6. Kepergian Yang Memberatkan Orang Tua Alister

1004 Kata
“Ketua Tim, Petinggi Kepolisian Metropolitan hendak bertemu denganmu!” Seorang lelaki tampan yang terlihat tengah memasukkan seluruh barang keperluannya ke dalam kotak hanya menoleh singkat, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya sampai seorang bawahan polisi SWAT memutuskan untuk pergi menjauh. Sesaat Alister mendudukkan diri di kursi kerja lamanya, seorang lelaki paruh baya melenggang masuk dengan tersenyum lebar menatap ruangan yang mulai terlihat kosong. Hanya berisikan beberapa pajangan yang sengaja ditinggalkan begitu saja. Alister berdiri dengan menyapa, “Good night, Sir Antonio.” “Duduklah, Alister. Aku ingin berbicara beberapa hal denganmu,” balas Antonio Brecker yang selama ini menjadi pemimpin kepolisian SWAT, tempat kerja lama Alister yang telah menjadi profesi selama sepuluh tahun terakhir. Sejenak dua orang petinggi Kepolisian Special Weapons And Tactics itu tampak duduk saling berhadapan di sofa kecil yang berada di sudut ruangan. Alister baru saja menyajikan segelas kopi panas untuk menemani perbincangan terakhir mereka, sebelum lelaki itu memutuskan untuk mutasi ke Indonesia. “Aku tidak menyangka kamu akan mengambil keputusan yang tidak terduga seperti ini,” celetuk Antonio menggeleng tidak percaya. Ingatan lelaki paruh baya itu tampak kembali pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Surat pengunduran diri mengejutkan semua petinggi kepolisian yang baru saja merasa senang akibat Alister menyelesaikan kasus penculikan perempuan di wilayah Seattle. Memang sangat mengejutkan rencana Alister untuk mengundurkan diri setelah pencapaian yang cukup berhasil, agar mendapat pelantikan dengan pangkat yang lebih tinggi. Sampai permintaan Alister yang ingin bermutasi ke negara asalnya pun membuat semua petinggi di SWAT tidak bisa menolak sama sekali. Tentu saja mereka tidak akan memiliki alasan kuat untuk tetap menahan Alister berada di tempat yang memang sejak dulu bukan menjadi seharusnya. Sebab, kedatangan Alister menjadi anggota kepolisian SWAT sudah direncanakan oleh Antonio Brecker. “Dad, bukankah kamu juga tahu kalau alasanku menjadi anggota kepolisian untuk menyelidiki seseorang yang ada di mimpi burukku?” balas Alister mengembuskan napas panjang menatap sang ayah yang beberapa kali mengacaukan keputusannya dengan wajah berpura-pura tegar. “Baiklah. Kamu bisa melakukan apa pun tanpa merasa terbebani sama sekali.” Antonio Brecker mengangguk beberapa kali, kemudian menyerahkan sebuah kotak hadiah perpisahan untuk menjadi kenangan. “Hadiah untukmu. Selama berada di Indonesia jangan pernah menghilang dari radar kontak. Karena ibumu pasti merasa cemas ketika mendengar keputusan yang terlalu berisiko seperti ini.” “Baik, Dad. Aku akan sering menghubungi Mom,” balas Alister mengangguk singkat sembari menerima pemberian sang ayah yang ternyata beberapa barang untuk keperluan berangkat ke Indonesia. Setelah itu, Antonio Brecker memutuskan bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja Kepolisian SWAT tengah sibuk memberikan laporan mengenai kasus yang baru mereka selesaikan, sehingga semua polisi sibuk. Membuat kepergian Alister hanya diantar oleh sang ayah dan beberapa bawahan yang menunggu di depan mobil, mengantarkan lelaki itu pergi. Alister berangkat ke Seattle-Tacoma Internasional Airport (SEA) menggunakan mobil sedan kepolisian SWAT yang disopiri oleh salah satu bawahan terdekatnya, Frans. Mereka berdua berangkat dari Kepolisian SWAT dengan keadaan mobil yang terdiam hening, Alister tampak sibuk memainkan ponselnya. “Alister, apa kamu yakin untuk bekerja di Indonesia?” tanya Frans terdengar tidak rela. “Kenapa kamu berbicara seperti itu?” Alister bertanya balik dengan kening berkerut bingung, lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. “Aku tidak tahu, tapi sepertinya di sana kamu hanya menyia-nyiakan bakat sebagai polisi. Kamu di sana jelas tidak akan bekerja keras seperti di sini. Aku hanya khawatir kalau kamu hanya membuang kesempatan untuk menjadi polisi yang lebih baik,” jawab Frans meringis pelan melihat pandangan Alister mendadak berubah, entah kenapa ia merasa bahwa lelaki di sampingnya mungkin akan merasa tersinggung dengan perkataannya. “Frans, aku tahu kekhawatiranmu padaku. Tapi, aku ke sana bukan hanya untuk sekedar bekerja,” ungkap Alister mengembuskan napas panjang. “Bukankan kamu ingat cerita tentang masa kecilku yang seakan-akan hanya dibuat tanpa secara alami?” “Maksudmu … kamu ingin mencari kebenaran?” Frans mengernyit penasaran, sebab ini kali pertama mereka berdua berbicara perihal kehidupan pribadi. “Memangnya Antonio menyetujuinya?” “Of cource, my dad akan selalu mendukung apa pun keputusanku. Terlebih untuk mengetahui ingatan masa kecilku yang hilang. Bahkan tadi my dad datang memberikan beberapa barang untukku,” balas Alister cepat. “Bagaimana dengan … Anastasia?” “My mom akan baik-baik saja. Dia sudah berada di bandara sekarang,” jawab Alister tersenyum ringan tepat melihat kehadiran sang ibu di depan pintu masuk. Tanpa pikir panjang Alister pun turun dari mobil yang baru saja berhenti tepat di depan lobi bandara membuat lelaki itu langsung membuka bagasi. Sedangkan Frans menyapa Anastasia melalui senyuman ramah, kemudian mulai membantu Alister menurunkan dua koper besar dengan satu tas besar dan mulai memasangnya di tiang penyeret. “Sudah, sampai di sini saja. Kamu harus kembali ke kantor. Biar aku bersama my mom di sini menunggu jadwal keberangkatan,” ucap Alister tersenyum tipis melihat Frans hendak menyeret kopernya. “Tidak,” tolak Frans menggeleng keras. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Ketua Tim.” Alister mengembuskan napas panjang, lalu memegang kedua pundak lelaki muda di hadapannya yang begitu keras kepala. “Aku hanya pergi untuk mencari kebenaran dan berjuang segera kembali. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku pergi agar bisa kembali. Bukan selamanya berada di Indonesia.” Sejenak Frans terlihat menundukkan kepalanya murung. Lelaki beberapa tahun lebih muda dan sudah dianggap sebagai adik bagi Alister itu tampak tidak rela, karena memang tidak ada yang menerimanya sejak dipindahkan. Hanya Alister yang menerima kedatangan Frans dengan suka rela. “Jangan melupakanku,” pinta Frans dengan cepat memeluk seorang lelaki tampan itu dengan erat. Sedangkan Alister membalas pelukan tak kalat erat sambil tertawa pelan melihat sikap menggemaskan dari Frans yang sudah dianggap sebagai adik. Meskipun keduanya sering kali bertengkar akibat perselisihan yang tiada akhir. Setelah itu, keduanya pun berpisah dengan Frans kembali ke kantor Kepolisian SWAT yang hendak menyelesaikan laporan kasus. Membuat Alister melenggang santai menghampiri seorang wanita yang berdiri bersama seorang lelaki berpakaian jas formal, seperti baru saja kembali dari kantor perusahaannya tempat bekerja. “Mom,” sapa Alister memeluk Anastasia erat, lalu beralih memeluk singkat pada sang kakak yang menjadi anak kandung kedua orang tuanya, Alastair. “Kamu kenapa datang ke sini, Alas?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN