Bab 9. Masa Berat Saat Mengandung

1123 Kata
Aya berjalan dengan hati-hati. Ia berjalan dengan memegangi pinggangnya yang terkadang sakit. Makin hari, tubuhnya terasa semakin berat. Nafasnya pun juga lebih pendek dari sebelumnya. "Eh, Mbak Aya sudah datang," seru salah satu ibu wali murid ketika melihat Aya dari kejauhan. Aya tersenyum membalas sapaannya. "Duduk sini Mbak Aya! Hati-hati," kata salah seorang lagi ketika Aya sudah berada di dekat mereka. Dia memberikan tempat duduk untuk Aya. "Terima kasih," jawab Aya sambil tersenyum ramah. "Anak-anak, belum keluar ternyata," tanya Aya. "Sebentar lagi. Ini tadi ada kegiatan di luar, jadi sedikit telat," jawab salah satu dari mereka. "Jarang bertemu ya mbak. Perut Mbak Aya sudah besar sekali. Sudah berapa bulan, Mbak?" tanya ibu yang lain. "Sudah delapan bulan lebih, Mbak," jawab Aya. "Sudah dekat hari lahiran, donk. Kapan prediksi hari lahirannya?" "Dua minggu lagi, Mbak." "Wah, nggak terasa ya. Semoga lancar dan sehat-sehat bayi dan ibunya ya, Mbak." "Terima kasih doanya." Tidak lama setelah itu, anak-anak TK keluar dari kelas. Aya pun juga mencari Nala di antara para siswa TK yang lain. Begitu keluar dari sana, Nala langsung melihat ke arah Aya. "Mama!" seru Nala berhambur berlari ke arah Aya. Aya langsung memeluknya. Sama dengan para murid TK yang lain. Yang juga berlarian ke arah orang tuanya masing-masing. Waktu berlalu begitu cepat. Selama ini, Aya menjalani kehidupan yang bisa dibilang tidak mudah. Ia menjadi single mom untuk Nala dan calon bayinya, meskipun ia belum bercerai dari Abian. Namun, Aya sudah menganggap kalau dirinya sama saja seperti janda. Karena selama ini, Abian sama sekali tidak menafkahi Nala. Bahkan, ia tidak pernah menanyakan kabar Nala. "Mama! Aku boleh main sebentar?" tanya Nala saat sudah berada di dekat Aya. "Iya, Sayang," jawab Aya tersenyum. Nala pun pergi bermain dengan teman-teman yang lain. Meninggalkan Aya dan wali murid yang lainnya untuk menunggu sebentar di sana. "Apa Nala tidak pernah bertanya soal papanya, Mbak?" satu wali murid memulai pertanyaan sama yang hampir selalu Aya dengar setiap hari. "Sekarang sudah tidak, Mbak," jawab Aya singkat. "Kasihan ya, Nala. Memang dulu waktu pacaran dia juga suka mukul gitu, ya?" Pertanyaan lain yang serupa. "Tidak pernah." Lagi-lagi, Aya hanya menjawab seperlunya. Bermakna jika Aya tidak ingin meneruskan percakapan soal suaminya itu. Kadang, Aya merasa jengah mendengar pertanyaan sensitif seperti itu. Tidakkah mereka sadar jika percakapan seperti itu, seharusnya cukup satu kali ditanyakan? Tidak berulang-ulang. "Eh, aku lupa tadi ayah anakku mau dibuatkan kare," ujar salah satu wali murid saat menunggu anak-anak mereka bermain. "Kalau ayah anakku sih tidak suka makan ayam." "Suamiku apapun suka. Asalkan kalau malam tidak pernah telat saja jatahnya." Seorang wali murid bermaksud bercanda. "Kalau itu sih, semuanya sama!" Mereka lalu tertawa bersama. Aya hanya diam dan tersenyum mendengar teman-teman wali murid sahut menyahut membicarakan suami mereka masing-masing. Seperti inilah hari-harinya berlalu. "Mbak aku pulang dulu ya," pamit Aya pada teman wali murid tiba-tiba. "Lho, sudah mau pulang?" "Banyak kerjaan, Mbak." "Mbak Aya mau nulis lagi ya?" tanya temannya lagi. "Iya, Mbak. Kejar target kata." Aya kemudian melihat ke arah Nala. Ia memanggil putrinya dan membujuknya untuk ikut pulang. Ada hal yang lebih produktif yang harus Aya kerjakan dari pada duduk bersantai mendengarkan bahasan suami orang lain. "Mari, Mbak," pamit Aya sekali lagi pada wali murid yang lain. "Oh, iya ... iya. Hati-hati ya," jawab mereka hampir bersamaan. Aya kemudian berjalan menjauh. Para wali murid memperhatikan Aya yang berjalan membelakangi mereka. "Syukur deh, mbak Aya masih bisa dapat penghasilan dari menulis," ujar salah satu kerumunan tadi saat Anggun sudah menjauh. "Iya. Kasihan dia. Suaminya benar-benar tidak bertanggung jawab." "Katanya mau ngurus cerai kalau sudah lahiran?" "Apa suaminya tidak tahu kalau mbak Aya hamil?" "Mungkin tidak. Soalnya sudah tidak pernah pulang ke sini, kan?" "Sayang sekali ya, mbak Aya dapat suami kayak gitu. Sudah gak bertanggung jawab, cemburuan, main kasar lagi. Padahal mbak Aya dulu pintar dan lincah lho! Kasihan." "Mungkin yang dilihat gantengnya saja." "Ganteng sih ganteng. Tapi kalau kelakuannya kayak gitu, kenapa mau saja?!" "Lagian salah mbak Aya juga! Kenapa masih mau berhubungan kalau pada akhirnya cerai, kan?!" Begitulah celoteh yang hampir tiap hari terdengar. Sebagian, ada yang terdengar di telinga Aya, sebagian tidak. Seperti itukah bentuk rasa kasihan? Berbicara di belakang sambil memberikan judge Kadang, inilah yang membuat kehidupan Aya yang hamil tanpa suami terasa berat. Namun, Aya berusaha untuk membiasakan diri. *** "Mm...eemm..." Aya merapatkan kedua bibirnya. Ia menahan diri agar teriakannya tidak keluar dan terlalu kencang. Sesekali ia menarik nafas cepat dan berusaha untuk mengaturnya. Wajahnya bercucuran keringat. "Ayo! Kurang sedikit lagi, Kak," kata Prisa di sampingnya. "Terus, jangan berhenti. Kepalanya sudah kelihatan," kata bidan yang menemani Aya. Aya berusaha terus mengejan. Saat ini, ia merasa sangat kesakitan. Meskipun ia di antara hidup dan mati, tapi Aya terus berjuang untuk tetap hidup demi Nala. "Eeeennng ...!" Aya memejamkan kedua matanya rapat-rapat untuk mengeluarkan tenaga yang lebih besar. Sekitar lima belas detik berlalu. Suara tangisan bayi terdengar dengan keras. Bersamaan dengan itu, semua tulang-tulang Aya yang seolah terasa lepas, kini bisa kembali disatukan. Ia terengah-engah karena merasa kelelahan mengejan. "Bayinya perempuan," ujar bidan yang menolongnya. "Wah, selamat Kak! Kak Aya punya dua putri," seru Prisa bahagia dan terharu. Aya hanya tersenyum lemas ke arah adiknya. "Bagaimana keadaan Nala ya, Pris?" Aya masih sempat mengkhawatirkan putri pertamanya. "Setelah ini, aku telfon rumah, Kak," jawab Prisa. "Tapi kamu hebat, Kak! Proses melahirkannya cepat sekali," puji adiknya sekali lagi dengan senyum terharu. "Ngomong-ngomong, suaminya kenapa tidak datang?" tanya bidan spontan pada Prisa. Aya dan Prisa, hanya saling pandang sebentar. "Selama kontrol dan periksa, mbak Aya juga selalu sendirian terus. Memangnya kerjanya di mana kok tidak bisa pulang?" lanjut pertanyaan dari bidan. "Kebetulan kerjanya di luar kota Bu bidan. Tidak bisa ambil cuti," jelas Prisa begitu saja. Bidan yang mendengar penjelasan Prisa hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin saja, bidan itu memikirkan hal yang macam-macam tentang Aya? Aya tidak ingin berprasangka buruk, tapi biarlah. Aya kembali fokus pada bayi mungilnya dengan bahagia. Bayinya sehat dan bidan sedang membersihkan darah yang menempel di sekitarnya. Aya terus melihat bayinya dengan merasa terharu. "Ini bayi Anda," kata bidan setelah selesai membersihkan dan memberikannya pada Aya. Aya menerimanya. "Lihat, Kak. Dia sepertimu. Cantik sekali," kata Prisa. Aya tersenyum sambil berkaca-kaca terharu mendengar ungkapan Prisa. Ia lalu melihat wajah bayi mungil yang sedang memasukkan jari tangan ke dalam mulutnya. Ada perasaan bahagia, juga sedih. Bahagia, karena bayinya lahir dengan sehat. Namun, ia merasa sedih karena bayi ini, akan tumbuh tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang ayah. Meskipun begitu, Aya tidak merubah keputusannya untuk segera mengurus cerai agar ia bisa terbebas dari suaminya. "Kira-kira siapa namanya ya kak?" tanya Prisa. "Aku ingin memberinya nama, Nadia. Artinya harapan." "Bagus, Kak!" seru Prisa setuju. Aya tersenyum mendengar Prisa yang setuju. Ia kemudian mendekatkan bayinya ke arahnya. Aya lalu mencium kening bayinya dengan penuh kasih sayang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN