“Kenapa Banyu mengatakan tentang barang-barangku? Apa aku menitipkan barang padanya?” tanya Naya ketika keduanya sudah berada di dalam mobil. Tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi. Ia tak bisa mendapatkan jawaban itu di ingatannya, mungkin Noahlah satu-satunya yang bisa memberinya jawaban.
“Entahlah.” Noah menyalakan mesin mobil, menginjak gas dan memasuki jalanan beraspal. Bergegas menjauh dari Banyu yang masih mematung di depan restoran menatap mobilnya. Menatap Nayanya. Selain ancaman dan orang ketiga dalam pernikahannya dan Naya, Banyu juga adalah kunci ingatan Naya. Ia harus menjauhkan Naya dari siapa pun yang memiliki kemungkinan membuat ingatan Naya kembali. Termasuk jika harus mengunci wanita itu di dalam apartemennya agar tak bertemu siapa pun.
Naya semakin dibuat terheran dengan jawaban Noah yang terkesan tak tahu apa-apa mengenai dirinya ataukah tidak peduli pada dirinya? Jika ia pergi menemui Banyu, bagaimana mungkin Noah tidak tahu?
“Beberapa kali kau bertemu dengannya tanpa sepengetahuanku. Aku tak tahu.” Noah kebingungan harus menjawab apa. Belum dengan konsentrasinya ke arah jalanan yang mulai pecah. Ia harus lebih berhati-hati atau akan membahayakan nyawa mereka berdua dan mengulang tragedi itu kembali.
Setelah kecerobohannya yang membuatnya dan Naya kecelakaan, Noah sejujurnya kesulitan menyetir mobil. Kilasan-kilasan itu muncul di ingatannya semakin intens terutama dengan Naya yang duduk di sampingnya. Mewajibkan dirinya untuk berkali-kali lipat lebih fokus dan hati-hati.
Naya tertegun. Mengulang kembali kalimat Noah dalam kepalanya dan mencernanya, dan sekarang jawaban Noah membuatnya kebingungan. “Tanpa sepengetahuanmu? Kenapa?”
“Aku tak tahu Naya. Terkadang kau mengatakan padaku bertemu dengannya entah di mana tapi kau tak pernah mengatakan lebih dari itu.” Tentu saja karena komunikasi mereka yang tiba-tiba menjauh dan mereka tak punya waktu berdua mengobrolkan kegiatan masing-masing seperti saat mereka berpacaran. Hanya mengingatkan Noah bagaimana bobroknya rumah tangga mereka karena ketidakpedulian dirinya terhadap Naya. Ia yang terlalu merasa paling berjuang dalam hubungan mereka, tanpa tahu bahwa Naya juga menderita di bawah tekanan mamanya yang begitu membenci istrinya.
Dalam ketidaktahuan Naya, pertanyaan istrinya terasa menyudutkan dirinya dan di saat yang bersamaan, ia harus terlihat bahwa Naya tidak menyudutkan dirinya. Bahwa semua kemelencengan ini bukan masalah yang serius dalam rumah tangga mereka.
Hanya pertemuan singkat dengan Banyu saja sudah membuatnya kelimpungan seperti ini. Bagaimana jika Banyu tak menyerah dan masih terlalu keras kepala untuk mendekati istrinya. Sepertinya Noah harus segera melakukan sesuatu yang lebih serius untuk benar-benar menutup akses masa lalu mereka di ingatan Naya. Termasuk jika harus memanipulasi ingatan istrinya.
“Apakah aku seperti itu?” Naya bertanya dengan tak yakin. Naya merasa telah melakukan kesalahan besar yang tak bisa diingatnya dan harus meminta maaf untuk sesuatu yang tidak diketahuianya dengan pasti. Hubungannya dengan Noah selalu didasarkan pada kepercayaan dan keterbukaan. Mereka tak pernah memohon untuk saling mencintai. Mereka dengan tulus saling memberikan cinta untuk satu sama lain.
“Bukan kesalahanmu, Naya.” Noah mengambil tangan Naya ketika menyadari getar penuh rasa bersalah dalam suara Naya. Ini bukan hanya kesalahan Naya, melainkan dirinya juga. Itulah sebabnya sejak kecelakaan itu, mereka harus melupakan apa pun yang telah terjadi. Memaafkan diri mereka sendiri dan mulai membuka lembaran baru untuk kehidupan yang lebih baik. Ada kalanya masa lalu perlu ditutup rapat-rapat dan dikorbankan untuk kebahagiaan yang lebih besar, kan? Untuk kebahagiaan di masa depan.
Noah membawa tangan Naya ke wajahnya dan mencium punggung tangan yang lembut dan mulus, lalu meletakkan genggaman kedua tangan mereka di pangkuannya. Merekatkan genggaman tangan mereka demi meredakan perasaan negatif yang menggayuti hati Naya. Meyakinkan Naya bahwa semua kerenggangan hubungan mereka bukan karena wanita itu. “Hanya aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantorku dan sering pulang terlambat. Sesampai di rumah pun, biasanya badanku sudah lelah dan memilih beristirahat. Semua kesalahanku,” akunya tak sepenuhnya jujur.
Ia sangat sibuk, tapi tak pernah sekali pun pulang terlambat. Lelah dan penatnya selalu menguap ketika melihat wajah cantik Naya. Namun ia tak pernah membiarkan Naya mengetahui kebesaran cintanya itu dan malah bersikap dingin dengan keraguan tololnya.
Naya masih tertegun. “Apakah hubungan kita sempat merenggang?”
Noah berusaha keras mengendalikan ketidakstabilan pikirannya ketika mengingat kerenggangan hubungan mereka. Naya tidak boleh tahu apalagi memikirkan retakan besar dalam rumah tangga mereka. “Hanya karena kesibukanku, kau pun memahaminya. Aku sangat beruntung memilikimu,” yakinnya disertai genggaman yang semakin mengerat.
“Hanya kesibukanmu?”
“Ya.”
Naya mengangguk mengerti dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke dalam mobil bisa bernapas dengan lega. Ya, sejak keluar dari rumah sakit, ia memang memahami kesibukan Noah. Pria itu bahkan sering membawa pekerjaan kantor ke apartemen mereka dan menyelesaikannya hingga larut di tempat tidur. “Kita harus saling berjuang untuk satu sama lain, kan,” gumamnya lirih.
“Apa kau berjanji akan berjuang untukku?”
“Tentu saja, Noah. Pertanyaan macam apa itu?!”
Noah tertawa ringan. Sekali lagi membawa tangan Naya di bibirnya. Memberinya satu kecupan hangat.
***
Sesampai di apartemen, sopir Noah langsung menghampiri mereka dan menyerahkan dua berkas bermap biru pada Noah. “Nona Lita menitipkan ini pada saya. Untuk meeting pagi,” katanya.
Noah mengangguk singkat. Sekilas memeriksa berkas itu sambil berjalan menuju ke kamar mereka. “Tunggu di bawah tepat jam sembilan,” pintahnya pada si sopir sebelum ia benar-benar melewati pintu kamar.
“Apa ada pertemuan pagi?” tanya Naya dengan kerutan kecil di kening melihat map di tangan Noah. Yanga langsung mengalihkan perhatian suaminya.
Noah mengangguk. “Bisakah kau mengisi daya ponselku? Aku harus memeriksa ini lebih dulu.” Noah menyodorkan ponselnya ke arah Naya sedangkan matanya tertuju pada jam di tangan. Ia hanya punya waktu kurang dari tiga puluh menit sebelum sampai di kantor. Dan ia bahkan belum mengganti pakaiannya.
Naya bergegas mengambil ponsel Noah dan berjalan ke nakas. Sedangkan pria itu duduk di set sofa dan mulai membuka berkas. Membaca laporan-laporan tersebut, memastikan semua tertulis seperti yang ia inginkan.
Naya ke kamar mandi. Membersihkan badan karena belum sempat mandi ketika meninggalkan rumah Noah dan berganti pakaian bersih. Sepuluh menit kemudian, ia keluar dan Noah masih sibuk membaca. Pria itu pasti memiliki pekerjaan yang sangat berat dengan keningnya yang sering berkerut. Semakin meyakinkan dirinya bahwa kerenggangan yang pernah terjadi di antara mereka bukanlah masalah seperti yang ada di pikirannya.
Mungkin karena tak ingin membuat Noah semakin terbebani, itulah sebabnya ia tak selalu bercerita lebih ketika ia bertemu dengan Banyu ataupun punya kesempatan untuk mengobrol. Jika Noah kembali ke keluarga pria itu demi dirinya, tak seharusnya ia mengeluh tentang kesibukan pria itu bukan? Pengertiannya tak akan sebanding dengan pengorbanan Noah yang harus bekerja dari pagi hingga malam.
“Apa kau ingin minum? Secangkir kopi atau coklat mungkin?” tawar Naya sambil mendekati Noah di sofa.
Noah mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Naya. Tak lama setelah Naya keluar, dering ponsel di nakas membuatnya menoleh. Sekretarisnya, pikir Noah. Noah pun beranjak dan mengangkat panggilan tersebut.
“Ada apa?” jawabnya.
“Orang dari Widjaja Group sedang dalam perjalanan kemari, Tuan.”
Noah menepuk kepalanya. Baru teringat akan janji temu dengan pimpinan Widjaja Grup sebelum pertemuan paginya dengan para kepala bagian. Hanya pertemuan singkat yang tak akan memakan waktu lebih dari tiga puluh menit dan sekretarisnya itu sudah mengingatkannya pagi-pagi sekali sebelum ia meninggalkan rumah keluarganya. Kemudian Naya lapar, yang membuatnya melupakan janji temu tersebut dan semakin tak ingat karena Banyu sialan.
“Baiklah. Aku akan sampai dalam dua puluh menit. Pastikan kau mengulur waktu.”
“Baik, Tuan.”
Noah bergegas ke kamar mandi, mengganti pakaian secepat mungkin. Tepat ketika ia keluar dari ruang ganti, Naya masuk dengan nampan berisi secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Kau sudah akan berangkat?” tanya Naya melihat Noah yang sudah rapi dengan setelan kantor dan wajah yang lebih segar meski rambut pria itu tidak basah.
Noah berjalan mendekat. Menyesap kopinya seteguk dan mencium kening Naya. “Aku harus berangkat sekarang. Sampai jumpa nanti malam.”
Naya mengangguk. Meletakkan nampan di tangannya ke meja dan mengikuti Noah hingga di pintu depan. “Hati-hati.”
Noah mengangguk singkat dan tersenyum. Lalu, melepaskan pegangan tangannya di handle pintu. Mendekati Naya dan mengecup bibir wanita itu. “Aku benar-benar merindukanmu, Naya.”
Naya terkikik. Pipinya menghangat oleh kecupan sekaligus kata-kata cinta Noah. “Kita bahkan masih saling melihat, Noah.”
Noah hanya mengangkat bahu. Ya, ia sangat merindukan Naya meski wanita itu masih ada dalam dekapannya, masih bisa ia sentuh, dan masih bisa ia pandang. Seakan-akan semua kehidupan bahagia mereka saat ini hanyalah khayalannya saja. Tak benar-benar menjadi miliknya dan sewaktu-waktu akan lepas dari genggamannya.
“Berangkatlah!” Naya mendorong Noah menjauh.
“Bye.” Noah pun menghilang di balik pintu apartemen dengan cepat, dikejar waktu.
Cukup lama, Naya tertegun menatap pintu. Senyum tertambat erat di kedua sudut bibirnya. Keromantisan Noah tak pernah berubah. Noah selalu mengatakan rindu meski saat itu ia tengah berada dalam dekapan pria itu. Ia merasa kebahagiaan selalu menyelimutinya dan Noah. Semua berjalan terlalu lancar dan terlalu membahagiakan sehingga ia merasa ada sesuatu yang salah. Tetapi, Naya segera menyingkirkan firasat buruk yang mulai memanjat naik ke dalam dadanya. Di tengah kebahagiaannya dengan Noah, tak seharusnya ia memikirkan hal buruk. Atau keburukan itu benar-benar akan datang karena batinnya.
Saat Naya kembali ke kamar, ia menemukan berkas yang sempat dibaca Noah ternyata masih tergeletak di ranjang mereka. Segera Naya mengambil ponsel, menghubungi nomor Noah, dan deringan di nakas yang berasal dari ponsel Noah membuatnya menoleh sebelum mendesah keras.
Noah juga meninggalkan ponselnya.
Tahu berkas itu penting dan akan dibutuhkan Noah untuk pekerjaan hari ini. Naya segera mencari tasnya. Berniat mengantarkan berkas dan ponsel Noah ke kantor.
***