Summerdale, lima tahun yang lalu
"Welcome to Summerdale High!" Luke melemparkan senyumnya pada Athena yang baru saja turun dari Lexus RX yang dikendarai Ares di area parkir sekolah mereka.
"C'mon Luke! Aku dan Ares sudah hampir delapan bulan berada di sekolah ini. No more welcome!" Athena membalas senyuman manis Luke dengan tulus.
Ares dan Athena baru saja pindah ke kota kecil di selatan California itu sejak delapan bulan lalu. Sebelumnya mereka tinggal di Bukares, Rumania, negara asal Ayah dan Ibu mereka. Meskipun mereka siswa baru, pesona kedua kakak beradik itu mampu mengguncang seluruh siswa SMA Summerdale sejak hari pertama mereka memasuki kelas.
"Athena, ayo!" perintah Ares yang lebih dulu berjalan menuju beranda sekolah mereka.
"Aku duluan ya, Luke. Kita bertemu di kelas." Athena kembali melempar senyumnya pada Luke lalu menyusul Ares dengan berlari kecil.
Luke terlihat senang dengan keramahan yang diberikan Athena. Jarang sekali ada gadis cantik yang berasal dari keluarga kelas atas seramah gadis itu. Luke tak melepas pandangannya dari punggung Athena sampai bayangannya menghilang di balik lalu lalang siswa-siswa lain.
"Ares, apa kau tidak bisa ramah sedikit saja pada temanku? Aku merasa tidak enak padanya," tanya Athena pada Ares ketika hendak masuk ke dalam kelasnya.
Ares menghentikan langkahnya lalu mengarahkan pandangannya pada Athena. "Tidak. Ramah bukan nama tengahku dan aku tidak berminat untuk menambahkan 'ramah' di antara namaku.”
"Hmm ... setidaknya hanya sedikit saja." Athena mengerucutkan bibir merah mudanya.
"Ramahku hanya untukmu. Tidak untuk orang lain." Ares melanjutkan langkahnya.
"Aku tahu. Tapi setidaknya beri mereka sedikit saja!" Athena hampir berteriak, namun Ares tetap tak peduli dan melangkah menjauh menuju kelasnya
Athena mendesah kesal. Ucapannya tak dipedulikan sama sekali oleh Ares. Ares memang terkenal angkuh, tapi keangkuhannya tak menyurutkan minat para gadis di SMA Summerdale untuk tetap mengejarnya. Statusnya sebagai kapten dan gelandang nomer satu di tim football menjadi nilai plus tersendiri, di samping wajah memukau dan tubuh proporsionalnya. Tak sedikit pula para pria di SMA Summerdale yang iri padanya.
Beberapa jam berlalu. Ares membawa nampan berisi roti lapis dan sebotol coke menuju area paling cozy di kantin. Ia meletakkan nampan di atas meja kayu bundar lalu duduk dengan gayanya yang khas, bersandar sambil menumpangkan pergelangan kaki ke lututnya. Tiga temannya yang lain saling melempar canda. Ares menyantap roti lapis sambil sesekali membalas candaan mereka.
Mark, salah satu teman Ares yang duduk di sampingnya menyenggol lengan Ares dengan sikunya. “Perhatikan arah jam 11:00.”
Tanpa menoleh, hanya melirik, Ares melihat gadis berambut ikal cokelat sebahu dengan beberapa buku dalam pelukan berjalan ke arahnya. Dalam hitungan detik, gadis itu sudah berada beberapa kaki di samping Ares.
"Hai, boleh aku wawancara sebentar? Oh iya, aku Crystal dari majalah sekolah. Bisa aku mewawancaraimu?" tanya gadis itu dengan suara bening dan lembut.
Mark berdiri. Ia menebarkan pesona melalui senyuman lebar yang sedikit memamerkan deretan gigi putihnya. "Siapa yang mau kau interview, Nona?"
"Kapten tim. Boleh?" gadis bernama Crystal itu menegaskan sekali lagi.
"Aku sedang tidak mood," balas Ares dengan nada ketus.
Crystal menghela napas panjang untuk melepas kekesalannya. "Kapan aku bisa mewawancaraimu?"
"Kalau aku mau." Ares menenggak coke-nya. Tatapannya lurus ke depan mengabaikan Crystal.
Crystal sengaja bersuara saat mengembuskan napas. Ia berharap sang kapten tahu apa yang dirasakannya. Gadis berlesung pipi itu meninggalkan meja Ares dan teman-temannya tanpa permisi.
"Si Crystal marah tuh," kata teman Ares yang lain.
"Siapa peduli!" Ares tersenyum puas karena sudah berhasil mengusir si pengganggu istirahatnya.
***
Ares melempar sembarangan ranselnya ke atas ranjang. Pendengarannya yang super tajam menangkap suara Athena dan suara gadis lain yang asing—tidak terlalu asing karena ia pernah mendengar suara bening itu. Ares memutuskan untuk berdiri lebih lama dan memusatkan pikiran pada suara gadis lain yang membuatnya penasaran. Beberapa saat kemudian, pemuda tampan itu tersenyum.
Ia gadis menyebalkan itu, batinnya.
Untuk lebih meyakinkan dirinya sendiri, Ares mencoba menembus pandangan Athena, tapi adiknya itu ternyata memblokir telepatinya. Tidak terlalu memikirkan kuriositasnya, Ares merebahkan tubuhnya di sofa panjang—di depan ranjang—dengan kepala bertopang pada tangan sofa dan kedua kakinya menumpuk di atas tangan sofa yang lain.
“Kau tidak tidur, Ares.” Suara Athena terdengar sangat dekat dan mengguncang kesadaran Ares.
Ares membuka matanya. Iris keemasannya tertuju pada sosok berambut pirang dengan pancaran mata sebiru lautan yang berdiri di ambang pintu.
“Athena, aku bukan vampir sepertimu. Tentu saja aku bisa tidur,” cetus Ares.
Athena melangkah masuk. Gadis itu duduk di tepi ranjang, menyilangkan kakinya yang terbungkus ripped skinny jeans, dan menyilangkan tangan di atas perutnya.
“Ya, aku tahu. Kau tidak harus selalu mengingatkan perbedaan di antara kita, Ka-kak.”
Ares merubah posisinya. Ia duduk dengan kaki melebar dan tangan diletakkan di atas lutut. “Ada apa?”
“Aku ingin kau ikut makan malam bersama kami. Umm, aku mengundang temanku makan malam,” tutur Athena sedikit gugup.
Ares menajamkan pandangannya. Selama ini ia dan Athena berkomitmen untuk tidak membawa teman manusia mereka ke rumah. “Kau membawa mereka ke sini? Athena—“
“Aku hanya ingin terlihat normal, Ares.” Athena memotong dengan nada memelas.
Ares mengembus napas panjang. Raut wajahnya memberengut, tapi ia sadar selama ini mereka seperti sedang bermain petak umpat dengan manusia. Ia dan Athena terlahir dari rahim wanita peri yang sama, namun ayah mereka berbeda. Ayah Ares adalah seorang Alpha yang memimpin pack terbesar sepanjang sejarah lycan dan werewolf. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan penguasa tertinggi dunia bawah, seorang vampir, Vladimir de lioncourt. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai seorang putri bernama Athena.
Ares berjalan mendekati Athena. Ia meletakkan tangan di pundak adik cantiknya. “Apakah Ayah dan Ibu ikut makan malam?”
Athena mendongak lalu mengangguk. “Mereka ikut malam.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan ikut serta.”
Ares dan Athena turun bersama-sama ke ruang makan. Dari tangga, Ares melihat gadis berambut ikal yang sudah mengganggu makan siangnya di kantin sekolah sedang duduk di ruang makan bersama teman Athena yang lain, Luke. Di seberang meja, ada ibu dan ayah sambungnya. Mereka tampak akrab dengan kedua teman Athena itu.
“Selamat sore, Ayah,” ucap Ares pada Vladimir dan sesaat kemudian ia melayangkan pandangannya pada wanita anggun, Dahlia, yang duduk di samping Vladimir, “Ibu.”
“Selamat sore, Ares,” sahut Vladimir dan Dahlia hampir bersamaan.
Ares memilih kursi di samping Vladimir, sedangkan Athena duduk di antara kedua temannya di seberang meja. Selama acara makan malam Ares berusaha untuk tidak memandang kedua teman Athena. Ia tahu Ayah dan adiknya hanya berpura-pura makan untuk menutupi jati diri mereka. Namun, ia menikmati kebersamaan mereka layaknya keluarga manusia yang sedang menerima tamu.
“Terima kasih atas makan malamnya, Tuan dan Nyonya Lioncourt,” ucap Crystal memecah keheningan.
“Kami senang dengan kedatangan kalian,” jawab Dahlia.
"Jangan sungkan mengundang kami, Nyonya," celetuk Luke, "kami akan sangat senang datang ke sini. Meskipun setelah makan kami harus mencuci piring, kami akan tetap senang."
Dahlia dan Vladimir kompak tertawa. Mereka berdua tampak sangat menikmati celetukan Luke yang terdengar seperti sebuah lawakan. Lawakan? Itu bukan sesuatu yang lucu. Itu konyol. Tidak ada seorang pun yang mau merendahkan dirinya sendiri seperti Luke. Di mana letak lucunya? tanya Ares dalam hati.
Basa basi mereka berlangsung beberapa menit sampai Ares merasa bosan dan akhirnya ia berdiri dan pamit. “Baiklah. Jika sudah selesai, aku permisi dulu.”
“Tunggu dulu, Ares. Kau tidak boleh meninggalkan tamu kita. Apalagi Nona Kings ingin mewawancaraimu setelah makan malam ini,” cegah Dahlia.
Ares mengangkat sebelah alisnya. “Nona Kings?”
“Ya, Nona Crystal Kings,” jelas Dahlia.
Ares mengalihkan pandangannya ke arah Crystal. “Mewawancaraiku untuk apa?”
“Untuk majalah sekolah,” balas Crystal tersenyum bangga. Akhirnya, ia bisa memaksa Ares untuk diwawancarai.
Ares mendesah kesal. Seharusnya ia tahu gadis bernama Crystal itu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan berita tentangnya. Dasar licik.
=====
Alice Gio