Bab 16 Jangan Berteman Dengannya

1727 Kata
“Parah, Bro, lo mau mati kenapa nggak bilang-bilang?” Nugie. “Iya, Bro. Walaupun lo mau mati, lo harus pamitan dulu sama kita.” Wiki. “Besok-besok, kabarin dulu kalau mau mati. Lo masih punya utang ke gue.” Ramli. Awan turut berduka atas tewasnya akhlak ketiga sahabatnya ini. “Tapi, ntar kalau lo mati, lo mau dibawain bunga apa, Bro? Bunga bangkai sih, yang paling cocok buat lo,” lanjut Nugie. RIP akhlaknya Nugie. “Kalau suatu hari nanti kalian mati, gue bakal tebarin seledri sama bawang goreng ke makam kalian. Biar jadi bakso kalian semua!” sembur Awan. Seketika ketiga teman Awan terbahak-bahak. “Gue kuahnya dikit,” pesan Ramli. “Gue yang pedas banget,” tambah Wiki. “Oke, gue pesan bakso dulu.” Nugie mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi ojek online. Awan geleng-geleng kepala. “Lo mau bakso kerang, Bro?” tawar Nugie dengan kurang ajarnya. “Mumpung lagi di rumah sakit, kalau ada apa-apa kan aman. Lumayan, jalan-jalan bentar ke alam sana.” Awan mengangkat tendangan ke mulut Nugie, tapi Nugie mundur dan tergelak. “Awan emang greget. Jauh-jauh mau pergi ke alam sana, eh ditolak, disuruh balik ke sini lagi,” kata Wiki. “Ya, soalnya masih ada utang sama gue,” sahut Ramli. Mereka bertiga kembali tergelak. Lalu, terdengar deheman keras dari sofa di sisi ruangan. Awan dan ketiga temannya menoleh ke sana. Adel menatap tajam ke arah mereka. “Kalau kalian udah selesai, kalian boleh pergi. Dia masih butuh istirahat,” tukas wanita itu. Ketika ketiga temannya menatapnya, Awan menjawab, “Nggak usah didengerin. Kita jangan temenan sama dia, pokoknya.” “Tapi, kan baru kapan hari kita temenan sama dia,” sebut Ramli. “Cancel,” jawab Awan. “Nggak usah ditemenin. Dia nyebelin.” Ketiga temannya kompak mengangguk menyetujui. “Kalian mau pulang sendiri atau aku usir?” Kalimat bernada peringatan dari Adel itu membuat ketiga teman Awan panik. “Bro, gue balik dulu, ya, lupa tadi masak,” kata Wiki. Padahal dia baru dari kampus. “Gue juga, lupa tutup pintu rumah,” timpal Nugie yang juga baru pulang dari kantor ketika mampir ke sini tadi. “Gue disuruh Babeh pulang, waktunya mandi sore,” kata Ramli. Ini alasan paling masuk akal. Lalu, ketiga temannya itu buru-buru pergi. Awan menoleh sebal pada Adel. “Apa?” tantang Adel. Awan melengos kasar, lalu berbaring dan memutar tubuh memunggungi Adel. Awan tidak mau berteman dengan Adel. *** Adel memijat pelipisnya. Sudah ia pusing karena desain kafe barunya, ini masih harus menghadapi Awan berulah pula. Sebenarnya, meski pria itu tak mau memberitahukan pada Adel tentang alergi atau riwayat penyakitnya, Adel bisa mencari tahu sendiri. Sebenarnya, hari ini tadi ia sudah meminta medical check up untuk Awan. Pria itu saja yang tidak sadar. Dia hanya berpikir itu pemeriksaan karena alerginya. Namun, Adel takut ada yang ia lewatkan. Setiap kali ia teringat saat Awan nyaris mati karena alerginya, Adel bisa merasakan ketakutannya. Padahal, sebelum ini, tak ada satu hal pun yang ditakuti Adel di dunia ini. Adel menghela napas sembari mengambil gambar desain kafenya dan mengerutkan kening melihat gambar baru di ruang kosong yang sempat membuat Adel terganggu beberapa waktu lalu. Sebuah stage kecil. Ada gitar bersandar di kursi berbentuk seperti kubus di sana. Adel menyentuh gambar itu dan menatap Awan. Sepertinya pria itu memang bisa menggambar. Adel mengambil foto dari gambar itu dan mengirimnya ke Siska. Adel kemudian membereskan tumpukan kertas-kertas dengan desain di setiap bagian kafe barunya itu dan menumpuknya di tengah meja. Ketika Adel berdiri, pintu ruangan itu terbuka. Adel sudah siap menyembur jika itu adalah ketiga teman Awan, tapi ternyata malah orang tuanya yang masuk ke kamar rawat Awan. “Awan gimana keadaannya?” tanya papa Adel sembari menghampiri Awan. Awan yang tadinya ngambek pada Adel, seketika beranjak duduk dan memasang senyum lebar pada orang tua Adel. “Saya udah sehat kok, Om,” ucap pria itu. Mama Adel langsung merangkul Awan dan menepuk-nepuk punggungnya. “Kamu punya alergi separah itu harusnya lebih hati-hati sama makananmu,” tegur mamanya. Mama Adel melepaskan Awan dan menatap Adel tajam. “Kamu juga, gimana bisa kamu ngasih dia makan kerang padahal dia alergi?” Adel berdehem. “Dia makan tanpa sepengetahuanku. Katanya ngidam,” dustanya. Adel sempat melihat Awan mencibir padanya, tapi ketika mama Adel menatapnya, pria itu meringis. “Maaf, Tante. Habis kemarin kayaknya enak banget. Lagian, saya terakhir makan kerang waktu SMP kelas satu. Saya pikir ya, udah sembuh aja.” Pria itu nyengir. Akibatnya, selama setengah jam berikutnya, Awan mendapat ceramah dari kedua orang tua Adel. Ceramah itu berakhir dengan, “Untung kemarin Adel ngelakuin CPR dengan baik.” Adel langsung waspada mendengar informasi yang tidak perlu itu. Sementara, Awan menoleh pada Adel. “C … PR? Napas buatan?” Awan bertanya sembari kembali menatap mama Adel. Mama Adel mengangguk. “Tante ngajarin dia beberapa hal tentang pertolongan pertama. Salah satunya CPR. Dulu dia selalu ngomel, tapi kemarin kerja keras Tante terbayar.” Mama Adel tampak terharu, sementara Adel merasa ingin menghilang saat itu juga. Ia tahu, Awan akan berkomentar tentang ini nanti. “Mama sama Papa kalau udah selesai, langsung pulang ke rumah aja, istirahat,” usir Adel tak sabar. “Dia masih harus istirahat.” Mama dan papa Adel mengangguk setuju. Mereka berpamitan pada Awan, mengingatkannya untuk berhati-hati dengan makanannya, beristirahat, sebelum akhirnya pergi. Begitu orang tua Adel pergi, Awan langsung beraksi, “Kamu nyium aku?” Adel memutar mata. “Itu napas buatan, bukan ciuman.” Adel menjaga suaranya tetap datar. “Kamu nyium aku pas aku nggak sadar!” sembur Awan. “Itu napas buatan! Apa kamu bodoh? Kalau aku nggak ngasih kamu napas buatan, sekarang kamu udah mati!” Adel kehilangan ketenangannya. “Kalau gitu, lain kali lakuin itu pas aku sadar!” “Kalau kamu sadar, ngapain aku ngasih napas buatan?!” “Bukan napas buatannya, tapi ciumannya!” “Aku nggak nyium kamu! Itu napas buatan, bukan ciuman!” “Kamu nempelin bibirmu ke bibirku. Itu ciuman!” “Apa kamu nggak pernah ciuman?” sinis Adel. “Ah, kamu semahir itu dalam ciuman?” balas Awan tak kalah sinisnya. “Dan kamu sepayah itu dalam ciuman?” ledek Adel. “Cium sini kalau berani!” tantang Awan. Selama sedetik, Adel nyaris menerima tantangan pria itu. Adel bahkan sudah mendekat pada pria itu, tapi ia menahan langkah berikutnya. Tunggu! Apa yang ia lakukan ini? Awan mendengus meledeknya. “Tuh kan, nggak berani. Berarti kamu yang payah ciumannya.” Adel menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia tidak akan menjadi sekekanakan pria ini. Tidak akan. “Tapi, keluargamu nggak ada yang ke sini?” Adel mengalihkan pembicaraan. “Well, kamu mungkin nggak dekat sama ayahmu, tapi kamu kelihatannya dekat banget sama adikmu.” Awan mendecih, lalu melengos. Pria itu kembali berbaring memunggungi Adel. Tangan Adel gatal rasanya ingin menjambak rambut ikalnya yang super berantakan itu. “Kalau keluargamu ke sini …” “Aku nggak mau bikin adikku khawatir, jadi aku nggak ngasih tahu dia,” potong Awan, masih dengan posisi membelakangi Adel. “Bagus deh, kalau gitu,” ucap Adel dingin. Ia kemudian kembali ke sofa, tapi tatapannya masih tertuju pada Awan. Dasar bocah! *** Awan berusaha menenangkan debar jantungnya yang seolah akan meledak. Gila, gila! Apa yang terjadi barusan? Apa yang dibicarakannya dengan Adel barusan? Ciuman! Awan pasti sudah gila. Tidak. Adel yang gila. Bisa-bisanya dia mencium Awan ketika Awan tak sadarkan diri. Kalau dia ingin melakukan itu, tidakkah seharusnya dia melakukannya ketika Awan sadar seperti ini? Tidak adil. Awan membayangkan ketika Adel menciumnya saat ia tak sadarkan diri kemarin. Sungguh sangat disayangkan. Kenapa Awan harus tidak sadarkan diri di saat-saat seperti itu? Itu kan, momen bersejarah. Tangan Awan menyentuh bibirnya. Padahal sudah sejak lama ia penasaran, bagaimana rasa bibir wanita itu. Awan merengut. Adel curang. “Hei.” Panggilan Adel itu diabaikan Awan. Awan sudah memejamkan mata, akan pura-pura tidur, ketika Adel kembali berbicara, “Kakekku mau ke sini.” Mendengar itu, Awan langsung duduk. Ia menoleh pada Adel. “APA?” “Kakekku mau ke sini,” ulang wanita itu. “Iya, aku dengar. Kamu pikir aku tanya karena aku nggak dengar?” Awan sebal. “Kalau dengar, ngapain tanya lagi?” balas Adel sengit. “Ya, maksudku, ngapain kakekmu ke sini?” “Karena kamu di sini.” “Trus, dia mau ngapain? Ngasih selamat karena aku masih hidup?” sinis Awan. Adel mendecak kesal. “Nggak usah heboh. Kakek nggak tahu kalau kamu hampir mati karena alergi kerang. Aku minta Mama ngerahasiain itu. Kamu di sini karena kelelahan.” “Tapi, aku pengangguran,” sebut Awan. “Ya, bilang aja kamu kelelahan karena ngurus persiapan pernikahan kek, apa kek.” Adel terdengar tak sabar. Awan menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Trus, jam berapa kakekmu mau ke sini?” Adel melihat jam tangannya. “Kalau kata Siska sih, sekarang.” Awan melotot mendengarnya. Saat itulah, pintu kamar rawatnya terbuka, lalu sosok yang dibicarakannya dengan Adel muncul. Tony Wiratmadja. “Apa-apaan ini?” tuntut pria tua itu ketika menghampiri tempat tidur Awan. “Kenapa calon suamimu bisa sampai masuk rumah sakit padahal pernikahan kalian sudah dekat?” “Dia kelelahan,” jawab Adel. “Jadi, lebih baik Kakek pergi daripada membuat kelelahannya semakin parah.” Kakek Adel berdehem. Dia kemudian memanggil asistennya yang masuk bersamanya dan mengedikkan kepala ke arah pintu. Asistennya mengangguk dan pergi ke pintu untuk membuka pintu, lalu masuklah beberapa orang membawa karangan bunga dan keranjang-keranjang buah. “Ngapain pakai bunga segala, sih? Emangnya dia mati?” protes Adel. Mulut pedas wanita itu memang minta dicium sepertinya. Akhlaknya itu lho, sering tidak dipakai kalau bicara. Kakek Adel menatap Awan. “Semoga cepat sembuh.” Setelah mengatakan itu, kakek Adel berbalik dan pergi begitu saja. Sepeninggal kakeknya, Awan menatap Adel bingung. “Udah? Gitu aja?” tanya Awan. Adel menatap Awan kesal. “Udah? Gitu aja? Mulai sekarang, Kakek pasti akan ngawasin kita lebih ketat. Sekarang dia pasti mikir, kamu adalah tipe yang bisa pingsan di mana aja.” Awan tertawa mendengarnya. “Oke, itu lucu.” Namun, Adel tak sedikit pun tersenyum. “Aku nggak lagi melucu. Kakek benar-benar akan ngawasin kita makin ketat. Jadi, jangan berani-berani lagi kamu makan kerang atau aku akan nyekik kamu di tempat sebelum kamu mati gara-gara alergimu!” Duh, mulut pedas level seribu itu, ingin sekali Awan bisa membungkamnya dengan ciuman. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN