan Alfa yang mendengat hal tersebut tampak tidak percaya. “Kamu enggak memakan apa pun sejak tadi, Ara. Bagaimana bisa perutmu kenyang?” “Biarkan saja terserah dia. Lagi pula sudah ada Tama yang akan menjaganya. Sekarang lebih baik kita berdua kembali sebelum ditemukan oleh pengurus panti,” sela Zio mengandeng pergelangan tangan Alfa untuk segera pergi dari sana. Karena matanya benar-benar sangat berat dan ingin segera tidur ke alam mimpi. Kini tinggallah Ara dan Tama yang masih berada di taman sembari menatap langit berisikan bulan terbulat penuh layaknya purnama. Padahal bulan ini sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda bulan purnama di mana ada sekumpulan serigala yang mencari makan. “Tama, apa kamu sudah mengantuk?” tanya Ara menatap wajah anak laki-laki yang ada di sampingnya dengan jarak begitu dekat. “Belum. Akan menemanimu sampai mengantuk,” jawab Tama menggeleng pelan. Sejujurnya, anak laki-laki tampan berpakaian kemeja yang dipadukan dengan celana jeans itu memang sama sekali tidak mengantuk. Justru ia tengah memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam ruang makan. “Kita harus berpindah tempat, karena pengurus panti pasti akan lewat ke sini,” ucap Ara menggandeng pergelangan tangan Tama dan menyeretnya pergi dari sana. Karena anak laki-laki itu mendadak tidak ingin pergi ke manapun. Saat itu, keadaan semakin gelap dengan lampu ruang makan sudah padam. Bahkan beberapa mobil mewah tampak meninggalkan pekarangan panti asuhan Kasih Bunda. Meskipun panti ini terletak di sebuah pulau terpencil dan hanya bisa menggunakan kapal, tidak menutup kemungkinan banyak sekali pengunjung yang datang dan pergi tanpa tujuan. Karena mereka sama sekali tidak mengadopsi anak-anak di Panti Asuhan Kasih Bunda. “Tama, kamu ngerasa aneh engga sama pesta tadi?” bisik Ara sembari menyembunyikan diri di balik batu besar di taman, lalu menatap sekumpulan orang kaya melenggang keluar tertawa lepas. “Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Kita harus tidur, Ara. Ini hampir masuk tengah malam dan kamu sama sekali enggak ngantuk,” balas Tama acuh tak acuh. Akhirnya, mau tak mau Ara pun terdiam.  Perkataan Tama terkadang memang menyebalkan, meskipun anak laki-laki itu sangat perhatian dengan dirinya. Seorang wanita yang menjadi peran penting di balik pesta meriah itu pun keluar bersama ibu panti. Namun, wanita itu terlihat sedikit aneh sembari berbisik pada beberapa pengikutnya yang mendekat. Setelah itu, keadaan pun kembali sepi dengan wanita tadi pergi memasuki mobil yang sudah meninggalkan panti asuhan. Sedangkan ibu panti sudah melenggang masuk dan pengikut wanita yang berada di sana seorang diri pun melangkah entah ke mana. “Ara, kita harus tidur!” ucap Tama memecahkan konstrasi Ara yang hendak memperhatikan perbuatan lelaki tadi. “Aku belum ngantuk, Tama. Lagi pula kita enggak akan ketahuan kalau tetap berada di sini. Jadi, sudahlah jangan berisik dan tetap temani aku,” balas Ara sedikit kesal. Kemudian, sepasang anak kecil itu tetap terjaga sampai larut malam. Bahkan keadaan panti sudah gelap. Hanya ada lampu-lampu di luar yang tetap menyala menerangi beberapa tempat, dan sudut panti lebih besar. Lama kelamaan Tama pun mendadak suntuk. Karena sejak tadi kegiatan mereka berdua hanya duduk sembari memandangi langit gelap yang hanya diterangi oleh bulan berwarna putih menonjol. Mengingat di pulau ini memang hanya ada panti asuhan tanpa rumah penduduk di sekitarnya membuat pasokan makanan dan beberapa barang selalu datang melalui kapal yang telah ditugaskan. Di tengah kebosanan Ara menunggu ngantuk, tiba-tiba ia melihat sebuah api muncul dari atap dapur membuat gadis kecil itu langsung terkejut dan menggoyang-goyangkan tubuh Tama yang bersandar di batu. “Tama! Tama! Tama!” panggil Ara terdengar panik. “Kenapa, Ara? Jangan berisik nanti kita bisa ketahuan,” tanya Tama sedikit kesal. “Ada api!” seru Ara menunjuk-nunjuk ke arah atap yang sayang sekali sudah terbakar lebih banyak daripada gadis kecil itu lihat pertama kali. Sontak Tama yang melihat hal tersebut langsung tercengang tidak percaya. Sebab, dalam waktu sekejap panti asuhan menjadi kediaman mereka selama beberapa tahun itu hangus dilalap si jago merah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN