Berdebat

1103 Kata
Bagian 6 Rasanya, aku tidak lagi mengenali suamiku, aku sudah seperti orang lain saja baginya. Kuseka air mata dengan punggung tanganku, air mataku terlalu berharga untuk menangisi apa yang telah dilakukan Mas Farid. Rupanya Mas Farid menyusulku, melihatku yang membuang muka padanya, Mas Farid pun berusaha merayuku agar aku memaafkannya. Tidak semudah itu, Mas! "Apa aku sudah tidak ada artinya bagimu, Mas? Sehingga Mas tidak meminta pendapatku tentang pembelian AC itu, Mas?" Suaraku sedikit serak, menahan tangis sekaligus amarah yang kian memuncak. "Maafin Mas ya, Dek. Mas tidak bisa menolak keinginan Rini. Tidak tega melihatnya kepanasan." Jawaban Mas Farid sungguh membuatku semakin marah. Ia lebih memilih menuruti permintaan wanita itu, sementara cicilan mobil dan rumah sudah mendekati tanggal p********n dan Mas Farid sama sekali belum menyerahkan gajinya bulan ini padaku. "Kamu lupa, Mas, bulan ini kita belum membayar cicilan mobil dan rumah, loh. Oh ya, hari ini Mas kan gajian, mana uangnya, Mas?" Aku menengadahkan tangan, meminta gaji suamiku yang biasanya setiap bulan tidak perlu kuminta. Tapi kali ini, aku memintanya, takut uangnya digerogoti sama wanita itu. "Maaf, dek. Gaji mas bulan ini sudah habis buat beli AC, untuk jatah bulanan Ibu, untuk pegangan Rini juga. Sisanya tinggal sedikit lagi untuk biaya transportasi Mas selama sebulan ke depan," jelasnya dengan santai seolah tanpa beban. Ia telah melupakan tanggung jawabnya sendiri. Aku tidak percaya mendengarnya, bagaimana mungkin suamiku lebih mementingkan orang lain dan mengabaikan tanggung jawabnya. Masalah jatah bulanan Ibu, aku sama sekali tidak keberatan. Bapak mertua sudah meninggal dan Ibu tinggal seorang diri di kampung. Aku tidak pernah mempermasalahkan jika Mas Farid selalu mengirim jatah bulanan untuk Ibunya, toh aku sudah menganggap Ibu mertua seperti Ibu kandungku sendiri. Sekarang yang kupermasalahkan adalah Rini, wanita asing yang sudah membuat rumah tanggaku menjadi tidak tenang. Jujur, aku tidak merasa nyaman lagi berada di rumah ini setelah wanita itu tinggal di sini. Ia sudah numpang gratis di rumah ini, meminta AC, sekarang Mas Farid malah memberikan uang pegangan juga untuknya. Astagfirullah … aku hanya bisa mengelus d**a setelah mendengar penjelasan Mas Farid. "Sekali lagi Mas minta maaf. Mas juga mau minta tolong sama kamu, Dek. Untuk cicilan rumah dan mobil bulan ini, kamu dulu ya yang membayarnya. Kamu kan tahu sendiri kalau gaji Mas bulan ini sudah habis." Mas Farid menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a untuk meminta tolong padaku. Jika Mas Farid sedang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, aku akan suka rela membantunya. Tapi tidak untuk kali ini, jelas-jelas Mas Farid sudah keterlaluan. Ia lebih mengutamakan hal yang tidak penting dibanding memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Benar-benar keterlaluan! "Aku harus bayar pake apa, Mas? Sedangkan selama ini, gaji Mas saja tidak bisa menutupi semua pengeluaran kita," keluhku. "Aku tidak akan sanggup membayar cicilan rumah dan mobil sekaligus, Mas. Belum lagi biaya makan sehari-hari, bayar PDAM, tagihan listrik, dan lainnya yang selama ini memakai uang hasil penghasilanku dari butik," keluhku lagi agar ia tahu berapa besar pengeluaran kami setiap bulannya. Gaji Mas Farid yang berjumlah lima juta itu sebenarnya tidak cukup jika aku tidak membantunya. Bagaimana tidak, total pengeluaran yang harus dibayar setiap bulannya melebihi gaji Mas Farid. Angsuran rumah sebesar dua juta rupiah, jatah bulanan Ibu di kampung satu juta setiap bulannya, tagihan listrik tiga ratus ribu, bayar PDAM dua ratus ribu, biaya transportasi dan pegangan Mas Farid satu juta rupiah. Gaji Mas Farid hanya tersisa lima ratus ribu tiap bulannya. Jaman sekarang, uang sebesar lima ratus ribu tidak akan cukup untuk biaya makan selama sebulan untuk dua orang. Tapi selama ini aku tidak pernah mengeluh. Aku masih bisa memenuhi kebutuhan kami dari penghasilanku. Bahkan untuk cicilan mobil, penghasilan dari butik lah yang menutupinya. Aku menggeleng pelan, nggak tahu harus berbuat apa. "Aku kecewa sama kamu, Mas. Mas sudah mengabaikan tanggung jawab Mas sendiri." Aku membuang muka, malas menatap wajahnya. "Kali ini saja, Mas janji, bulan depan akan memberikan gaji Mas padamu seutuhnya, seperti yang Mas lakukan selama ini." Mas Farid menggenggam tanganku, berusaha meyakinkanku. Aku sendiri tidak yakin. Selama wanita itu masih tinggal di rumah ini, pasti Mas Farid akan melakukan hal yang sama. "Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi, Mas!" Kutarik tanganku dari genggaman Mas Farid, mengambil tas tangan, kemudian mengambil kunci motor yang digantung di salah satu paku dinding kamar. "Kamu mau kemana, Dek?" Mas Farid berdiri tepat di depan pintu kamar, tidak mengizinkanku untuk pergi. "Aku mau ke rumah mama, Mas. Malas berdebat denganmu. Menyingkirlah, Jangan halangi jalanku." "Tolong jangan pergi dalam keadaan marah seperti ini, Dek. Mas tidak ingin terjadi sesuatu padamu nantinya." Mas Farid masih berusaha membujukku. Setelah kupikirkan lagi, memang lebih baik aku tidak udah pergi. Jika aku meninggalkan mereka berdua di rumah, mereka akan lebih leluasa melakukan apa yang mereka inginkan. Aku akan tetap berada di rumah ini agar bisa membongkar semuanya. "Baiklah, aku tidak akan pergi. Sekarang keluarlah dari kamar ini, Mas. Aku mau sendiri." "Baiklah jika itu yang kamu inginkan." Akhirnya Mas Farid keluar dari dalam kamar dan aku menguncinya dari dalam. "Dek, buka pintunya sebentar, Mas hanya ingin mengantar jus buah untukmu." Terdengar suara Mas Farid memanggilku, padahal belum sampai sepuluh menit ia keluar dari kamar ini. Aku membuka pintu kamar dan mengambil jus tersebut kemudian mengunci pintu kembali. Mas Farid pasti ingin merayuku agar tidak marah lagi. Hatiku masih sakit, Mas. Untuk sekarang, aku masih belum bisa memaafkanmu. *** Pukul dua dini hari, aku terbangun dari tidurku, kepalaku terasa sakit dan pusing. Entah kenapa, sudah dua hari setiap bangun tidur kepalaku pasti sakit, ini tidak seperti biasanya. Aku terkejut saat mendapati bahwa tubuh Mas Farid ternyata tidak ada di sampingku. Ini kan sudah tengah malam, Kemana Mas Farid? Batinku bertanya-tanya. Kupaksakan untuk bangkit, demi mencarinya. Aku turun dari ranjang dengan pelan, tapi tiba-tiba tubuhku terjatuh ke lantai. Rasa sakit di kepalaku semakin menjadi. Aku tidak bisa melawan rasa sakit ini. Akhirnya kuputuskan untuk menunda niatku. Sudah dua malam ini kepalaku selalu sakit dan aku selalu tidur lebih awal. Tingkah Mas Farid juga semakin mencurigakan, setiap aku terbangun tengah malam, pasti Mas Farid tidak ada. Anehnya saat aku terbangun, Mas Farid sudah berada di atas ranjang, sedang terlelap. Jika kutanya, pasti Mas Farid mengatakan kalau aku hanya bermimpi. Padahal, aku yakin sekali bahwa apa yang kualami benar-benar nyata, bukan mimpi. Aku yakin, pasti Mas Farid menyembunyikan sesuatu dariku. Pasti ada yang tidak beres. Biasanya aku tidak pernah tidur cepat. Jangan-jangan, Mas Farid mencampurkan sesuatu ke dalam jus buah itu, sehingga aku selalu tidur cepat. Baiklah, aku akan menyelidikinya! Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN