Part 21 (Flashback)

1212 Kata
“Kau!” Noah menyentuh pundak pemuda yang berhasil di kejarnya ketika melintasi halaman kampus. “Kau adik Naya?” Arfa berhenti, mengamati pemuda yang sepertinya lebih tua beberapa tahun darinya dan sedikit lebih tinggi darinya. Badan pria itu kekar, berotot, dan kokoh di balik jaket gelapnya, berbeda dengan tubuhnya yang cenderung kurus. Kaos biru yang terlihat di balik jaket tampak lusuh, begitu dengan celana jeans yang dikenakan. Beberapa noda hitam tertinggal di sana dan tak bisa hilang meski dicuci beberapa kali. “Siapa kau?” “Aku Noah. Apa benar kau ...” Noah tampak mengingat sejenak. “... Rafa?” “Arfa.” Arfa membenarkan. Masih mengamati penampilan Noah dari atas ke bawah. Akhir-akhir ini ia sering mendengar kakaknya Meisya yang selalu murka tiap kali kak Nayanya menyinggung nama Noah. Penampilannya yang berantakan dan tampak seperti berengsek. Ia mengakui pria itu seorang yang tampan -yang sangat sadar diri akan ketampanannya- dan memang pantas bersanding dengan kak Nayanya yang cantik. Meski ia tak boleh menilai keserasian cukup dengan harta dan penampilan. Hanya saja, pria itu berhasil merebut hati kakak yang paling disayanginya dan sepertinya ia harus melakukan sesuatu. Walaupun mungkin Banyu bisa memberikan segala yang kakaknya inginkan dan membuat kakaknya itu tidak menderita lagi karena perasan kakak pertama dan mamanya, ia tak bisa membiarkan perjodohan tersebut berlangsung seolah dirinya ikut menjual Naya demi kebahagiaan keluarga. “Ya, apapun. Kau adik Naya.” Noah menepuk pundak Arfa dan membiarkan tangan itu bertengger di sana. Arfa mengangguk. “Apa yang terjadi dengan Naya? Dia tidak pernah datang ke kampus dan nomornya tidak bisa dihubungi. Beri aku alamat rumahmu, karena sepertinya seseorang menutup seluruh informasi tentang Naya dariku. Arfa mengerutkan kening dengan informasi Noah. Jika sampai kakak dan mamanya bertindak sejauh itu, bukankah bagi mereka berdua Noah adalah ancaman yang cukup serius? “Teman-teman Naya tak ada yang tahu pasti di mana dia tinggal.” Satu tangan Noah menggusur rambutnya yang sedikit panjang. “Ya, kakakku memang tak punya banyak teman prempuan yang cukup dekat untuk mengetahui rumah kami. Tapi jika kau tanya beberapa laki-laki di kampus, mungkin kau bia beruntung. Karena kebanyakan kekasih mereka membencinya,” jelas Arfa dengan datar. Noah mengerutkan kening. Ia tahu Naya memang cantik, banyak pria yang tak ragu-ragu untuk memandang dua kali dengan tanpa tahu malu pada kekasihnya itu setiap mereka jalan bersama. Tetapi ia tak cukup mengetahui bahwa Nayanya menjadi musuh bagi sebagian banyak perempuan di kampus ini. Yang ia pikir karena dirinya. “Besok, dia akan menikah dengan Banyu.” “Apa?!” Noah membelalak terkejut. Ia tahu tentang perjodohan itu sejak di restoran malam itu. Tapi ia tak mengira kakak dan mama Naya akan bertindak secepat ini. “Besok?” Arfa mengangguk. “Tapi ini sama sekali bukan pernikahan yang kakakku inginkan. Kak Meisya dan mama memaksanya.” Sepertinya Noah tak punya pilihan. Ia melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Tak ada waktu lagi untuk berpikir. “Apa kau ingin membantu kakakmu lepas dari penderitaan ini?” Arfa mengangguk tanpa ragu. “Apa yang akan kaulakukan?” “Aku perlu bantuanmu.” “Apa yang harus kulakukan?”   ***     Turun dari taksi, Noah melempar beberapa lembar uang yang tersisa di dompetnya pada si sopir. Tak ada waktu untuk menghitung. Ia melompat turun begitu pintu mobil berhasil ia buka. Berlari secepat kakinya bisa menuju teras gedung, melewati pintu putar dan menuju lift yang ada di gedung sebelah barat dengan dua keamanan yang berjaga di dekat lift. Noah menekan tombol di lift dengan kasar dan tak sabaran. Membuat salah satu keamanan bergegas mendekat karena wajah Noah tampak asing dalam ingatannya. Memang para dewan direksi yang akan menggunakan lift tersebut tak perlu memperlihatkan kartu akses apa pun untuk menggunakan lift tersebut, tapi kedua keamanan menghafal setiap wajah para dewan direksi dan petinggi perusahaan yang boleh memakai lift khusus tersebut. “Maaf, Tuan. Bolehkah saya melihat kartu identitas Anda?” “Aku tak punya waktu,” jawab Noah dingin sambil menatap angka dua di atas pintu lift. kemudian suara denting pintu lift terbuka dan Noah melangkah masuk. Akan tetapi petugas keamanan itu menghadangnya. “Anda tidak boleh masuk.” Bruukkkk .... satu tinju melayang ke wajah petugas keamanan itu sebelum sempat mengedipkan mata. Kemudian petugas keamanan yang lainnya berlari mendekat, mencekal lengan Noah ke belakang. Sedikit kesulitan tapi berhasil membekuk Noah setelah dibantu temannya yang pulih dengan cepat karena hantaman Noah. “Lepaskan aku!” Noah meronta melepaskan kungkungan kedua keamanan di lengan kanan dan kirinya. Berteriak seperti orang gila. “Aku ingin menemui ayahku.” “Lepaskan dia!” Suara dari dalam lift yang masih terbuka membuat ketiga orang tersebut terpaku. Noah terpaku, menatap lurus ke arah sosok tinggi yang masih berdiri di dalam lift. Rontaannya terhenti tapi napasnya masih terengah keras membelah ketegangan yang tercipta. Willy Samudra, sungguh keberuntungan yang melegakan, batin Noah dengan sinis. Memaksa diri untuk menekuk lutut di hadapan papanya itu meski hatinya berteriak memberontak. “Maafkan kami atas gangguan ini, Tuan,” ujar salah satu pengawal yang hidungnya berdarah. “Lepaskan dia,” perintah Willy Samudra lagi pada dua keamanan yang masih ragu untuk melepaskan Noah. Penampilan Noah memang cukup mencurigakan bahkan untuk melewati pintu putar. Apalagi berdiri di depan lift khusus seperti ini. Kedua keamanan itu terheran tapi tetap melakukan perintah bos besarnya dengan patuh. “Kau tak perlu membuat keributan seperti ini di perusahaan, Noah.” Noah berusaha bersuara di antara bibirnya yang membeku keras kepala. Sehingga ucapannya terdengar sumbang. “Aku perlu bantuan Papa.” Willy mengangkat satu alisnya. Terkejut tapi dengan cepat kembali terlihat  tenang. Entah berapa puluh kali ia mengutus orang untuk membawa putra tunggalnya bertemu dengannya. Tak jarang ia sendiri yang datang dan Noah sama sekali tak ingin melihat wajahnya. Apalagi mendengarkan satu kata dari mulutnya. “Masuklah,” pintah Willy. “Katakan aku akan sedikit terlambat,” ucapnya kemudian pada sekretaris yang sejak tadi tangannya terangkat menjaga pintu lift tetap terbuka. Noah melangkah masuk ke lift setelah beberapa saat diam. Wanita cantik yang menjadi sekretaris papanya keluar dan ia memilih berdidi di belakang papanya dalam diam. Sepanjang perjalanan menuju ruang tertinggi di gedung ini, sama sekali tak ada suara yang keluar dari pasangan ayah dan anak tersebut. “Duduklah.” Willy menunjuk salah satu set sofa yang paling dekat. Tapi Noah tetap berdiri di tempatnya.   “Minum?” Willy berjalan ke arah meja pantry kecil yang ada di sudut ruangannya. Memilih menuangkan segelas air putih karena putranya tak menjawab. “Aku akan kembali ke rumah. Ke perusahaan. Aku akan melakukan apa pun yang Papa suruh.” Willy berhenti, meletakkan gelas besar dan mengambil gelas kecil yang sudah berisi air sebelum membawanya ke hadapan Noah. Noah mengambil gelas tersebut, mengikuti papanya duduk dan kembali meletakkan gelas itu ke meja kaca di depan mereka. Menunggu dengan was-was jawaban dari papanya. Hanya papanya satu-satunya jalan ia bisa mendapatkan Naya kembali. Hanya papanya yang bisa membantu Naya lepas dari jerat kelicikan dan keserakan Devisha dan Meisya. “Kau menawarkan kesepakatan seperti ini pasti ada syarat yang harus papa penuhi, kan?” Alis Willy terangkat, mengamati Noah dari atas ke bawah dan berlama-lama memandang kedua tangan Noah yang saling bertatut dan tampak gemetar. “Ijinkan aku menikahi wanitaku. Berikan kekayaan Papa untuk menebusnya dari cengkeraman ibu dan kakaknya yang serakah.” “Jadi ini tentang wanita?” Willy menyentuh dagunya. Noah mengangguk. “Wanita seperti apa dia?” “Dia bukan tipe menantu yang mama inginkan, tapi aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya.” Willy masih tercenung. Jika ribuan usahanya untuk membawa kembali putranya kembali ke rumah tak dihiraukan oleh Noah, tentu saja wanita itu sangat berarti bagi Noah. “Aku akan belajar apa pun yang papa inginkan, tapi dia harus menjadi bagian hidup Noah. Hanya itu satu-satunya cara Noah bisa bertahan di dunia papa.”   *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN