21

2711 Kata
Happy Reading and Enjoy~ Elina memutuskan untuk duduk di halaman istana. Dari semua tempat di Alasjar selain perpustakaan, ia suka dengan halaman, karena di halaman penuh dengan bunga dengan berbagai macam jenis. Aroma bunga menentramkan hatinya yang sedang kusut, ia memejamkan matanya rapat-rapat, menghirup aroma yang terasa segar. "Saya mendengar Anda meminta camilan Raja ke dapur istana ya, Yang Mulia? Ini dia makanan yang dipesan oleh raja. Elina langsung menoleh ke arah belakang saat mendengar suara Sebastian. Senyumnya seketika mengembang. "Sebastian!" sapanya antusias.  Sebastian juga membalas senyumnya. "Sstt, kecilkan suaramu, mereka bisa mendengarmu dan mengetahui bahwa kau mengenaliku." Lelaki itu berjalan mendekat. "Apa kabar, Elina? Apa kau sudah tidak marah lagi padaku? Elina mengangkat kedua bahunya pelan. "Masih marah, sih, sedikit, tapi aku sudah memaafkanmu. Aku merasa bersalah padamu karena pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Kau tahu keadaanku, bukan? Dan kau pasti tahu aku pergi dengan siapa. Aku benar-benar kesal padanya, dia berbuat seenaknya padaku. Dia meninggalkanku di tengah-tengah padang pasir, tapi terlepas dari itu, aku ingin memberitahukan satu hal penting padamu. Apa kau tahu bahwa Aslan baru saja diserang oleh orang yang tidak dikenal? Wajah lelaki itu disiram racun." Wajah Sebastian tampak terkejut, Elina menduga lelaki itu pasti tidak tahu bahwa sahabatnya diserang. "Kapan kejadiannya?" tanya Sebastian. Kini lelaki itu berjalan mendekat padanya. "Tiga hari yang lalu, saat itu dia berada di kamarku. Kami baru saja pulang dari desa Dyras." Elina mulai bercerita. "Aku juga tidak tahu bagaimana kejadiannya, tapi saat itu dia menghisap darahku dan aku pingsan, lalu aku terbangun dengan suara teriakan dan kehebohan yang mengganggu. Saat itu aku melihat dia sudah memegang wajahnya dan wajahnya sudah terluka parah karena racun, kejadiannya begitu cepat. Aku juga tidak bisa melihat siapa penyerangnya, tapi waktu itu aku bermimpi." Elina terdiam beberapa saat, seperti ada yang tertinggal didalam ceritanya. Soal mengingat sesuatu Elina berujar dengan nada yang terkesan misterius. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau mengenal Pangeran Ozza? Aku pernah bertanya pada Aslan dan dia marah, aku sudah mencari di perpustakaan, tetapi aku tidak menemukan apa pun. Kupikir kau mungkin tahu sesuatu dan aku menunggu kepulanganmu." Sebastian melipat kedua tangannya. "Hmm, jadi kau menunggu kepulangan ku hanya untuk menanyakan siapa itu Pangeran Ozza?" Elina tersenyum lebar. "Ya karena hal itu juga, tapi salah satunya, aku ingin meminta maaf padamu. Apa kau jadi memberikan penawar wabah penyakit itu kepada warga seperti yang kau janjikan kepadaku?" "Tidak mudah melakukannya. Mereka tahu bahwa wabah itu berasal dari sungai tempat para warga mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari, dan sungai itu dijaga ketat oleh orang-orang Alasjar. Aku ke sana, tetapi yah semua mata tertuju pada ku. Sebenarnya tidak ditujukan kepada ku, tetapi mereka pasti akan tahu jika aku menanamkan penawar di sana. Dan seperti yang kau tahu juga, penawar wabah penyakit seperti itu hanya bisa dibuat pada oleh orang yang nembuat wabahnya. Maafkan aku, aku tidak mau mengambil resiko. Lagi pula obat yang kau rekomendasikan kepada tabib istana itu begitu manjur, bahkan jika aku boleh jujur, obat itu lebih manjur daripada penawar wabah yang akan kuberikan pada mereka. Penawar wabah yang kubuat bisa menyembuhkan mereka dalam waktu mungkin sekitar satu minggu, sedangkan punyamu hanya dalam tiga hari. Kau hebat, Elina. Kau pantas jadi tabib. Nah, Karena kecerobohan ku itu, apakah kau mau memaafkanku?" Elina memberi senyum singkat. "Aku akan berpikir terlebih dahulu." Ia mengambil nampan yang berada di tangan Sebastian. "Baiklah kalau begitu, aku akan mengantarkan ini kepada Aslan terlebih dahulu. Aku tidak mau dia curiga dan membuat kupingku panas karena ocehan-ocehannya." "Hei ayolah, setidaknya aku sudah berusaha untuk meminta maaf padamu dan meminta maaf kepada seluruh warga. Aku juga membantu mereka. Berikan aku sedikit apresiasi atas kerja kerasku. Dan aku juga sudah memujimu tadi, apakah kau tidak merasa tersanjung?" Elina terkekeh. "Baiklah, aku akan memaafkanmu. Aku akan mencoba untuk menghilangkan kecurigaan kepadamu. Kalau begitu, aku pergi dulu. Kita akan bertemu lagi nanti di perpustakaan." Seolah mengingat sesuatu, Elina berpaling. "Tunggu sebentar, kau belum memberitahuku siapa itu Pangeran Ozza. Apa kau mengenalnya?" Wajah Sebastian seketika berubah, ia menduga lelaki itu tidak nyaman dengan pertanyaannya. "Kita akan membahasnya ketika bertemu di perpustakaan. Kuharap kau tidak mengungkit-ngungkit namanya di depan Aslan." "Memangnya kenapa? Beri aku alasan. Aku begitu penasaran, aku melihat masa depan dan di sana aku melihat Pangeran Ozza." Wajah Sebastian memucat, tetapi hanya sedetik. Lelaki itu berusaha menormalkan kembali ekspresinya. "Aku hanya memintamu untuk tidak membahasnya kepada Aslan. Dia salah satu orang yang membuat mimpi Aslan menjadi buruk." Lelaki itu terdiam beberapa saat. "Kenapa kau bisa melihatnya? Dia sudah mati bertahun-tahun yang lalu. Aslan yang membunuhnya, kuburannya berada di halaman Alvar." "Halaman Alvar?" Dahinya berkerut. "Jika tidak salah, aku pernah mendengar nama halaman Alvar. Aslan yang menyebutkannya, dia bertanya apakah aku tahu halaman Alvar atau tidak. Kapan-kapan kita akan mengunjungi halaman itu dan melihat kuburan Pangeran Ozza."  Sebastian berdiri, lelaki itu mendatanginya dengan raut wajah serius. "Aku merasa kau bukan hanya bisa melihat masa depan, tetapi juga bisa melihat masa lampau. Itu menandakan bahwa kekuatanmu bertambah." Tidak, Elina tidak yakin dengan perkataan Sebastian. Lelaki itu mengatakannya seolah-olah menyembunyikan sesuatu yang besar. Kenapa? Bukankah tujuan mereka sama? Membunuh Aslan. Tetapi ia tidak ingin mengungkitnya lebih jauh. Nanti ia akan mencari jawabannya sendiri.  Elina yakin ia melihat masa depan, bukan masa lampau, dan saat itu suara Pangeran Ozza terdengar seperti suara Sebastian. Apa hal ini ada sangkut-pautnya dengan Sebastian? Apa mungkin saja Sebastian adalah kembaran dari pangeran Ozza, makanya lelaki itu ingin membunuh Aslan? Ia menggeleng kecil untuk menghilangkan pikiran buruknya. Tentu saja itu tidak mungkin.  "Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Kau istirahatlah, aku akan mengabarimu waktu yang tepat untuk bisa bertemu di perpustakaan. Karena selama sakit ini Aslan berada di kamarku, membuatku sedikit tidak nyaman. Jangan masuk seenaknya." "Siap, ratu Alasjar." Sebastian mengejeknya, ia tahu itu.   "Karena kita berasal dari darah Dewa dan Dewi, aku bisa mendeteksi keberadaan mu di manapun kau berada. Aku bisa mendatangimu, atau kita bisa membuat semacam tanda jika ingin bertemu?" Elina terdiam beberapa saat. "Boleh juga, nanti kita pikirkan lagi. Aku pergi dulu, dah." Ia melambaikan tangannya. Dan Sebastian membalasnya. *** Saat Elina sampai di kamar, ia melihat Aslan berdiri di balkon. Lelaki itu menatap ke arah langit, saat mendengar langkah kakinya, lelaki itu langsung memasang wajah kesal. "Mengapa kau lama sekali?" tanyanya dengan suara ketus.  "Jangan salahkan saya, Yang Mulia.  Saya hanya membawa makanan Anda, para juru masak dan pelayan yang menyiapkannya. Karena saya tidak pernah membawa nampan seperti ini, langkah saya menjadi sangat kecil dan berhati-hati. Jika Anda ingin cepat, Anda bisa menyuruh orang lain, bukan saya.  Anda salah dalam memilih orang." Aslan berjalan mendekat ke arahnya.  "Jadi kau tidak mau dan merasa keberatan?" Elina meletakkan nampannya di atas meja. "Tentu saja saya tersanjung saat Anda menyuruh saya. Apalagi Anda raja Alasjar, yang perintahnya tidak boleh dibantah." Ia sengaja menekankan nada itu untuk menyindir Aslan, tetapi  tampaknya lelaki itu tidak peduli. Aslan berjalan mendekat dan mengambil satu kue lalu memakannya dengan sekali lahap. "Makanan ini tidak membuatku kenyang, yang paling membuatku kenyang adalah darah. Apalagi aku mendengar tabib istana mengatakan bahwa cara penyembuhan terbaik racun ini adalah darah seseorang." Elina menaikkan alisnya sebelah. Sepengetahuannya tabib istana tidak pernah mengatakan hal seperti itu, bahkan tabib istana menumpukkan padanya kesembuhan Aslan sepenuhnya. Elina tersenyum licik. "Saya takut tabib istana salah, Yang Mulia. Saya pernah mendengar dari para tabib lain, darah hewan juga bagus untuk menyembuhkan racun. Apakah Anda sudah pernah mencobanya? Darah hewan enak sekali." "Darah hewan katamu?" Lelaki itu mengatupkan bibirnya. Aslan tampak marah, tetapi mencoba untuk menahannya. "Darah hewan hanya untuk hewan yang lagi sakit, jika untuk seorang raja maka darah manusia yang paling lezat." Hmm, lelaki ini mengajaknya beradu pendapat. "Maaf, Yang Mulia, bukankah manusia tidak meminum darah? Mengapa Anda meminumnya? Apakah Anda sejenis vampir? Saya pikir vampir adalah hewan bertaring yang ada di dalam dongeng, tapi ternyata saya salah. Anda juga mempunyai taring dan menghisap darah saya. Apakah Anda salah satu vampir yang ada di dongeng dan melakukan reinkarnasi ke dunia saya?" Aslan mendekat dan mencekik leher Elina, lelaki itumenggeram. "Jaga ucapanmu, ada batas dimana kau boleh menyentuhku dan ada batasnya kau tidak boleh menyentuhku." Cekikannya semakin kuat, hingga kuku Aslan yang panjang terasa mengoyak kulit Elina hingga berdarah. Tidak ada yang mau dirinya menjadi makhluk semengerikan vampir, tapi Aslan harus terima kenyataan itu. Tidak banyak yang mengetahui dirinya melakukan pengobatan dengan darah manusia kecuali Borz. Selama ini pun ia belum pernah meminum darah manusia, ia menunggu waktu yang tepat untuk meminum darah wanita itu. Dan memang bukan sembarang darah yang bisa diminum, ia hanya bisa meminum darah dari wanita yang tidak pernah melakukan kesalahan selama hidupnya, dan juga darah wanita yang keturunan Dewa dan Dewi.  Tidak ada yang mau dirinya menjadi takdir yang menyakiti dan melukai orang lain, meskipun Aslan banyak  melukai dan membunuh seseorang, ia juga tidak mau dirinya menjadi seperti ini. Elina harus paham itu, tapi Elina  malah menjadi tidak sopan padanya dan bahkan mengolok-oloknya. Gadis itu menjadi sombong karena menjadi tempat Aslan menambah kekuatannya, dan juga gadis itu menjadi sombong karena selama sakit Aslan memilih menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Ia terlalu banyak memberi keistimewaan pada Elina, sehingga membuat gadis itu lupa siapa dirinya sebenarnya. "Bisa-bisanya orang sepertimu mengejekku, bisa-bisanya jiwamu yang tidak diterima bumi merusak dan merampas kehidupan seorang putri! Bisa-bisanya orang sepertimu berbicara tidak sopan padaku, dan bisa-bisanya mahkluk rendah sepertimu menempati kamar dan kemewahan seorang Ratu, yang  seharusnya itu semua milik Daviana. Kau sadar siapa dirimu sebenarnya? Apa aku perlu menyadarkanmu? Aslan terdiam, lelaki itu seperti menemukan ide baru. "Apa aku harus mengirimu ke ruangan bawah tanah agar bisa membuka kedua matamu?  Kau terlalu lancang padaku. Sebelah tangan Aslan merambat ke pergelangan tangan Elina, dengan sentuhan seringan bulu, laki-laki itu memutar tangan Elina, membuat tulang gadis itu berbunyi. Hal itu menandakan bahwa tulangnya patah.  Elina menjerit, ia tidak tahu bahwa Aslan akan semarah ini. Padahal ia pikir mereka tadi sedang bercanda, mungkin ia terlalu berlebihan, tapi ia sama sekali tidak berniat untuk meminta maaf. Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan ucapannya? Seharusnya Aslan berpikir bahwa tidak semua orang mau memberikan darah mereka, apalagi setelah menghisap darahnya lelaki itu tidak mengucapkan terima kasih sama sekali, malah meninggalkannya. Ia  terbangun keesokkan harinya dengan tubuh yang terasa sakit. Siapa yang mau memberikan darahnya untuk orang yang tidak tahu terima kasih seperti itu? Bukannya merasa takut, Elina malah mendongak untuk menentang Aslan. Dengan susah payah, ia berucap, "Apakah kau pernah berterima kasih padaku? Kau telah mengambil darahku, tetapi kau memperlakukanku sama seperti pelayan ataupun b***k-b***k yang lain. Jangan berpikir bahwa kau raja, kau bisa berbuat sesukamu. Kau harus bisa menghargai rakyatmu dan tidak berbuat semaumu. Aku juga punya hati yang harusnya kau jaga. Tanpa sadar ia malah berucap dengan nada non formal. Aslan semakin menguatkan cekikannya. Mungkin jika lelaki itu menambah sedikit lagi kekuatannya, ia akan mati di tangan lelaki itu. Tidak apa-apa, ia pernah mati di tangan Aslan, jika hari ini ia akan mati kembali di tangan lelaki itu, ia akan menerimanya. "Apa kau punya kata-kata terakhir yang ingin disampaikan? Aku sangat menyesal karena ini adalah hari terakhirmu melihat dunia. Jika kau mati aku tidak akan meminum darahmu lagi dan kau bisa tenang. Aku memberimu kehidupan yang damai, bukankah aku baik?" Elina berdecih. "Kau tidak pernah berubah, kau jadi ancaman bagi seluruh rakyat dan juga wargamu. Pada akhirnya kau menjadi raja yang tidak disukai rakyatnya." "Tau apa kau!" Aslan membentak. Kedua matanya menggelap. Aslan benar-benar akan membunuh dirinya, ia matanya bersiap-siap menerima hal terburuk. "Aku mempunyai satu keinginan, tolong selidiki bantuan yang kau kirim pada desa-desa terpencil. Di dunia ini yang kuat semakin berkuasa, dan yang lemah semakin diinjak, tapi apa kau tahu yang lemah tidak pernah menginginkan kehidupan yang seperti itu. Semuanya pasti ingin menjadi kuat dan berkuasa, tapi terlepas dari itu semua, yang kuat maupun yang lemah pasti menginginkan kehidupan yang damai dan tentram. Mencari makan untuk kehidupan sehari-hari dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Dari awal aku sudah bilang padamu bahwa aku bukanlah Putri Daviana, melainkan jiwa yang memasuki tubuh Sang Putri. Maaf jika selama ini aku bersikap seolah-olah menjadi ratumu. Maka dari itu, lakukan dengan cepat. Cekik aku hingga mati." Aslan baru saja ingin memenuhi keinginan Elina, dia benar-benar ingin mencekik Elina hingga mati, tetapi suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Terpaksa ia melepaskan tangannya. "Masuk," perintahnya. Tangan yang awal yang mencekik Elina, ia masukkan ke dalam saku. Sebastian masuk sembari tersenyum lebar. "Kudengar kau sakit." Lelaki itu terdiam sesaat, menatap penampilan Aslan dari atas hingga ke bawah, kemudian dia berucap lagi, "Keadaanmu baik-baik saja, kan? Aku diarahkan ke kamar ini, tapi sepertinya ini bukan kamarmu." Lelaki itu melirik ke arah Elina, dahinya berkerut, seolah-olah tidak mengenali gadis itu.  "Bukankah dia ..." Seketika raut wajah Aslan berubah malas. "Iya, benar," sahutnya ketus. "Sebaiknya kita pergi dari sini, aku juga sudah merasa baik. Tidak ada alasan lagi kenapa aku harus berada di sini." Sebastian menyambut dengan ceria. "Ide bagus itu, aku juga tidak nyaman berada di sini. Kau tahu sendiri, aku tidak terbiasa berbicara ada orang asing."  Aslan berbalik dan Sebastian mengikutinya, ketika sampai di ambang pintu, lelaki itu menoleh ke arahnya lalu mengedipkan sebelah matanya, mengatakan bahwa Elina harus membayar hutang nyawa, karena ia yang telah menyelamatkan wanita itu dari Aslan. Bisa-bisanya tadi ia mengira Sebastian benar-benar tidak mengenalinya. Ekspresi wajah lelaki itu benar-benar menjiwai. Elina memegang lehernya yang terasa sakit dan kebas. Ia berjalan ke arah cermin, menatapnya dari sana. Bentuk tangan Aslan menghiasi lehernya.  Sebenarnya tidak perlu mencari siapa yang salah, siapa yang benar, hanya perlu saling mengerti dan memahami. Aslan memang salah karena berbuat kejam dan tidak pernah berterima kasih atas bantuan seseorang, tetapi bukan berarti Elina bisa melontarkan ucapan yang menyakitkan.  Karena tidak ada yang mau ditakdirkan menjadi monster, semua pasti mau menjalani kehidupan yang baik-baik saja dan damai. Tetapi mereka harus tahu, bahwa tidak ada kehidupan yang baik dan damai di dunia ini. Pikiran Elina menerawang, ia mengingat ayahnya yang dahulu. Saat melihat tanaman obat-obatan dan juga obat racikannya sendiri, ia selalu mengingat ayahnya. Ayahnya memang seorang petani biasa, tapi ayahnya pernah mempelajari obat-obatan dan bahkan menjadi tabib.  Untuk hal yang tidak bisa dipahami oleh Elina, ayahnya memilih untuk mengobati para warga tanpa dibayar. Lelaki itu lebih senang menjadi petani, katanya petani adalah pekerjaan paling mulia, padahal menurut Elina sendiri, tabib adalah pekerjaan yang paling mulia. Ayahnya banyak mengajarkannya tentang tanaman-tanaman yang bisa digunakan untuk menjadi obat, mungkin jika terus terus ditekuni, ayahnya bisa menjadi seorang tabib yang terkenal. Bahkan mungkin saja menjadi tabib istana, tabib istana adalah gelar yang paling tinggi pada seorang tabib.  Jika sudah menjadi tabib istana, maka dialah yang menjadi atasan dari semua para tabib. Kehidupannya akan terjamin, perkataannya dipercayai. Dan memiliki tempat yang paling dekat dengan raja. Dahulu Elina sangat menyayangkan hal ini. Mengapa ayahnya memilih jalan yang berbeda.  Jika saja ayahnya menjadi tabib istana maka kehidupan mereka akan baik-baik saja, ayah dan ibunya tidak akan mati karena prajurit Alasjar, adiknya juga pasti masih hidup, tapi memang semua pilihan itu berada di tangan ayahnya. Dan saat ini Elina menyadari bahwa pilihan ayahnya tepat. Menjadi tabib istana bukanlah suatu hal yang mudah seperti yang dipikirkannya dahulu, jika salah satu anggota kerajaan sakit maka dia harus dan wajib menyembuhkannya. Jika tidak bisa menyembuhkan, maka keluarganya dan tabib itu sendiri akan dibunuh dan digantung di depan para rakyat. Dituduh telah membunuh anggota kerajaan.  Mungkin ada sebagian yang menerima takdir bahwa salah satu anggota kerajaan meninggal, tetapi itu tidak banyak. Mereka yang berkuasa pasti cenderung menyalahkan orang lain dan merasa dirinyalah yang paling benar. Padahal, mereka telah mengambil dan merampas kehidupan seseorang dan berbuat tidak adil, tetapi apa pun itu, meskipun menjadi tabib atau pun petani, takdir ayahnya tetaplah menjadi miliknya sendiri. Tidak ada yang bisa menjamin kehidupan mereka ke depannya bagaimana. Elina menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia menangis terisak. Ia merindukan kehidupan yang dahulu, sewaktu ia kecil. Bermain dengan adiknya, lalu membantu ayahnya menanam jagung dan juga beberapa bahan pokok yang lain, lalu pulang dengan ke rumah dan ibunya menyambut dengan senyuman. Ia benar-benar merindukan kehidupan itu, bukan kehidupan yang saat ini dijalaninya. Penuh dengan balas dendam, sibuk mengembangkan kekuatan untuk mengalahkan seorang raja yang notabene adalah suaminya sendiri. Ia selalu berhati-hati dalam bertindak, hidup di kerajaan memang tidak menyenangkan. Entah sudah berapa kali Elina ingin mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi Dewa dan Dewi memberinya kehidupan yang kedua, itu menandakan bahwa mereka belum membiarkannya menyusul keluarganya.  Bersambung ...

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN