Part 8

1555 Kata
Tak menemukan Naya setelah memecah kerumunan para tamu dan dua kali menuju toilet, Noah semakin menggila. Rasanya ia sudah mengelilingi setiap sudut aula hingga puluhan kali. Namun, tak juga menemukan keberadaan istrinya. Hingga ia berjalan keluar dan mengabaikan panggilan para relasi yang berusaha mengemis perhatiannya. Di halaman gedung pun ia tak menemukan keberadaan istrinya. Ponsel Naya tak aktif dan itu membuat kegelisahannya semakin tak terkendali. Kemudian ingatan ketika Naya memergokinya berciuman dengan Ralia di klub pada malam itu kembali berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Apakah Naya melihatnya ketika ia dan Ralia bergandengan tangan? Sialan, Ralia memanfaatkan kesempatan di saat yang tepat. Benar-benar wanita licik. Tak menyerah, ia kembali menekan layar ponsel dan berusaha tersambung dengan nomor istrinya. Panggilan lain yang masuk dari nomor mamanya ia abaikan untuk kesekian kalinya. Ia hanya ingin memikirkan di mana keberadaan Naya saat ini? Tak butuh gangguan-gangguan kecil lainnya. Apalagi Eva Samudra. Sekali lagi, jawaban dari operator yang memberitahunya bahwa nomor Naya tidak aktif membuat Noah menggeram. Kepalanya mendongak dan menyusurkan jemari di rambutnya yang tertata rapi. Ingin menangis, tapi air matanya tertahan ketika matanya menangkap lampu merah kecil di sudut dinding aula. “Cctv?” lirih Noah dan segera berlari ke ruang keamanan gedung. Beruntung nama belakangnya yang begitu besar membuatnya dengan mudah memiliki akses untuk melihat rekaman-rekaman yang terpasang di sekitar aula. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari pintu ruang keamanan dengan wajah merah padam. Apa yang ia khawatirkan terjadi tanpa ia menyadarinya. Segera, ia menarik ponsel dari saku dan menghubungi nomor yang sejak tadi ternyata adalah akar dari kegelisahannya. Ia melihat mamanya membawa Naya pergi lewat pintu belakang. Mamanya pasti melakukan sesuatu dengan langkah Naya yang tak sempurna. Ia bersumpah tak akan pernah memaafkan mamanya jika sesuatu terjadi pada istrinya.   “Apa yang Mama lakukan pada Naya?” desis Noah begitu panggilannya diangkat pada deringan pertama. “Mama sudah menghubungimu beberapa kali, Noah. Bukan salah Mama jika kau mengabaikannya.” “Di mana Naya?” Noah tak butuh basa-basi. “Heum, dia baik.” Eva berhenti sejenak. “Sedang beristirahat di kamarmu.” “Mama boleh kembali pulang sekarang.” “Mama bilang kamarmu, Noah. Bukan apartemen kalian.” Noah mencengkeram ponselnya kuat-kuat. Ia sudah melakukan segala cara untuk menutup akses masa lalu mereka di ingatan Naya dengan tinggal di apartemen baru mereka. Memberi pernikahan mereka lembaran baru. Namun, dengan lancangnya mamanya malah membawa Naya kembali ke rumah mereka. Ke tempat segala ingatan buruk Naya bercokol dan penderitaan istrinya dimulai. “Mama sengaja membawa Naya ke sana?” desisan Noah tajam. Melemparkan hujaman yang keras walaupun hanya lewat suaranya. “Hanya itu pilihan yang mama miliki, Noah. Dia mengeluh sakit kepala dan ingin segera beristirahat. Apartemen kalian tiga kali lipat lebih jauh, jadi ...” “Mama tahu alasanku tidak membawa Naya kembali ke rumah itu dan mama masih tetap membawanya ke sana?” potong Noah dengan suara geraman yang mengeras. “Noah ...” Noah memutus panggilan. Berlari menelusuri lorong menuju lift dan turun di lantai basement. Ia harus segera membawa Naya keluar dari sarang penderitaan istrinya.   ***   Noah menginjak pedal rem kuat-kuat tepat di depan pintu utama kediaman Samudra. Membanting pintu mobil dan menaiki tangga di teras dua anak sekaligus. Tak memedulikan sambutan mamanya ketika ia melewati pintu ganda dan langsung menuju tangga ke lantai dua. Melewati beberapa pintu dan berhenti di pintu paling ujung. Langsung menuju kamarnya, tempat Naya tidak seharusnya berada.   “Naya?” Noah mendorong pintu. Membiarkan napasnya terengah keras saat melihat Naya berbaring di ranjang memunggunginya. Sambil memperbaiki desah napasnya yang tak beraturan, ia berjalan mendekati ranjang dengan perlahan. Ingatannya tentang kamar ini memberinya aroma yang membuat dadanya sesak. Memberinya rasa sakit melihat Naya berbaring di sana lagi. Seakan hanya untuk memperjelas dosa-dosa yang  telah ia perbuat pada istrinya. Setelah napasnya kembali normal, ia menaiki ranjang. Keraguan menyeruak menyelubungi hatinya yang gundah. Mungkinkah ingatan-ingatan pahit Naya telah kembali ketika istrinya menginjakkan kaki di rumah ini? Di kamar ini? Bertaruh dengan kemungkinan itu, ia tetap akan memeluk Naya erat-erat. Tak akan pernah melepaskan wanita itu lagi. Naya menggeliat ketika merasakan sentuhan lembut yang mengeliling perut dan tubuhnya ditarik ke belakang. Menoleh ke belakang dengan mata menyipit dan mengantuk. “Noah? Kau sudah pulang?” Noah mencium bibir Naya. Mengetatkan pelukannya dengan kelegaan yang teramat besar dengan balasan sikap hangat Naya. Nayanya masih sama, tapi ia tak bisa menjamin hal yang sama jika mereka lebih lama di dalam kamar ini. Ia takut suasana di kamar ini akan menyingkap tabir masa lalu Naya dan Naya akan pergi meninggalkannya. Untuk kedua kalinya. “Apa kauingin pulang?” Naya kembali memejamkan mata menikmati pelukan Noah dan semakin merapatkan diri. “Kepalaku masih sangat pusing.” “Apa kauingin kupanggilkan dokter?” Noah mengangkat kepalanya dengan khawatir. Naya menggeleng. “Aku hanya ingin beristirahat. Pelukanmu terasa lebih menenangkan dan aku tidak ingin ke mana-mana.” “Kenapa kepalamu sakit?” Noah menjaga agar nada menyelidiknya tak sampai terdengar. “Aku berusaha mengingat kecelakaan itu, tapi ... tapi kepalaku berdenyut dan membuatku kesakitan.” Noah beruntung wajahnya di belakang tengkuk Naya, sehingga wanita itu tak menyadari ketika darah lenyap dari wajahnya dan tubuhnya menegang. “Jangan terlalu keras. Aku tak ingin membuatku kesakitan lagi. Lebih baik lupakan semua untuk saat ini.” Naya mengangguk pelan. Matanya kembali terpejam rapat. “Ralia mengatakan sesuatu tentang kecelakaan itu,” gumaman Naya semakin melemah. Sepertinya wanita itu mulai kembali terlelap. Ralia lagi, Ralia lagi. Noah bersumpah akan membuat perhitungan dengan wanita ular itu ketika ingatan beberapa hari sebelum kecelakaan menggantung di atas kepala dan berputar tanpa bisa ia hentikan. Pada malam itu. “Kenapa kau pulang larut sekali?” sambut Naya dengan raut pahit begitu Noah masuk ke dalam kamar dan menghadang dirinya. Ia bisa melihat mata merah dan basah istrinya, ada rasa bersalah teramat besar. Entah hal apa lagi yang membuat wanita itu menangis lagi dan lagi. Namun, ekspresi tak bersahabat yang melengkung di sudut bibir Naya membuatnya marah. Benar-benar wanita tak tahu diri. Seharusnya dengan semua hal yang telah ia berikan pada Naya, ia pantas disambut dengan senyum manis dan hangat yang mampu menenangkan semua keresahan dan kegelisahannya. Memeluknya dengan penuh kehangatan. Mengusir keraguan hatinya terhadap wanita itu. Setidaknya ia bisa hidup dengan sikap hangat Naya dan mempertahankan rumah tangga mereka setelah pengkhianatan Naya dan Banyu di belakangnya. Apakah setelah mendapatkan keinginannya, wanita itu sengaja bersikap menyebalkan dan membuatnya bosan? Agar ia punya alasan untuk mengusir dan membebaskan istrinya dari penjara rumah ini. Melepaskan isitrinya dari ikatan pernikahan yang menyesakkan ini. Sebelum kemudian berlari pada pria busuk itu dan membuang dirinya seperti sampah? ‘Tidak! Kita akan lihat. Seberapa jauh kau akan bertahan dengan penderitaan ini,’ batin Noah dengan sinis. Merasa benci bahwa cinta yang ia miliki pada Naya membuatnya begitu lemah bahkan ketika wanita itu memanfaatkan dirinya sesuka hati. Merasa benci karena limpahan cintanya kepada wanita itu tak mendapatkan balasan yang setimpal. “Apa kau tidak membaca pesanku?” tanya Naya lagi. Noah sudah membaca pesan Naya yang menyuruhnya untuk segera pulang karena ada sesuatu hal yang butuh mereka bicarakan. “Aku ada meeting penting.” “Tubuhmu bau alkohol,” sinis Naya. “Diamlah, Naya. Aku lelah dan tak butuh ocehanmu.” Noah menepis tubuh Naya dari hadapannya. Melempar jas dan tasnya ke sofa dan berjalan ke pintu kamar mandi dengan terhuyung. “Aku hamil.” Naya berkata sebelum Noah sempat menutup pintu kamar mandi. Berdiri membeku di tengah kamar mereka. Noah berhenti. Bersandar pada pinggiran pintu kamar mandi menatap perut Naya selama beberapa saat lalu pandangannya naik ke wajah istrinya. Wanita itu memberitahunya kabar gembira dengan raut duka. Sebegitu menderitanyakah mengandung darah dagingnya? “Aku tidak mendapatkan haidku selama dua bulan ini.” “Bukankah kau memang biasa seperti itu,” sangkal Noah tak sungguh-sungguh. “Aku sudah memeriksanya ke dokter tadi pagi.” Noah tak berkata apa pun. Naya ikut terdiam. Selama satu menit penuh keduanya hanya saling tatap dalam keheningan. Hati Naya berdenyut, seharusnya ini adalah kabar yang mereka tunggu selama setahun pernikahan ini dan disambut dengan sukacita. Namun, reaksi Noah lebih dari cukup dikatakan sebagai sebuah penolakan. Pria itu tidak terlihat bahagia dengan kehadiran anak dalam kandungannya. “Apa kau menolak keberadaan anak ini?” Noah mendengkus. “Keputusan ada di tanganmu, Naya.” Naya mengernyit. “Apa maksudmu?” “Bukankah dengan anak itu sekarang kau jadi punya alasan lebih untuk mempertahankan kemewahan ini? Menjadi Nyonya Samudra secara seutuhnya dan posisimu akan sebanding dengan mamaku. Kupikir itu cukup untuk membuatmu membalas perbuatan buruk mamaku.” Naya terdiam. Hanya menatap punggung Noah yang menghilang di balik pintu kamar mandi dengan air mata berurai. Tangan besar seolah membetot isi dadanya dan memerasnya hingga tanpa ampun. Pria itu sudah banyak berubah. Bukan lagi pria penuh kasih sayang terhadap dirinya. Beberapa minggu ini, ia sudah berusaha memperbaiki hubungan mereka yang dingin, tapi balasannya selalu sama. Sikap dingin dan kasar yang selalu menyakiti hatinya. Ditambah, perlakuan semena-mena mama mertuanya yang memperlakukannya seperti wanita matrealistis. Kerap kali, wanita paruh baya itu menyembunyikan keberadaan dan identitas dirinya sebagai menantu keluarga ini dari hadapan orang-orang. Memastikan siapa pun tak mengetahui hubungan dirinya dengan keluarga ini. Jika dulu, cinta Noahlah yang membuatnya bertahan, maka sekarang ia tidak memiliki alasan lagi untuk tinggal di rumah mewah ini. Noah pun sudah meninggalkannya. Satu-satunya pilihan yang ia miliki hanya pergi dari rumah ini. Demi kebahagiaan Noah yang tak bisa lagi ia berikan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN