“Dek, kamu—“
“Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.
Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.
“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”
“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, tetapi rasa sakit yang kamu torehkan tak semudah itu sembuhnya. Bahkan jika sembuh pun, pasti akan meninggalkan bekas,” ungkap Aisyah seraya menyeka air matanya. Ia lalu menatap lekat pada kedua bola mata suaminya. “Biarkan aku sendiri dulu! Malam ini aku akan tidur di lantai atas, dan kamu tetap di sini!” pungkas Aisyah seraya bangkit dari duduknya.
Wahid hanya bisa diam dengan air mata penyesalannya yang mengalir deras. Ia tak menyangka hanya iseng membalas pesan singkat anak dari pemilik pesantren justru membuatnya terlena hingga lupa diri. Wahid merutuki kesalahan tersebut, hingga tanpa sadar ia terbuai dengan kecantikan dan keluwesan Nurul dan melupakan Aisyah yang selama ini setia serta melengkapi hidupnya.
“Maafkan aku, Dek,”
Sayangnya Aisyah memilih pura-pura tuli. Berkali-kali kalimat maaf terlontar dari mulut suaminya, ia tak peduli. Wanita itu memilih fokus memilah pakaian miliknya dan semua perkakas miliknya ke dalam koper besar tersebut, sementara Wahid terus terisak dengan kalimat maaf.
Lelaki itu baru bangkit dari duduknya setelah Aisyah menarik resleting koper besar di hadapannya. “Dek, tetaplah di sini! Ini kamar kita, Dek. Mas tidak mau ada istri lain selain kamu,” bujuk Wahid dengan tatapan merana.
“Besok ini akan menjadi kamarmu dan Nurul, Mas,” sindir Aisyah setelah selesai menutup koper tersebut.
Tatapan Wahid makin merana. Aisyah benar-benar sedang mati rasa. Ia menghempaskan tangan suaminya kasar dan langsung menarik kopernya keluar kamar.
“Jangan mengikutiku! Aku sedang tidak ingin bertatap muka denganmu, Mas!” perintah Aisyah dengan tatapan penuh kebencian.
Aisyah sadar, seharusnya ia tidak boleh seperti itu pada suaminya. Namun, hatinya sedang terluka dan ia sedang tidak baik-baik saja. Wanita itu tak bisa berlari jauh dari rumah itu, jadi ia memilih sendiri.
Wahid tampaknya menurut. Ia hanya memandangi tubuh istrinya yang menjauh menarik koper. Tatapannya lemas tak berdaya.
Tak lama ia pun bergegas keluar mengekori Aisyah. Wanita tampak kepayahan membawa kopernya melewati anak tangga menuju lantai atas. Sayangnya, Wahid tak punya keberanian mendekati istrinya.
Lelaki itu hanya bisa merutuki kebodohannya hingga Aisyah berhasil melewati anak tangga terakhir di lantai dua. Istrinya benar-benar tak menoleh ke belakang dan langsung membuka kamar yang diperuntukkan untuknya. Namun, Aisyah langsung terdiam di depan pintu kamar tersebut.
Debu dan bau pengap langsung menyeruak hidungnya. Kamar tersebut hampir tak tersentuh selama beberapa tahun. Wajar saja jika kondisinya penuh debu. Aisyah hanya menghela napas panjang nan berat, seberat beban hidupnya saat ini.
“Sepertinya harus dibersihkan dulu,” gumannya dengan nada berat.
Tak lama senyuman Aisyah menghiasi wajah murungnya. Setidaknya ia punya kegiatan untuk mengalihkan rasa sedihnya malam ini. Wanita itu langsung menuruni tangga dan berjalan menuju dapur untuk mengambil peralatan kebersihan.
Sejujurnya, ia melihat Wahid yang mematung di depan kamarnya. Namun, Aisyah mengabaikannya. Ia tahu suaminya tak harus menikahi Nurul, sebab benih dalam kandungan wanita itu bukanlah milik suaminya. Sayangnya ia tak bisa membuktikannya, apalagi Nurul mempunyai bukti pesan perselingkuhan dengan suaminya.
Seharusnya Wahid sendiri lah yang mengatakan kalau dirinya tak menanam benih dalam rahim Nurul, tetapi lelaki itu pengecut. Bahkan suaminya tak berani menolak keras tuntutan kyai Reza dan Ibrahim. Lelaki itu hanya berani menyanggah di hadapannya saja, itulah yang membuatnya muak menatap wajah suaminya.
“Jika saja kamu berani melawan, mungkin aku tidak akan sesakit ini, Mas. Aku juga bisa memaafkan kamu yang berkhianat dan merayu wanita lain selain aku, istrimu,” guman Aisyah dalam hati seraya kembali melewati Wahid yang masih mematung memandangi dirinya.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Nurul Azizah binti Kyai Haji Reza Abdul Rajak dibayar tunai!”
“Bagaimana para saksi, sah?”
“Sah!”
Kompak suara orang-orang yang menjadi saksi ijab qabul Wahid untuk Nurul. Rasa haru dan syukur mereka langsung menghias wajah semua orang yang ada di sana, termasuk Rahma dan Zalimar yang berada di samping Aisyah. Keduanya bahkan sama-sama mengucapkan hamdalah, rasa syukur pada sang Maha Pencipta dan melupakan Aisyah yang terdiam seribu bahasa. Entah ia harus ikut mengucapkan hamdalah juga atau merutuki nasibnya yang terlihat menyedihkan.
Aisyah sadar yang mereka lakukan bukanlah dosa dan sesuai syariat, tetapi kenapa hatinya merasa dirinya sedang dizalimi? Berkali-kali ia mengatur napasnya, agar dadanya tak terasa sesak dan air matanya usai. Tepat setelah mereka menyelesaikan pembacaan doa sebagai penutup acara ijab qabul, Aisyah berhasil menahan air matanya untuk tak keluar lagi.
Wanita bercadar itu akhirnya bisa menegapkan wajahnya. Ia mencoba untuk kuat dan tangguh. Indera penglihatannya tertuju pada pintu masuk masjid. Nurul tengah digiring memasuki masjid dengan ibunya, Sarah dan beberapa wanita lain.
Gaun putih lebar dengan hijab putih yang dihiasi rangkaian bunga melati, menandakan kalau ia adalah mempelai perempuan yang sudah sah menjadi suami Wahid. Dialah madunya Aisyah. Kedua bola mata Aisyah tak bisa lepas dari gerakan wanita itu.
“Silahkan disambut dulu mempelai perempuannya, Mas Wahid!” pinta salah satu lelaki yang di dekat Wahid.
Wahid pun memutar tubuhnya dan langsung di sambut uluran tangan Nurul. Tentu saja Wahid mengulurkan tangannya dan wanita yang sudah sah menjadi istrinya mencium punggung tangannya. Aisyah mendesis pelan.
Cemburu? Tentu saja tidak. Ia sudah merasakan posisi itu. Mungkin rasa muak yang ia rasakan, hingga membuat dirinya memaksa untuk tegar.
Entahlah, Aisyah merasa ini semua tak adil. Mungkin karena semuanya berawal dari kebodohan dirinya atau memang suaminya yang memasuki perangkap Nurul dan membuat Wahid tergoda berhubungan lebih dengan Wahid. Ya, Aisyah bahkan bisa menegapkan kepalanya saat Wahid mencium kening Nurul dan sambut tepukan tangan semua yang hadir di sana.
Kedua mempelai itu langsung mendapatkan sambutan selamat dari semua yang hadir. Mereka berdua mulai menyalami para tamu dan menjadikan dirinya orang terakhir. Tatapan Aisyah kosong tanpa ekspresi saat melihat ekspresi bersalah kedua mempelai itu.
Aisyah memindai sekelilingnya. Tatapan semua yang ada di dalam masjid tertuju padanya. Seolah ia adalah orang jahat yang hendak menyakiti kedua orang di hadapannya, itulah yang ia rasakan.
“Dek, Mas—“
“Semoga kamu bisa berlaku adil, Mas!” ucap Aisyah memotong kalimat Wahid.