4. Dua Teman Baru

1547 Kata
Hari ini sungguh melelahkan. Bukan hanya secara fisik, batinku ikut tertekan karena kejadian buruk yang kualami tadi. Sepulang dari taman, seusai mandi, aku merebahkan diri ke ranjang. Fitri, adikku, ikut menemaniku tidur. Dia terlelap dulu dibanding diriku. Aku memandang wajahnya yang sama persis denganku, namun dalam versi mungilku. “Kita seperti anak kembar saja kalau besarnya sama,” gumamku sembari mengelus rambut lembut Fitri. Miris sekali jika mengingat adikku menderita penyakit gagal tumbuh kembang. Seandainya normal, pasti dia sekarang telah menjadi gadis remaja yang cantik. Entah kapan aku tertidur, perasaan baru saja aku terlelap … samar-samar kudengar suara musik asing di telingaku. Bukannya ini lagu yang dulu sering dipakai orang zaman dahulu untuk berdansa? Kudengar suara gelak tawa dan denting gelas berpadu dari ruang tengah. Kulirik jam dinding kuk-kuk di dinding kamarku. Pukul 02.00 dini hari. Rasanya tak mungkin Papa dan Mama mengadakan pesta di waktu begini. Jantungku berdegup kencang karena merasa kejanggalan ini, namun rasa penasaranku mengalahkan ketakutanku. Aku bangkit berdiri lalu mengendap mendekati asal suara. Mataku membelalak menyaksikan suasana pesta di ruang tengahku. Mengapa rumahku berubah megah dan indah seperti ini? Dan yang lebih aneh, banyak bangsawan Belanda hilir mudik di ruangan ini. Mereka mengenakan pakaian mewah dan indah seperti yang sering kulihat di film kuno. Gaun-gaun yang mengembang seperti kurungan ayam, rambut yang disanggul tinggi, dengan kipas-kipas bulu yang bergoyang gemulai. Aku menatap takjub pada nyonya-nyonya Belanda yang sibuk berdansa dengan pasangannya. Kukira tak ada yang menyadari kehadiranku. Atau mungkin mereka tak peduli padaku. Namun anggapan itu gugur begitu merasakan ada yang menarik celana tidurku. Aku menunduk dan menemukan ada nonik belanda kecil yang memandangku memelas. “Kakak, dimana Papaku?” Mengapa dia menanyakan padaku? Padahal aku tak mengenal papanya. Kutunjuk kerumunan orang-orang yang sibuk berdansa itu. “Mungkin dia disana.” Nonik kecil itu menggeleng kecewa. “Papa tak mungkin disana. Dia tak suka berpesta.” “Lah terus mengapa kamu disini?” “Ini rumah Lince. Yang bikin pesta Mami tiri.” Kini aku yakin yang kulihat adalah hantu-hantu Belanda gentayangan, dan Lince adalah salah satu dari mereka. Tapi dia manis, tak seperti setan yang kulihat sebelumnya. “Hati-hati, Mami kemari! Dia jahat!” cetus Lince ketakutan. Dia menarik tanganku, lalu membawaku berlari meninggalkan ruangan pesta. Aku sempat menoleh untuk melihat seperti apa penampakan mami tiri Lince. Dia cantik, berwajah kaku dan keji. Senyumnya terlihat kejam menghiasi wajah cantiknya. Aku bergidik lalu mengalihkan tatapanku ke tempat lain. Lince membawaku kembali ke kamarku. Fitri masih terlelap diatas ranjang. Lince ikut mengamati Fitri. “Dia adik Kakak?” Aku mengangguk mengiyakan. “Apa kau mengenal keluargaku? Mengapa kau tinggal disini?” tanyaku penasaran. “Ini rumah Lince. Sebelum ini Lince tak tahu kalian. Saat kalian pindah kemari, Lince jadi sering lihat kalian.” Jadi, dia adalah penunggu rumah ini! Aku tak keberatan karena kulihat dia baik dan manis. Untung penunggu rumah kami bukan hantu jahat yang mengerikan. “Lince akan melindungi kalian, tapi Kakak bisa membantu Lince?” “Bantu apa?” tanyaku langsung. “Lince ingin menemukan Papa.” Dia sangat merindukan ayahnya. Keharuan menyeruak dalam hatiku. Aku pasti akan menolongnya! *** “Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kalian.” Bu Mila melirikku penuh arti, dia memberi kode padaku untuk memperkenalkan diri. Guruku yang berjilbab itu terlihat tegas namun kalem. Sepertinya dia sosok guru yang menenangkan. “Hai, saya Fara. Pindahan dari kota S. Semoga kita semua bisa berteman dengan baik.” Respon yang kuterima cukup baik. Mereka menatapku bersahabat, beberapa ada yang memandang kagum padaku. Mungkin mereka mengira anak pindahan dari kota terkesan lebih eksklusif, Padahal tidak begitu juga, kan. Yang penting pembawaan kita. Aku berusaha bersikap seramah mungkin untuk menunjukkan niat baik ingin berteman dengan mereka. “Fara, kamu boleh duduk di bangku belakang yang kosong itu.” “Terimakasih, Bu.” Aku duduk dengan perlahan, diikuti oleh makhluk tak kasat mata yang duduk di sebelahku. Aku terkejut melihatnya. “Lince, mengapa kamu ikut kemari?” bisikku lirih. Aku tak ingin orang menatapku aneh karena aku bicara sendiri. Mereka pasti tak bisa melihat Nonik Belanda berambul pirang yang menyertaiku. “Lince bosan di rumah, Kak. Ingin juga sesekali cuci mata di luar,” jawab Lince sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. “Eh, ada cowok cakep diluar!” Aku tersenyum geli melihat tingkah Lince. Ternyata meski hantu dia tetap saja cewek ganjen yang suka melihat cowok tampan. Di bangku belakang, aku duduk sendiri. Seorang gadis yang duduk di depanku menoleh dan tersenyum lebar padaku. “Hai, Fara. Aku Anjani, panggil saja Ani. Boleh aku berkenalan dengan temanmu?” pintanya sopan. Sebelah alisku naik mendengar permintaan aneh itu. “Bukannya di kelas ini semua adalah teman kita bersama? Malah aku yang murid baru loh.” Ani, teman baruku yang rambut panjangnya dikepang dua, tersenyum geli seraya menunjuk bangku kosong di sebelahku. Tempat dimana Lince duduk. “Yang kumaksud dia.” Mataku membola kaget, setelah memastikan tak ada yang memperhatikan kami, aku bertanya sangat lirih pada Ani. “Kamu bisa melihatnya?” Ani mengganguk. “Kebetulan keluargaku punya kemampuan khusus.” Kami tak sempat melanjutkan pembicaraan, perhatian kami teralihkan pada ketukan pintu di depan kelas. Tok. Tok. Tok. Semua mata gadis di kelasku menatap antusias pada sosok yang baru masuk ke kelas kami. Kuakui penampilannya sangat keren. Dia tampan dan amat modis, seperti selebritis. Dengan rambut yang tertata modis, dan pakaian keren yang menempel di tubuhnya … siapa yang tak terpesona melihatnya? “Kak, mengapa dia gak memakai seragam?” tanya Lince heran. “Itu tadi yang Lince bilang ada cowok cakep. Kirain gak sekolah disini karena gak pakai seragam.” “Mungkin seragamnya belum jadi,” bisikku lirih. Aku merasa jengah ketika mendadak cowok yang baru masuk itu menoleh padaku dan menatapku lekat. Senyumnya merekah begitu aku balas memandangnya heran. Aku terpaksa tersenyum kikuk menanggapinya. Apa ada yang aneh pada diriku? Mengapa dia melihatku seperti itu? “Anak-anak, hari ini bukan hanya satu orang … kalian mendapat dua teman baru. Aditya, bisa kamu memperkenalkan diri pada teman-temanmu?” “Ih, giliran yang cowok … Bu Guru langsung ingat namanya. Tadi dia gak sebut nama Kakak loh,” protes Lince. Aku mendiamkannya karena bagiku itu tak penting, lagipula aku tak ingin dianggap aneh kalau keseringan bicara sendiri. “Nama saya Aditya Dimas Trianggoro. Panggil saja Adit. Maaf, terlambat karena tadi menunggu kiriman seragam yang ternyata belum jadi. Ohya, senang berkenalan dan bersekolah disini.” Perkenalannya sungguh simpatik. Apalagi senyum cerah tak berhenti dia lontarkan pada kami. Kurasa Aditya akan menjadi idola baru di sekolah ini. Lihat, mata semua gadis berbinar menatapnya. Kecuali aku dan Ani yang bersikap biasa saja. “Adit, kamu bebas duduk di bangku kosong yang belum ditempati,” kata Bu Mila pada murid baru favoritnya. “Ohya, begitu seragam sekolahmu tersedia kamu harus segera memakainya supaya gadis-gadis ini tak menatapmu seperti melihat artis,” canda beliau. Adit tersenyum manis pada deretan pengagumnya. “Baik, Bu. Dan terimakasih buat semuanya. Saya bukan artis, saya hanya murid baru di sekolah ini. Mohon bimbingannya.” Dia rendah hati dan ramah. Sikapnya sangat menyenangkan. Aku sempat mengiranya flamboyan dan suka mencari perhatian. Kurasa pendapatku salah. Dia baik, hanya suka berpenampilan modis. Tak ada salahnya, kan? “Boleh duduk disini?” Aku tak menyangka Aditya bicara padaku. Disebelahku sudah ada Lince. Ups! Aku meneput jidatku lembut. Tentu saja dia tak dapat melihat hantu nonik belanda itu. Lince menatapku bersemangat. “Kakak, gak apa kalau cowok secakep ini duduk di pangkuan Lince. Lince kuat kok!” Aku memutar bola mata padanya. Sudah jadi hantu, centilnya masih tak berkurang. Eh darimana aku tahu dulu semasa hidup Lince juga centil? Hanya menebaknya sih. “Boleh?” ulang Aditya. “Eh, itu ….” Aku mengusap tengkukku karena Lince mencubit gemas disana. “Ada yang menempati disana,” sela Ani dengan tatapan tetap tertuju ke depan. Aditya melirik dengan kening berkerut. “Bukannya itu bangku kosong?” Namun dia tak memaksa, Aditya beralih ke bangku lain yang berada di sebelahku lain namun kami tak sebangku. Tak sadar tatapanku mengikutinya. Seharusnya di sebelah Aditya kosong, aku terkesiap kaget ketika tahu ada yang menempati bangku kosong itu. Dia makhluk tak kasat mata lainnya. Penampilannya mengerikan dalam seragam sekolah yang lusuh, kotor dan berdarah-darah. Ada luka memanjang di wajahnya, dari mata hingga ke bibirnya. “Kakak, ada hantu jahat!” bisik Lince ketakutan. Ada hantu takut hantu. Andai tak sedang merasa tegang, aku akan menggoda Lince seperti itu. Aku mengabaikannya karena perhatianku tersita pada hantu cowok berseragam yang menatap marah dengan mata memerah pada Aditya. “Lince, pindah,” gumamku sangat lirih. “Apa? Mengapa?” tanya Lince tak terima. Aku memegang lengan Aditya dan menariknya berdiri. “Kamu boleh duduk sebangku denganku,” kataku cepat saat Aditya memandangku heran. Tanpa bicara Aditya pindah ke bangku sebelahku. Untung Lince mau mematuhiku. Dia berdiri dengan muka masam karena kehilangan kesempatan untuk memangku si tampan Aditya. “Mengapa kamu mendadak memintaku pindah?” cetus Aditya yang ternyata penasaran dengan tindakanku tadi. Karena penghuni bangku kosong di sebelahmu marah padamu. Aku takut dia berniat mencelakaimu. Tak mungkin aku mengatakannya seperti itu. Jadi aku hanya tersenyum kikuk padanya. “Aku hanya merasa tak enak hati menolakmu tadi.” Semoga Aditya percaya alasanku. Perhatianku segera teralihkan pada penghuni bangku kosong yang kini menatapku marah. “Awaas! Kamu merusak kesenanganku!” Ya Allah, apa dia sedang mengancamku? Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN