Melangkah dengan sedikit rasa malas, Arjuna terpaksa mengikuti ibunya. Wanita satu anak itu, tengah berada di koridor sebuah Rumah Sakit Umum di kota Jakarta. Akan tetapi sepanjang jalan sang CEO terus saja menggerutu.
“Kenapa nggak di bawa ke Rumah Sakit yang lebih bagus aja sih orang tuanya si Dara ini? Bukannya kakak ceweknya itu nikah sama orang kaya? Eneg ‘kan gue cium bau Rumah Sakit ini, jadi pengen muntah aja!” akibat dari aroma aneh yang masuk ke indera penciumannya.
Tentu apa yang ia perbuat, menjadikan langkah kakinya sedikit terlambat dari pada sang ibu, “Lho, Mas? Cepetan jalannya. Kok malah jadi lelet kayak siput gitu sih. Kamu bilang mau buru-buru ke Bandung, kan? Ayo buruan, Masss...!” hingga pada akhirnya Ambarsari kembali memuntahkan beberapa cibiran pedas sembari bertanya.
Merasa tak memiliki kata-kata yang cukup tangguh untuk menjawab pertanyaan tentang kota Bandung dan juga meeting palsu karangan dari otak nakalnya, “Iya-iya! Bawel banget sih Mama akhir-akhir ini. Jadi pengen tinggal di apartemen lagi deh rasanya,” Arjuna pun mempercepat langkah kakinya, namun pita suara sang CEO pada akhirnya mengeluarkan gerutuan juga.
Dua indera pendengaran Ambarsari yang masih berfungsi dengan baik, tentu saja mendengar perkataan tersebut.
Sehingga ocehan pedas kembali terdengar dari bibirnya, “Jangan macam-macam ya, Mas? Mama tinggal sendiri aja sekarang loh. Papamu udah nggak ada. Awas sampai kamu tinggal di apartemen dan cuekin Mama lagi. Bakalan Mama ceritain ke— Dara?! Kamu kenapaaa...?!” dan perkataan tadi harus menggantung, akibat sosok Andara yang nampak di kedua mata Ambarsari.
Mata sembab memerah milik wanita dua puluh delapan tahun itu, pun berhasil membuat kening datar Arjuna mengernyit dalam, “Kenapa dia sedih banget gitu? Papa sama Mamanya ‘kan aman-aman aja, nggak ikut terbakar? Apa keluarga mereka bakal mendadak miskin, makanya dia sampai mewek gitu? Hemmm... Kayaknya bakalan lebih seru kalau memang kejadiannya kayak gitu. Tinggal bicara tentang duit, gue yakin dia juga bakal nurut sama omongan gue. Iya nggak tuh? Hari gini gitu loh. Dara itu cewek gampangan kan ya? Jadi deh Arjuna semakin di depan. Iya, kan?” lalu berpikiran buruk dalam hati.
Akan tetapi jawaban lirih dari bibir Andara, “Nggak apa-apa kok, Tan. Dara sedih aja efek udah nyusahin Mama sama Papa kayak gini. Maafin Dara ya, Tan?" entah kenapa berhasil membuat Arjuna tak bergeming.
Terlebih lagi ketika ia melihat bagaimana pelukan spontan yang wanita itu berikan pada ibunya.
“Emmm... Bisa bicara sebentar nggak? Aku buru-buru mau pergi ke Bandung soalnya,” namun rasa gengsi, nampaknya belum hilang dari diri Arjuna.
Untung saja rasa peka Ambarsari pada sang putra, berhasil terjadi di sana, “Oh iya, lupa. Dara ngobrol sebentar sama Mas Juna ya? Soalnya tadi Tante sudah bicara soal pekerjaan yang asisten pribadi itu ke dia. Karena kata Ratih rumah kalian hangus terbakar semua, jadi Tante paksa Mas Juna harus terima kamu di kantor.”
“Lho, kok gitu? Dara ‘kan udah bilang mau jualan aja, Tante. Nggak mau kerja kantoran lagi.”
“Aduh udah deh, Dara. Gih buruan ikut sama Mas Juna sekarang ya? Dia buru-buru soalnya ada meeting di Bandung. Oke? Bye. Cup,” sehingga Arjuna tak perlu repot-repot menjelaskan pada Andara, yang terlihat memasang wajah ingin tahunya beberapa saat lalu.
Setelah kepergiaan Ambarsari, sang CEO segera membalikkan badan dan memberi kode dengan ekspresi wajahnya.
Suka tidak suka, Andara pun mengekori Arjuna dari belakang, “Elo mau bawa gue ke mana, Jun? Nggak aneh-aneh kayak semalam la— Arghhh...! Sakit, Juna!” namun ocehan wanita itu membuat Arjuna naik pitam.
“Good woman! Gue dalam keadaan nggak sadar semalam, jadi hari ini kita harus segera menetralisir semua sebelum itu menjadi senjata buat lo!” hingga akhirnya ia mendapatkan satu cengkeraman kuat dari sang CEO, bersama dengan sebuah jawaban yang begitu sarkas.
Sayangnya rasa kesal dalam diri Andara sudah sampai ke ubun-ubun akibat perbuatan kasar Arjuna, “Kalau gitu gue nggak mau ikut sama lo! Ngapain gue harus capek-capek ngelakuin hal bodoh. Memangnya lo pikir gue bakal bisa hamil, sementara lo sendiri aja belum keluar? Dasar aneh! Kenapa lo bisa mikir begitu? Apa jangan-jangan lo mengharap gue bakalan hamil anak lo?” sampai-sampai ia memberanikan diri untuk menjawab dengan kalimat yang tak kalah kasarnya.
Tentu saja wajah pria tiga puluh tahun itu berubah menjadi aneh di mata Andara, pasca ucapan tentang sesuatu yang belum tuntas dalam dirinya terungkap.
Hanya saja ucapan Arjuna tak sempat ia selesaikan, “Gue nggak percaya! Lo itu ‘kan tukang bohong. Dulu aja lo bilang status—”
“Nggak usah bahas masa lalu. Memangnya lo juga nggak bohongin gue soal cewek yang lo tidurin sehari setelah gue minta putus itu? Kita satu sama, kan? Harusnya dari dulu lo bilang tentang ini ke Tante dan Almarhum Om dong. Jadi gue nggak sepenuhnya disalahkan, karena emang posisinya lo juga nggak benar-benar tulus! Bukan malah kompor ke semua teman-teman gue dengan bahasa cewek gampangan sampai akhirnya si Indra juga putusin gue! Lo puas ‘kan sekarang? Terus apalagi sekarang yang mau lo buat?” karena mulut Andara kembali mencecar sejumlah kenyataan yang selama ini ditampik oleh Arjuna, ketika pria itu ingin berkata lagi.
Andara bahkan menyempatkan diri untuk bisa menabrak lengan kiri sang CEO, saat ia melangkah pergi.
“Siapa yang suruh lo cabut, hah? Gue belom selesai bicara!” tapi Arjuna mencengkeram lengannya lagi.
“Apa lagi yang mau lo bicarakan? Cepat bicara sekarang! Gue nggak bisa pergi kemana-mana karena keadaan Papa sama Mama yang belum sehat betul,” karena Arjuna belum menyampaikan amanat ibunya. .
Tik tok tik tok tik tok tik tok
Setelah beberapa detik sang CEO berusaha untuk menetralkan rasa emosional dalam diri dengan menatap netra hitam pekat Andara, “Mama minta lo kerja jadi asisten pribadi gue. Udah seribu kali gue berusaha buat menolak, tapi Mama terus kekeuh sama pendiriannya dan gue capek berdebat,” ia pun mengungkapkan hal yang sama seperti ucapan Ambarsari beberapa saat lalu.
“Ya udah, iya. Gue juga capek menolak permintaan Tante Ambar, sementara nyokap lo itu udah terlalu baik sama keluarga gue. Jadi kapan gue masuk kerja? Soalnya gue nggak punya pakaian kantor lagi, jadi harus ngubek-ngubek toko baju buat beli beberapa pakaian,” lalu Andara pun memberikan jawaban yang tidak disangka-sangka oleh sang CEO.
Sebuah ide paling konyol, pun melintas dan keluar begitu saja dari bibir Arjuna, tanpa sempat ia filter terlebih dahulu, “Gue temenin ke toko baju mau?”
“Oke deh. Ayo jalan sekarang!”
“Astaga! Apa-apaan lo, Jun? Kok malah ngajak dia hangout sih? Lo sehat apa sakit sih sebenarnya, Bro?” lalu berujung pada gerutuan si peri hitam dalam hati yang menyalahkan ucapan spontannya.
Terlepas daripada itu. Para peri putih dalam diri Arjuna malah memberinya ribuan tepuk tangan semangat. Sehingga dengan hati sedikit menghangat, ia berhasil membuat sebuah senyum manis terbit dari bibir, sebelum ikut melangkah dan menyusul Andara Sasmita yang sudah jauh di depannya.