Luka ini tidak akan pernah sembuh. Apalagi saat takdir menimpanya dengan kenyataan pahit yang baru.
***
Saat ini langit tengah bergemuruh hebat di luar sana. Dibarengi dengan kilat dan hujan yang turun dengan deras sehingga menciptakan kabut putih.
Untuk kesekian kalinya, pukulan itu mendarat di rahang seorang cowok berambut hitam yang sudah terkapar lemas di lantai dengan wajah babak belur.
"PAPA NGGAK PERNAH MENGAJARKAN KAMU UNTUK BERBUAT HAL MENJIJIKAN SEPERTI ITU, GENTA!!"
Bugh!
Satu pulukan lagi cowok bernama Genta itu terima. Genta memejamkan matanya saat matanya memburam. Tubuhnya terasa kebas dan sakit disana-sini.
"Mas, udah. Genta udah nggak berdaya." Seorang wanita paruh baya memegang tangan suaminya agar berhenti memukul Genta.
Sebagai seorang ibu, kekecewaan yang ia rasakan lebih besar dari siapa pun. Ina tidak pernah sekali pun membayangkan hal ini akan terjadi.
Genta memperkosa seseorang.
"ANAK NGGAK TAU DIRI KAYAK DIA PANTAS MENDAPATKAN INI SEMUA! DIA SUDAH BIKIN MALU KELUARGA PRADIPTA!!"
"Tapi udah, Mas. Aku mohon." Suara Ina berubah lirih.
Bagaimana pun Genta membuatnya kecewa, ia tidak tega jika harus melihat Genta babak belur seperti ini. Ina tidak ingin Genta mati konyol sebelum mempertanggungjawabkan apa yang telah dia lakukan.
Damar menarik kerah baju Genta, membuat Genta tertarik begitu saja tanpa bisa melawan. Laki-laki paruh baya itu menyeret Genta keluar, mengabaikan jeritan istrinya yang memintanya berhenti.
"Pergi kamu dari sini. Cari perempuan yang sudah kamu hamili itu dan tanggung jawab, Genta!"
Genta dengan susah payah bangkit sebelum Damar menendangnya lebih jauh lagi.
"Dia Eleanor."
Hanya itu yang keluar dari mulut Genta. Ia tidak punya banyak tenaga untuk melakukan hal lebih.
Dua kata yang keluar dari mulut Genta cukup untuk menambah kekecewaan yang sebelumnya ia buat. Dan itu membuat Ina terduduk lemas di ambang pintu.
Eleanor, gadis yang tinggal di sebrang rumah mereka. Anak dari seseorang yang Damar dan Ina hormati.
Damar siap melayangkan pukulannya untuk Genta. Tapi sebelum itu terjadi, Ina terlebih dulu menghentikannya dengan memeluk kaki Damar dan memohon.
"Berhenti, Mas." Ina menggeleng. "Jangan sakiti Genta lagi."
Damar menghela napasnya kasar. Ia berjongkok untuk menenangkan istrinya.
"Genta anak kita tidak seperti itu, Ina."
Ina menggeleng samar. "Genta, dia anak kita, Mas. Tolong jangan sakiti Genta lagi," ujarnya. Wanita itu kemudian beralih menghampiri Genta yang mencoba untuk tersadar dan membuka matanya.
"Genta, Mama obatin luka kamu ya, Sayang."
Genta menggeleng samar. "Maafin Genta udah bikin Mama kecewa," ucapnya lirih.
Ina mengusap wajah Genta yang penuh darah dengan hati-hati. "Mas, ayo bawa Genta kedalam. Aku harus ngobatin lukanya, Mas."
Damar menatap Ina dan Genta dengan datar. "Kita harus ke rumah Pak Henry."
***
Di sinilah Genta berada. Berlutut di depan kedua orangtua Eleanor.
"Elea, benar apa yang dikatakan Pak Damar dan Genta?"
Elea hanya diam dan menangis dipelukan Ibunya.
Melihat wajah Genta, membuat Elea mengingat kejadian mengerikan satu bulan yang lalu. Kejadian yang membuat hidupnya hancur seketika.
"JAWAB!!" bentak Henry.
"Apa benar, Elea?" tanya Ami, Ibunya dengan nada lembut.
Elea semakin mengeratkan pelukannya. Dia ketakutan.
"Saya minta maaf atas perlakukan Genta kepada Eleanor, Pak. Saya baru tau kejadian ini tadi," ujar Damar yang duduk di depan Henry.
Pria itu menghela napasnya pelan. "Mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur dan Genta harus tanggung jawab atas perbuatannya."
"Saya akan pastikan jika Genta akan bertanggung jawab."
"Genta dan Elea harus segera menikah," ucap Henry.
Elea langsung menoleh dan menggeleng. "NGGAK!" jeritnya.
"KAMU PIKIR KAMU BISA MENGURUS BAYI ITU SENDIRIAN?!"
Elea menggeleng sambil memegang tangan Ibunya. "Elea nggak hamil, Ma. Elea nggak hamil," katanya seraya terisak.
Ami hanya menatap Elea tanpa mau berucap apapun.
"KAMU PIKIR MAMA DAN PAPA SEBODOH ITU BISA KAMU TIPU?!" Lagi-lagi Henry membentaknya. Pria paruh paya itu menarik tangan Elea dan mendaratkan tamparan di pipi kanan Elea.
Elea tidak cukup pintar untuk menyembunyikan kehamilannya pada orang yang sudah lebih dulu berpengalaman. Walau perutnya masih rata, tapi ciri-ciri yang ditunjukkan Elea cukup membuktikan jika gadis itu tengah hamil.
Genta yang sedari tadi diam kini bergerak. Ia memegangi dadanya yang sakit dan menghampiri Henry.
"Jangan sakiti Elea, Om," ucap Genta pelan.
"Setelah kalian menikah, Papa tidak ingin melihat kamu di rumah ini lagi!"
"Papa!" tegur Ami.
Elea menggeleng. Ia berlutut dan memegang kaki Henry. "Pa, jangan usir Elea Pa. Elea mohon."
"Papa, Mama mohon jangan kayak gini sama Elea," ucap Ami. "Bagaimana pun juga, Elea anak kita."
"Dan setelah Elea menikah dengan Genta, Elea bukan lagi tanggung jawab kita!" ujarnya tajam. "Nanti malam pernikahan kalian. Kamu Genta, bersihkan luka kamu!"
Elea menggeleng. Ia menolak mentah-mentah keputusan ayahnya itu. "Nggak, Pa. Elea nggak mau!"
***
Bagaimana pun akhirnya, Elea tetap tidak bisa mengelak.
Seperti sekarang, statusnya yang sudah sah menjadi seorang istri Genta Pradipta tidak bisa ia bantah lagi. Ijab kobul yang diadakan satu jam yang lalu telah merubah hidupnya untuk yang kedua kalinya.
Pernikahan yang jauh dari impiannya. Pernikahan yang hanya di hadiri orangtua mereka, dua orang tetangga mereka yang menjadi saksi dan seorang penghulu. Elea bahkan hanya memakai pakaian yang ia punya, bukan gaun seperti impiannya.
Bukan pernikahan seperti ini yang Elea impikan. Bukan hidup seperti ini yang Elea rancang selama ini. Hidup bersama b******n seperti Genta juga juga bukanlah impian hidupnya.
"Om, tolong biarkan Elea tinggal di sini. Seenggaknya, sampai Genta dapat rumah untuk kami berdua., ujar Genta.
"Saya beri kamu waktu sampai lusa," ujar Henry. Setelah itu ia pergi tanpa kata.
Genta mengangguk tanpa bisa membantah lagi. Ia melirik Elea yang masih menangis dipelukan Mamanya.
Maafin gue, Lea.
"Nak Genta, lebih baik kamu pulang dulu sekarang. Obatin luka kamu jangan sampai infeksi," ujar Mama Elea.
"I-iya Tante."
"Mama. Panggil aja Mama. Kamu, kan, sudah jadi suami Elea."
Genta tersenyum tipis. Ia lantas mengangguk dan berdiri. "Genta pamit dulu. Titip Elea, Ma," ucapnya. "Elea, gue pulang dulu."
Sejak kejadian itu, Elea tak pernah meresponnya. Genta menghampirinya pun, Elea selalu menghindar.
Genta menghela napasnya. Ia tidak akan menyerah soal Elea. Ia sudah bertindak sejauh ini demi Elea.
Saat Genta masuk ke rumahnya, ia langsung mendapati barang-barangnya yang ada di ruang tengah.
"Papa tidak ingin melihat kamu ada di sini. Pergi sekarang juga dan lakukan tanggung jawab kamu terhadap Elea."
Genta memejamkan matanya sebentar. Ia lalu menatap Ina yang sudah menangis menatapnya. Genta tersenyum dan menghampiri Ina.
"Mama jangan nangis."
Ina menggeleng. "Jangan pergi, Sayang."
Genta tersenyum. "Titip barang-barang Genta sebentar ya, Ma. Genta harus cari rumah dulu buat Elea."
Ina menggeleng lagi. "Jangan pergi."
Genta memeluk Ina sebentar, merasakan hangatnya pelukan Ina yang nantinya akan ia rindukan.
"Genta sayang Mama."
***