Kejutan Yang Gagal

576 Kata
"Mama, Papa ada dinas diluar lagi ya?" Pertanyaan dari Rinjani membuatku yang tengah menatap lilin di hadapanku seketika tersentak, lilin kecil tersebut sudah sepenuhnya habis terbakar diatas kue ulang tahun kecil yang tadi sore memang sengaja aku dan putri kecilku ini buat, namun seorang yang tengah kami tunggu tidak kunjung datang. Terlalu lama menunggu membuatku meminta Rinjani tidur lebih dahulu, hal yang dituruti Rinjani dengan sangat terpaksa karena sebenarnya dia ingin sekali menunggu Papanya pulang untuk memberikan kejutan bersamaku seperti rutinitas kami setiap tahunnya, tapi tahun ini sepertinya berbeda. Tidak, suamiku tidak sedang ada dinas diluar secara resmi. Tapi semenjak pagi tadi dia keluar seperti biasa melakukan tugasnya sebagai seorang Komandan Kompi, normalnya Mas Juan akan kembali tadi sore tapi rupanya sampai jam di tanganku menunjukkan pukul pukul 1 dinihari dia sama sekali tidak ada pulang. Tidak terhitung berapa banyak telepon dan pesan yang aku berikan, namun sayangnya semuanya diabaikan seperti pesan-pesanku yang lainnya. Hampir selama 6 bulan ini aku merasakan perubahan hebat di diri suamiku. Bukan hanya sekarang dia yang menjadi sangat dingin tanpa ada lagi kata-kata mesra, dia pun lebih sibuk diluar dibandingkan di rumah, tidak hanya itu intensitas hubungan kami di atas ranjang yang biasanya begitu hangat pun nyaris terabaikan. Jika biasanya rutinitas hubungan seks diantara kami cukup bagus 2 sampai 3 kali seminggu, namun beberapa waktu ini nyaris satu bulan penuh Mas Juan tidak menyentuhku. Awalnya aku berpikiran jika mungkin suamiku tengah capek dengan segala tugas dan tanggung jawabnya karena aku tahu menjadi Danki tidaklah mudah, mengurus satu kompi dengan puluhan kepala tentu memiliki tanggung jawab yang besar, tapi sekarnag di hari ulang tahunnya ada jarak yang begitu kentara Mas Juan ciptakan. Terlalu jelas bagaimana dia mengabaikanku dan membuat rumah tangga kami begitu dingin. "Papa sekarang sibuk banget ya, Ma? Sampai-sampai nggak ada waktu sama kita, padahal Jani lihat Papa kalau sama Om-Om dan juga Tante Mentari ketawa-ketawa di tempat latihan tapi sama kita malah kayak lupa. Biasanya kalau Papa ulang tahun pasti kita makan malam istimewa diluar, tapi sekarnag udah susah-susah kita buatin kue Papa malah nggak pulang." Sakit, rasanya sangat sesak mendengar keluhan dari gadis kecilku berusia 7 tahun ini, lihat, bukan hanya aku yang baper dengan sikap acuh suamiku yang hanya menjadikan rumah ini tempat singgah semata, putri kecil kami pun merasakannya. Dan ini membuat rasa sakit hatiku berkali-kali lipat. Rumah ini sebelumnya penuh dengan tawa, lengkap pula dengan kehangatan diantara kami bertiga, tapi sekarang rumah ini bagai sebuah bangunan tak berarti yang menyedihkan. "Jani sedih tahu lihat Mama bengong kayak tadi. Kenapa Papa sekarang berubah, Ma? Jani nggak suka Papa yang kayak gini." Aku ingin menangis karena kecewa namun semua rasa ini harus aku telan bulat-bulat karena Rinjani tidak boleh melihat kesedihanku. Hebatnya seorang ibu, ya. Semuanya bisa di pendam sesakit apapun itu di depan anaknya. Tidak ingin Jani semakin sedih aku memeluknya pelan sebelum akhirnya aku menangkup wajah cantiknya, ya bagaimana tidak cantik jika dia adalah duplikatku dan Mas Juan secara sempurna, sayangnya kini wajah cantik tersebut tampak mendung penuh kesedihan. "Papa cuma sedang sibuk, Nak. Nanti kalau Papa sudah nggak sibuk lagi, Papa juga akan sering di rumah lagi. Sekarang Jani bobok ya, besok sekolah, jangan sedih. Anak Mama sama Papa nggak boleh sedih." Ya, sesakitnya hatiku akan aku simpan semuanya sendiri. Aku mengira hal-hal yang tengah terjadi hanyalah kerikil kecil yang akan menjadi batu sandungan, siapa mengira jika kini kerikil-kerikil ini semakin tajam dalam melukai kakiku dan membuat jarak yang besar diantara aku dan suamiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN