Part 10

1604 Kata
“Apa kau tidur nyenyak?” sambut Noah begitu Naya membuka mata dan masih bergelung di balik kehangatan selimut. Pria itu sudah rapi dengan rambut basah dan kaos berwarna biru tua serta celana putih pendek. Berjongkok di pinggiran ranjang memandang wajah polos tanpa polesan Naya yang selalu mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Naya tersenyum lebar dengan mata cerah walaupun habis bangun dari tidur. Menangkupkan tangannya di sisi wajah Noah dan bergumam, “Kau sangat tampan, Noah.” Noah tahu wajah sangat tampannya memang selalu mendapatkan pujian dari para wanita yang berusaha mendekatinya. Namun, pujian yang diucapkan Naya memberinya kebanggan tersendiri. Yang tak akan pernah ia dapatkan dari wanita mana pun. “Dan kau juga sangat cantik.” Noah menghadiahi satu kecupan ringan di bibir. Menekan dalam-dalam keinginannya untuk menjadikan kecupan singkat itu menjadi sebuah lumatan dalam dan panas kemudian ia tak akan bisa menahan diri untuk tidak menelanjangi Naya. Di ranjang ini sekarang juga. Namun, mereka harus segera pulang. Secepatnya membawa Naya keluar dari rumah ini.  “Bangunlah, kita harus segera pulang.” Noah menjauhkan wajahnya dari bibir Naya, berdiri sambil membawa tubuh Naya terduduk. Kantuk Naya seketika menguap, digantikan tanda tanya. Namun, ia belum sempat mengungkapkan pertanyaan tersebut karena Noah menyelipkan kedua lengan pria itu di balik punggung dan balik ketiaknya, kemudian mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar mandi. Menyuruhnya segera membersihkan diri setelah menyodorkan dress bermotif bunga putih dengan raut tanpa bantahan. Naya tak tahu kenapa Noah begitu terburu ingin pergi dari rumah ini. Seakan pria itu enggan menghabiskan waktu sedetik lebih lama dengan kedua mertuanya. Saat ia bertanya alasannya, suaminya hanya menjawab bahwa ada pertemuan penting di pagi hari dan mereka sudah sedikit terlambat. “Noah?” “Heum,” gumam Noah sebagai jawaban. Karena matanya berkonsentrasi penuh pada jalanan dan kecepatan mobil. “Aku lapar,” gerutu Naya sambil memegang perutnya. Semalam ia hanya sempat menyantap beberapa potong kue ketika tidak menemukan Noah dan bercakap sejenak dengan Ralia. Dan Noah menolak tawaran untuk sarapan pagi di rumah orang tua pria itu. Ah, tentang percakapannya dengan Ralia tadi malam, Naya teringat. Pertanyaan yang sejak semalam menggantung di kepalanya hampir sampai di ujung lidahnya. “No ....” “Tunggu sebentar.” Noah mengurangi kecepatan mobil dan mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri. Beruntung keduanya sudah sampai di kawasan pusat kota, jadi tak sulit mencari restoran mewah yang menyediakan sarapan pagi.  “Kita bisa makan di warung atau pedagang ...” kata Naya tak enak hati ketika Noah membelokkan setir ke arah restoran besar di sebelah kiri jalanan. Dengan segala kemewahan yang disediakan.    “Kesehatanmu belum pulih benar, Naya. Kau tak bisa sembarangan memakan makanan seperti itu,” jawab Noah sambil menghentikan mobil di tempat parkir yang terdekat dan memutar kunci untuk mematikan mesin. Naya mengerutkan kening dan memutar tubuh menghadap Noah. “Seperti itu? Seperti itu apa?” Noah menatap ekspresi tak terbaca Naya. Kehidupan mereka telah berubah, tapi Naya tetap tak bisa meninggalkan kehidupan wanita itu yang sederhana. Memakan makanan warung dan kaki lima. Dengan harga sepuluh kali lipat lebih murah dari restoran yang ada di depan mereka saat ini, yang pastinya memiliki kualitas dan kuantitas jauh lebih baik. “Aku tak memiliki maksud apa-apa.” Naya menggeleng. “Kau ...” Naya menyipitkan mata penuh selidik. “Bolehkah aku mengatakan bahwa kau telah berubah, Noah?” Naya sendiri terkejut kenapa pertanyaan itu juga keluar dari bibirnya. Sedetik Noah tercengang, tapi ia segera menguasai ekspresinya. “Kehidupan kita sudah berubah, Naya.” Noah menekan kata kita demi menghilangkan perasaan tak nyaman ketika kata itu hanya ditujukan untuknya. “Lagi pula, kau perlu tambahan banyak gizi setelah kecelakaan itu. Makan banyak akan membuat tubuhmu lebih cepat pulih.” Naya diam. Tak bisa menjawab. “Dan bukan bermaksud mengatakan makanan yang ada di pinggiran jalan adalah makanan tak bergizi, tapi aku hanya ingin memberimu yang terbaik yang bisa kulakukan untukmu.” Naya mengangguk setelah beberapa saat menyerap kata-kata Noah dengan baik. Berusaha tersenyum dengan suasana yang mendadak canggung. “Baiklah. Kita turun sekarang?” Noah membalik tubuh dan membuka pintu sambil bernapas lega di belakang Naya. Mungkin ia memang telah berubah, tapi ia selalu yakin bahwa cintanya pada Naya tak pernah berubah. Sedikit pun. Bahkan semakin besar di setiap detiknya. “Apa hubunganmu dan keluargamu memang sedingin itu?” Naya berusaha mencari topik pembicaraan sambil menunggu pesanan mereka diantar. Topik yang membuatnya bertanya-tanya sejak mereka meninggalkan rumah keluarga Noah dan sikap Noah yang seolah-olah ada masalah di antara keluarga tersebut. “Ya, mereka hanya tahu cara mencari uang. Itulah sebabnya aku kabur dari rumah. Tapi mereka bahkan tak mencariku untuk waktu yang lama. Dan aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tak butuh uang mereka untuk hidup atau pun bahagia.” Jawaban Noah penuh dengan ketenangan dan tanpa beban meskipun ada kesenduan di setiap kalimatnya. Seolah pertanyaan Naya adalah membuka luka yang masih menganga di hatinya semakin lebar. Naya mendengarkan dengan saksama. Mengamati raut luka yang sekilas melintasi wajah tampan pria itu. “Apakah alasanmu kembali ke keluargamu adalah karena diriku?” Naya hanya menebak. Namun, saat ia teringat tentang adiknya yang sudah hidup tenang dan kakak serta mamanya tak lagi mengganggu kehidupan mereka. Mungkin saja ini semua berhubungan dengan Noah yang kembali ke keluarga pria itu. Dengan limpahan materi yang juga digunakan agar keluarganya lebih baik. Apakah dia yang mendesak Noah untuk kembali ke sana? “Ya, kau tahu aku sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun untuk memilikimu, Naya.” Noah mengulurkan tangannya ke wajah Naya. Menangkup wajah mungil itu dan mengeluskan ibu jarinya di kulit pipi Naya. “Kau tak perlu khawatir. Aku akan selalu melindungimu. Kau tahu itu, kan?” Jawaban Noah cukup mengejutkannya meskipun dugaan itu sudah ada saat pertanyaan tersebut keluar. Ada sorot rasa bersalah yang muncul di matanya ketika tatapan Noah memakunya. “Apakah aku membuatmu tertekan?” Noah menggeleng. “Kau bilang, mungkin hal ini akan memperbaiki hubungan keluarga kami, tapi mereka menerimaku hanya karena akulah satu-satunya pewaris sah atas jerih payah yang sudah mereka bangun bertahun-tahun. Dan kupikir, aku tidak akan keberatan jika hal itu bisa membuatku memilikimu. Yang kupedulikan hanya dirimu. Aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu Naya.” Kalimat terakhir Naya dipenuhi kesenduan yang teramat dalam. Tersirat dalam setiap nada dan sorot mata Noah.   Naya tak bisa tak tersentuh dengan kalimat terakhir Noah yang sangat manis dan membuainya. Yang benar-benar menyentuh sudut terdalam hatinya sebelum kemudian meluluhkannya. Tapi, ada sesuatu yang belum ia ketahui, yang benar-benar mengusik pikirannya sejak pulang dari rumah sakit. “Apa yang terjadi dengan pernikahanku dengan Banyu? karena seingatku waktu itu kami sudah menentukan tanggal dan bahkan baju pengantin. Dan aku juga ingat saat malam hari menjelang pernikahan kami, kakak dan mamaku membawaku menginap di ...” Kerutan di kening Naya muncul ketika mencoba mengingat ke mana mama dan kakaknya membawa dirinya malam itu. “Entahlah.  Setelah itu, aku tak ingat apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Kapan kita menikah? Apakah setelah hari pernikahanku dengan Banyu dibatalkan? Setelahnya atau sebelumnya?” “Aku beruntung kakak dan mamamu adalah orang serakah, Naya. Karena jika tidak, mereka tidak akan membiarkanku membawamu kabur dari pernikahan yang tak kauinginkan itu.” Kerutan di kening Naya semakin dalam. “Apa maksudmu?” “Aku menawarkan beberapa nominal yang sangat besar pada mereka,” jawab Noah dengan ringan. “Kau membeliku?” Naya membuka mulut tak percaya. Jawaban yang  paling tidak disangkanya. “Aku tak bermaksud mengatakan hal itu.” “Tapi kau memang menukarku dengan uangmu.” “Atau kau memang ingin berakhir menjadi istri pria itu?” Mulut Naya terkatup rapat, menghela napas pendek. “Aku tidak tahu ini sesuatu yang bagus atau tidak, Noah.” “Tentu saja sesuatu yang bagus. Kau tidak akan menjadi istriku jika kau merasa ini hal yang buruk.” Sekali lagi Naya dibuat bungkam oleh pernyataan Noah. Karena menjadi istri Noah adalah mimpi yang telah menjadi kenyataan dan harapan yang terkabul bagi dirinya. Memiliki Noah untuk dirinya sendiri. “Uang memang bukan segalanya, Naya. Tapi kita butuh uang untuk mendapatkan segalanya.” “Termasuk diriku?” lirih Naya tak bisa menahan kesinisan dan kemirisan dalam suaranya. “Mama dan kakakmu menjualmu pada pria itu, bukankah kau lebih suka aku yang ...” Noah terdiam. Memikirkan kata-kata yang lebih sopan dan tak terdengar akan menyinggung perasaan Naya. “Membeliku?” sahut Naya. Memaksa seulas senyum getir di bibir untuk Noah. Noah terdiam sesaat. Tangannya meraih jemari Naya dan menarik ke arah bibirnya. Mencium punggung tangan Naya dan menatap dalam-dalam mata Naya saat berucap, “Kau tahu aku tak pernah menganggap atau memandangmu seperti itu. Aku hanya mencintaimu, Naya. Aku melihatmu hanya seorang Naya yang selalu melimpahiku dengan kasih sayang. Satu-satunya wanita yang kucintai dan mencintaiku dengan tulus. Hanya itu.” Naya mengembuskan napasnya dalam-dalam. Keluarganya memang matrealistis, ia tak akan menyangkal hal itu. Dan sangat jauh lebih baik menjatuhkan diri pada Noah daripada Banyu, meskipun Banyu adalah pria yang baik. “Aku juga mencintaimu, Noah. Tanpa atau dengan kehidupanmu yang sekarang.” Noah mengangguk setuju. Penyesalan yang menekan dadanya terasa begitu menyesakkan. Kehidupan mereka sebelum kembali ke keluarganya terasa penuh dengan bunga. Namun, saat kedua keluarga yang bagaikan benalu antasa satu sama lainnya ikut campur dan dirinya yang terlalu lemah melindungi Naya. Keduanya beradu berusaha menghancurkan kebahagiaannya dan Naya. Dan hanya inilah satu-satunya cara untuk mempertahankan Naya dengan kesempatan yang diberikan Tuhan pada pernikahan mereka. Noah rela menanggung semua beban penderitaan oleh kebohongan yang ia tumpuk. Ia tak akan mengeluh dengan senyum dan kebahagiaan Naya sebagai imbalannya. Cinta mereka begitu sempurna saat ini. Dalam setiap hembusan napasnya, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Naya dan berharap dengan sepenuh hati ingatan Naya tak akan pernah kembali.   ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN