Sebagus Apa Dia?

659 Kata
"Apaan sih kamu ini, Dek? Diomongin begitu saja baper! Pakai ungkit-ungkit semuanya. Sudah jadi kewajiban istri buat bantu suami. Lagipula memang kenyataannya kan kalau kamu kumpul sama rekanku nggak akan paham." "Bukan aku ngelarang kamu kumpul sama teman atau atasanmu, Mas. Tapi ya nggak harus pas momen ulang tahun gitu loh. Kasihan si Jani yang sudah nyiapin kue buat kamu." Aku mencoba bersabar, memanjangkan ususku ini agar bisa bersikap biasa-biasa saja di hadapannya. Aku penasaran mau sejauh apa suamiku ini berbohong mengelak dari perselingkuhannya. Aku ingin tahu alasan-alasan konyol apa yang ingin dia kemukakan untuk menutupi kebusukan yang sudah dia lakukan semalam. "Halah kamu ini Dek, Dek, anak terus yang kamu jadiin alasan dari dulu." Jawabnya acuh sembari berlalu masuk ke dalam rumah, sepertinya dia malu berdebat di depan rumah yang bisa saja di dengar tetangga, tahu sendiri jika rumah dinas di asrama dindingnya setipis kulit bawang. Teriak dikit kedengaran sampai rumah Danyon. Manusia yang sedang gila status seperti suamiku ini tentu tidak ingin imagenya rusak. "Itu mah akal-akalan kamu biar bisa ikutin aku terus." Cibirnya lagi, sungguh aku benar-benar tidak habis pikir dengan suamiku yang kini dengan begitu entengnya menghinaku. "Lah ikut sama suami sendiri apa salahnya." Balasku tidak mau kalah. "Seingatku dulu kamu nggak pernah keberatan aku sama Jani ikut kemanapun selama kamu nggak pakai seragam. Lagipula ngapain juga kumpul-kumpul sampai nggak pulang segala? Apa pula yang kalian omongin sampai semalam suntuk?" "Apa maksudmu? Cuma karena aku nggak pulang semalam kamu nuduh aku yang nggak-nggak? Harus banget aku jelasin semua obrolan aku semalam? Memangnya perempuan yang tahunya lakban sama kardus kayak kamu paham masalah militer sampai-sampai kamu nyecer aku kayak gini hah? " Balasnya dengan mata memicing tidak suka, tidak hanya memberikan pelototan kepadaku, telunjuk itu hinggap mendorong pelipisku seakan otakku begitu bebal hingga tidak paham dengan apa yang dia sampaikan. "Jadi istri yang kerjanya di rumah kayak kamu ini mending diam saja, nggak usah banyak tahu, kecuali kamu Kowad macam Tari, baru pantas kamu kepo. Aku jelasin pun juga bakal paham." Aku berdiri di hadapannya dengan senyuman mengejek menutupi sakit hatiku mendapati nama panggilan Mentari di sebut oleh suamiku dengan penuh damba. Belum lagi dengan fakta menyakitkan soal suamiku yang menoyor pelipisku. Sepertinya malam yang sudah di lalui suamiku usai candle light dinner yang di siapkan Putri Jendral Gatal tersebut begitu berkesan sampai-sampai suamiku tanpa sungkan menyebut namanya. Seperti keceplosan dan menyadari kesalahannya, suamiku tersebut menggigit bibirnya pelan seakan merutuk mulutnya yang tidak bisa mengerem menyebut nama selingkuhannya di depan wajahku. Seharusnya saat itu aku marah dan mencak-mencak saja sekalian, namun kewarasanku untuk membalas semua sikap buruk suamiku membuatku bersabar. Yah, sepertinya aku harus mengapresiasi diriku sendiri karena mampu bertahan di kondisi hati sudah meledak-ledak penuh kemarahan dan kecewa. "Sejak kapan Mas dekat sekali sama Letnan Mentari sampai manggil nama panggilan doang? Lagian kenapa ujug-ujug Mas bandingin aku sama letnan Mentari? Nggak usah Mas kasih tahu aku juga ngerti kalau soal militer ya pasti lebih paham letnan mentari, bukan masalah baper atau nggaknya. Tapi pantas nggak Mas bandingin istri Mas sama anggota Mas?" Wajah Mas Juan mengernyit tidak suka, jelas sekali dia kesal karena aku terus menerus mendebatnya. Suruh siapa dia menyebut nama selingkuhannya tepat di depan wajahku. Aku bisa bersabar untuk tidak menghantam kepala cepaknya dengan batako namun aku tidak bisa menahan lidahku untuk mengeluarkan kalimat sarkas. Mas Juan, dia seharusnya tahu jika aku sudah membenci seseorang maka sampai kiamat pun aku akan terus mencacinya. Aku ingin lihat sejauh mana dia memuja selingkuhannya itu. "Ya namanya komandan sama anggotanya ya wajarlah Dek kalau Mas dekat sama dia? Nggak usah baper atau macam-macam. Jangan malu-maluin Mas pakai acara cemburu segala sama Mentari, kamu sama Mentari itu beda jauh." Ehhhh, eeeehhhh ini manusia ya. Nggak sadar dirinya nggak kira-kira ya. "Apaan sih Mas kamu ini, dari tadi ngomongin Mentari terus. Suka kamu sama dia? Harus banget namanya kamu sebut terus di depanku? Sebagus apa sih dia sampai kamu kayak kegilaan sama dia sampai nyakitin aku kayak gini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN