Part 19 (Flahsback)

1532 Kata
“Kak?” rengek Naya pada Meisya yang menyeretnya keluar dari dalam mobil. Gaun berwarna merah jambu yang jatuh hingga ke lantai, sedikit menghalangi jalannya. Sepatu berhak tinggi yang di kenakannya pun sudah membuatnya pergelangan kakinya pegal. “Ma, Naya tidak bisa melakukan ini.” Naya beralih pada mamanya yang keluar dari mobil setelah dirinya. Dengan gaun hitam yang tak kalah mewah dengan yang ia kenakan. “Kau hanya perlu duduk dan menemaninya ngobrol. Apa kau tidak bisa melakukan hal sesepeleh ini? Huh?” sahut Meisya. “Masuk,” perintah Devisha menarik lengan Naya. Sedangkan Meisya menyerahkan kunci mobil pada petugas valet sebelum menyusul di belakang mereka. Ketiganya melintasi lobi, menuju lift di bagian tengah bangunan hotel tersebut. Meisya menekan tombol 9 setelah pintu lift tertutup. Lift berhenti, Meisya menyeret Naya dengan kasar karena wanita itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan mengikuti langkahnya dengan mudah. Seorang greeter perempuan menyambut mereka bertiga dengan senyum ramah, meski berpura-pura mengabaikan kericuhan di antara mereka bertiga, mengantarkan menuju ruangan yang diucapkan oleh Meisya. “Masuk. Banyu sudah menunggumu di dalam,” desis Meisya tajam sambil mendorong Naya berdiri di depan pintu ruang makan pribadi bertuliskan angka 12. “Ta ...” “Kami akan menunggumu di bar.” Meisya menunjuk bar yang tak berada jauh dari lorong tempat pintu-pintu ruang makan pribadi berjajar. “Dan kami akan mengawasimu, jadi jangan membuat masalah. Apa kau mengerti?” “Kak.” Naya tak berhenti mencoba mendapatkan pengibaan kakaknya. “Shhh, masuk Naya. Sekarang.” Desisan Meisya kali ini disertai matanya yang mendelik penuh ancaman. Naya menunduk ketakutan, tapi masih tak bergerak sama sekali. Devisha memutar matanya. Menyingkirkan tubuh Meisya dari hadapan Naya dan menangkup wajah putrinya. Mengangkat wajah itu menghadap matanya. “Naya, kau tahu kau adalah satu-satunya putri mama yang paling cantik, kan?” Naya bisa merasakan rasa iri yang sangat besar dari gerakan kasar dari Meisya. Sungguh, sedikit pun ia sama sekali tak merasa bangga akan hal itu. Devisha mendekatkan wajahnya ke telinga Naya dan berbisik penuh ancaman. “Jadi jangan buat mama menjadikanmu putri malang yang bekerja keras dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan keluarga dengan menjadi simpanan tua bangka yang sudah beristri. Apa kau lebih memilih hidup seperti itu?” Tangisan merebak di kelopak mata Naya. Beberapa kali, ia sering menyambut tamu mamanya yang datang ke rumah bersama suami atau kekasih yang kebanyakan lebih tua dari mamanya. Dengan perut besar dan selalu mencari kesempatan menatap ke arahnya dengan tatapan yang rakus. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang berani menggodanya secara terang-terangan di depan mamanya. Meskipun mamanya selalu mengatakan bahwa dia masih kuliah dan membutuhkan banyak biaya. Yang Naya yakini sebagai alasan untuk merogoh kantong pria tua itu. “Selama ini mama menahanmu dari tawaran-tawaran yang menggiurkan karena mama menghargai kerja keras dan cintamu pada kami berdua yang terlihat tulus. Seharusnya kau menghargai usaha keras kami juga, kan?” Meisya menjauhkan wajahnya dari telinga Naya, menatap wajah Naya sambil memperbaiki letak tali spaghetti yang sudah benar di pundak Naya. “Mungkin kantong mereka sama banyaknya dengan isi kantong Banyu, tapi setidaknya dia masih muda, tampan, dan yang terpenting dia menyukaimu.” Bibir Naya bergetar. Matanya mengerjap menahan tangisan yang akan terjatuh. “Mama tahu kau akan membuat pilihan yang bijaksana.” Tangan Devisha mengelus sisi kepala Naya. Lalu turun dan menepuk pundak Naya dua kali. “Kami akan menunggu di bar dan ... jangan makan terlalu banyak. Mengerti?” Devisha berbalik diikuti oleh Meisya. Keduanya berjalan ke bar. Naya melihat mama dan kakaknya sudah duduk di kursi bar. Keduanya tak menoleh ke arahnya tapi ia tahu mereka akan tahu jika ia tak masuk ke dalam ruangan. Naya mengetuk pintuk sekali dan membuka pintu. Masuk dengan langkah dan senyum canggungnya. “Hai, Naya. Kau sudah datang?” Banyu berdiri dari duduknya dan menyambut kedatangan Naya. Kemudian menuntun wanita itu duduk di kursi yang disediakan. “Malam ini kau sangat cantik,” pujinya.   ***   “Hei, kau” panggil pria yang berdiri di belakang meja besar dengan apron dan topi tinggi berwarna putih. Double Breasted Jacket dan Syal kecil berwarna hitam melingkari leher pria itu. “Apa kau karyawan baru yang ditawarkan Deni?” Noah yang baru saja membuka pintu dapur, bergegas mendekat dan mengiyakan. “Kau datang terlambat,” koreksi pria itu. “Maaf,” balas Noah singkat sambil mengangguk. Tak mencari alasan karena hanya akan terdengar seperti basa-basi. “Kau beruntung karena ini bukan hari sibuk.” Pria itu menyodorkan dua piring berisi irisan daging panggang, asparagus, dan kentang tumbuk. “Ruang 12.” Noah mengambil kedua piring itu. Tak tahu di mana ruang 12 yang dimaksud tapi ia punya mata, mulut, dan kaki untuk mencari tahunya. Ia tak suka banyak bertanya, dan karyawan senios biasanya lebih suka merundung anak baru sepertinya. Manager restoran yang terlalu malas tadi hanya menjelaskan secara singkat di mana ruang pribadi, meja outdoor, dan indoor. Lebih dari cukup bagi Noah untuk melakukan tugas pertamanya. Menemukan pintu ruangan yang dimaksud dengan cepat, Noah mengetuk pintu setelah memindahkan piring satunya ke lengan dalam. Beruntung pengalaman kerjanya di restoran-restoran sebelumnya, banyak memberinya pelajaran untuk membawa empat piring dalam sekali jalan. Dua piring sama sekali bukan masalah. Suara pria dari arah dalam mempersilahkannya masuk. Noah membuka pintu dan langsung meletakkan piring yang dibawanya ke hadapan si pria sebelum kemudian pada kekasih si pria. Namun, gerakan tangannya terhenti dan tubuhnya membatu ketika menatap kekasih si pria yang duduk di salah satu kursi. Dengan polesan make up natural yang diaplikasikan di wajah cantik itu, ia hampir tak mengenali pemilik wajah tersebut. Tapi, sorot mata yang sendu, bentuk hidung, bibir, dan rahang mungil itu tentu sudah tertanam di kepalanya dengan sangat baik. Dan tatapan terkejut ketika kedua pasang manik mereka saling bertabrakan, tentu ia tak akan ragu lagi jika itu adalah kekasihnya. Kinaya Magaly. Seluruh darahnya mendidih dan tanpa sadar ia meletakkan piring ke meja dengan setengah membanting. “Sepertinya aku harus menyempatkan diri menemui manager restoran untuk mengatakan keluhanku,” gumam Banyu menatap pintu yang ditutup dengan keras. Kepala Naya tertunduk dalam-dalam. Rasa bersalah mengguyur tubuhnya seperti air dingin dan membekukan seluruh tubuhnya. “Banyu, aku ingin ke toilet sebentar,” katanya sambil berdiri dan melangkah keluar ruangan dengan tergesa sebelum Banyu mengangguk mengiyakan. Naya mengedarkan pandangan mencari keberadaan Noah. Mempercepat langkahnya ketika melihat punggung Noah di ujung lorong. “Noah?” Naya menahan lengan Noah. Langkah Noah terhenti. Senyum sinis tersungging di bibirnya ketika Naya berdiri di depan menghadapnya. Kepucatan dan ketakutan merebak di seluruh wajah cantik itu, seharusnya Naya tak terlihat setakut ini jika apa yang Noah pikirkan tidak seperti apa yang ia lihat. “Ini tidak seperti yang kaupikir.” “Katakan sesuatu yang lebih masuk akal, Naya,” decak Noah sinis sambil membuang wajahnya ke samping. “Ketakutan di wajahmu tak bisa berbohong.” “Aku mencintaimu, kumohon percaya padaku.” “Dan berdandan secantik ini untuk pria yang tidak kaucintai?” “Ini ... ini semua karena ...” “Apa yang kaulakukan di sini, Naya?” Suara dingin Devisha tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka. Naya terkejut dengan keberadaan mama dan kakaknya yang begitu cepat menyadari keberadaannya. Sepertinya mereka benar-benar tidak melepaskan pandangan dari ruang makan pribadinya dan Banyu. “Ma, Naya tidak bisa melakukan ini. Naya tidak mencintai Banyu.” “Kau benar-benar t***l, Naya.” Meisya melangkah mendekat. Mencekal tangan Naya dan menyeret wanita itu dari jangkauan Noah. Namun, satu tangan Naya yang lain meraih lengan Noah memohon bantuan pria itu. Noah masih bergitu kesal pada Naya, tapi sikap semena-mena kakak dan mama Naya ternyata lebih membuatnya kesal dan marah. “Lepaskan dia!” desis Noah menahan tangan Naya satunya. “Jangan ikut campur urusan keluarga kami, pelayan.” Mata Meisya melotot penuh peringatan. “Dia tidak ingin pergi denganmu.” Meisya diam sejenak, mengamati wajah Noah yang penuh tekad kuat dan tak akan menyerah untuk melepaskan Naya. “Apa kau mencintainya?” Noah diam, tatapannya teralih pada manik berkaca Naya yang memohon. Bukan memohon untuk dicintai karena Noah memang sudah mencintai wanita itu, melainkan memohon untuk lepas dari cekalan tangan Meisya. “Ya,” jawab Noah dengan yakin kemudian. “Maka biarkan dia bahagia. Naya pantas mendapatkan orang yang jauh lebih baik daripada sekedar pelayan rendahan sepertimu.” Kata-kata Meisya menohok d**a Noah tepat pada sasarannya. Perlahan cekalan Noah di tangan Naya mengendor. Matanya tertunduk, mengamati pakaian hitam putih yang ia kenakan dan gaun mewah yang pakai Naya. Mereka seperti berada di dunia berbeda. Hatinya tersenyum miris, bagaimana pakaian bisa memberinya jarak sejauh ini dengan Nayanya. “Noah?” Naya semakin panik dengan lepasnya pegangan Noah dan kepucatan di wajah pria itu. “Kembali ke Banyu!”   “Kak, Naya tidak mau kembali.” Mengandalkan kekuatannya, sebisa mungkin Naya mempertahankan pijakan kakinya tetap di dekat Noah. Meisya kehilangan kesabarannya, dengan kesal ia mencekal wajah Naya dan mencengkeramnya. Kedua tangan Noah terkepal, beraninya wanita itu menyentuh Naya sekasar itu. Tangannya sudah akan terangkat dan melepaskan Naya dari cengkeraman kakak iblis Naya. “Hentikan, Meisya. Kau bisa memberinya bekas yang akan membuat Banyu curiga.” Devisha memperingatkan Meisya. Menahan geram, Meisya menurunkan tangannya dan berganti mencengkeram lengan atas Naya dengan tekanan yang dalam. Menyeret Naya melintasi lorong tanpa memedulikan rintihan wanita malang itu setelah satu isyarat mata yang diberikan mamanya. Devisha melirik Noah yang masih terpaku di tempat. “Jadi kau pria yang bernama Noah?” cibir Devisha dengan tatapan mencela penampilan Noah dari atas sampai ke bawah. Ia bahkan tak perlu mengingat nama pria muda miskin itu. Noah tak menganggauk. Ia tahu mama Naya bahkan tak akan mengingat namanya untuk dua menit ke depan. “Kuharap ini terakhir kalinya kau bergaul dengan putriku. Aku tak ingin kau mencemari reputasi Naya di depan calon suaminya.” Kalimat terakhir Devisha kali ini benar-benar menembus d**a Noah dengan tikaman yang keras. ‘Calon suami Naya?’   *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN