“Jenny!!!”
Terdengar suara teriakan seorang lelaki dari luar ruangan membuat Jenny yang berada di dalam mengembuskan napas panjang, kemudian mendongak penasaran melihat tingkah Delvin seperti bukan pemimpin di dalam timnya.
“Ada apa, Vin? Ngapain lo teriak-teriak begitu?” tanya Jenny mengembuskan napasnya lelah melihat tingkah lelaki di hadapannya tidak pernah berubah.
Delvin memperlihatkan pesan singkat dari Wakil Komisaris Jenderal Polisi yang meminta Jenny untuk datang ke markas. Membuat sebagai ketua tim, Delvin merasa terkejut bawahannya mendapatkan panggilan tidak terduga seperti itu.
“Hah? Gue ke markas?” Jenny melebarkan matanya terkejut, lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun untuk mendapatkan panggilan tidak terduga.
“Lo harus ke sana! Tadi gue udah tanya sama Pak Sandi, kalau memang lo dipanggil ke markas,” ucap Delvin mengangguk meyakinkan, lalu meringis pelan. “Lo enggak ngelakuin kesalahan apa pun, ‘kan?”
Jenny memukul pundak rekan kerja sekaligus sahabatnya dengan gemas. “Enak aja! Gue itu kerja setiap hari benar, memangnya kayak lo yang ribut mulu.”
“Terus, ngapain lo dipanggil ke sana?” tanya Delvin terdengar sinis sembari mengusap-usap pundaknya yang terasa berdenyut.
“Ya, mana gue gue tahu!” jawab Jenny kesal. “Lo sebagai ketua tim gimana, sih? Masa bawahan teladan seperti gue sampai dipanggil.”
“Ya mana gue tahu juga!” Delvin mendelik horror. “Memangnya kerja gue ngawasin lo doang? Mungkin aja lo pernah ngelakuin kesalahan, terus enggak sadar sampai sekarang. Jadi, dipanggil sama markas.”
Jenny memutar bola matanya malas, lalu bertanya, “Sekarang gue ke markasnya?”
“Iya, biar penyelidikan serahin ke gue sama Vion,” jawab Delvin kembali serius. “Kebetulan gue sama Vion mau mengambil laporan forensik di faksimile. Sekaligus rapat ngomongin masalah ini lagi.”
Sebenarnya Jenny tampak tidak ingin meninggalkan rekan kerjanya, tetapi panggilan ke markas jelas harus segera dipenuhi. Mengingat yang memanggil gadis itu bukanlah orang sembarangan, sehingga mau tidak mau Jenny harus merelakan seluruh tim rapat tanpa ada dirinya.
“Kalau ada sesuatu, jangan lupa kabarin gue!” pinta Jenny menepuk pundak Delvin pelan.
Setelah itu, Jenny pun melenggang keluar dengan mengancingkan seluruh kemeja miliknya. Ia hendak menggunakan pakaian dinas khas kepolisian berwarna cokelat dan abu-abu. Karena bertemu dengan petinggi jelas gadis itu harus berpakaian rapi, mengingat jabatan mereka berada di markas bukankah orang sembarangan.
Tentu saja hanya petugas kepolisian yang terpanggil saja bisa datang ke sana. Bahkan untuk bertemu para petinggi, mereka semua harus menyiapkan segala keperluan, kalau tidak ingin ditinggalkan begitu saja.
Sesaat kemudian, Jenny sampai di sebuah gedung dengan penjagaan polisi cukup ketat. Gadis itu tersenyum canggung ketika salah satu petugas melangkah mendekat. Polisi wanita dengan pangkat bintang cukup mengagumkan itu tampak tersenyum singkat ke arah Jenny.
“Aleyza Jenny Niaraputri, benar?” ucap polisi wanita tersebut.
“Iya, benar dengan saya sendiri,” balas Jenny mengangguk pelan. “Tolong panggil saja Jenny, tidak perlu nama lengkap.”
“Baik, saudari Jenny. Mari ikuti saya,” pinta polisi wanita itu melangkah lebih dulu.
Sedangkan Jenny mendengar permintaan itu hanya mengikuti dengan sesekali menatap ke arah sekeliling gedung yang terlihat sibuk. Banyak sekali polisi dengan berbagai seragam berjalan tanpa arah, seakan mereka benar-benar sibuk.
“Permisi, kalau boleh tahu saya akan menemui siapa, ya?” tanya Jenny dengan sopan.
Polisi wanita itu tampak tersenyum tipis, lalu mulai memencet elevator di hadapannya. “Kita akan bertemu dengan Pak Listanto.”
Mendengar nama yang membuat jantungnya bergetar, Jenny nyaris limbung ke belakang. Kalau tubuhnya tidak cepat-cepat memegang pegangan yang ada di elevator. Gadis itu mengembuskan napasnya beberapa sampai terasa sedikit tenang.
“Saya benar-benar bertemu dengan Pak Listanto?” tanya Jenny berusaha memastikan dengan nada tidak percaya.
Polisi wanita itu mengangguk singkat tepat elevator berhenti dengan membuka pintunya. “Jangan khawatir. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun, Pak Listanto hanya ingin berbicara beberapa hal denganmu. Jadi, jangan terlalu tegang dan silakan masuk ke dalam.”
Sejenak Jenny memegangi jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat di depan pintu ruangan. Entah kenapa ingin sekali kabur, tetapi tatapan polisi wanita di belakang benar-benar menakutkan. Seakan wanita itu memperingatkan pada Jenny untuk masuk tanpa membuat tingkah di luar nalar.
Dengan mengembuskan napas singkat, Jenny pun mengetuk pintu ruangan tersebut beberapa kali. Sebelum akhirnya, gadis itu memutuskan masuk menatap seorang lelaki paruh baya tengah berdiri dengan telepon menempel sempurna di telinga.
“Permisi, Pak. Saya boleh masuk?” tanya Jenny dengan suara cukup pelan.
Listanto menoleh dengan mengangguk singkat membuat gadis yang menunduk hormat di ambang pintu pun melenggang masuk. Kemudian, Jenny menutup pintu ruangan dengan sangat pelan sampai tidak terdengar apa pun.
Setelah selesai menutup panggilan, Listanto pun tersenyum tipis dan melangkah mendekat ke arah Jenny yang berdiri di dekat sofa kecil. Gadis cantik itu tampak canggung dengan memegang topi dinas yang berada di tangan kirinya.
“Duduklah, Jenny. Saya hanya ingin membicarakan beberapa hal padamu,” ucap Listanto tersenyum tipis, kemudian mendudukkan diri dengan diikuti Jenny mulai duduk tepat di hadapannya.
“Apa yang ingin Pak Listanto katakan?” tanya Jenny dengan menunduk sopan.
Listanto memperlihatkan dua berkas di atas meja, lalu mendorong pelan. “Lihatlah, itu berkas promosi jabatan kamu. Sekarang kamu dipindahkan menjadi detektif Tim Investigasi Khusus di bawah pengawasan Mabes Polri.”
“Maksud, Bapak?” Jenny mengernyitkan keningnya bertanya-tanya dengan bingung.
Sejenak gadis itu mengambil berkas yang menyatakan dirinya mendapat promosi setelah beberapa waktu lalu menangkap buronan n*****a. Tentu saja pencapaian tersebut memang membutuhkan pengakuan, hanya saja Jenny tidak mempercayai bahwa hal ini terjadi pada dirinya sendiri saja. Bahkan Delvin pun tampak tidka mendapatkan pengakuan apa pun.
“Pak, kenapa hanya saya yang mendapatkan promosi jabatan?” tanya Jenny menutup berkas tersebut dengan menggeleng pelan. Ia tidak bisa bersikap egois, sedangkan Delvin malah tetap menjabat sebagai ketua tim.
“Tenang saja, semua tim yang berhasil membekuk kasus kemarin akan mendapatkan imbalan untuk menggunakan ruangan dengan barang menjadi lebih canggih. Tapi, yang dipindahkan hanya kamu seorang, Aleyza Jenny Niaraputri. Kamu tetap menjadi anggota detektif. Tidak ada perubahan tentang keputusan ini, jadi kamu harus menerima hasil akhir yang sudah dirapatkan,” jawab Listanto dengan lugas membuat Jenny langsung menunduk mengerti.