Bab XXIII

1107 Kata
"Hei!!" Farhan tak memerdulikan seruan itu dan tetap pada niatnya semula untuk lari. Dia harus pulang! Tapi dia sama sekali tak memperhitungkan bahwa polisi yang menjaga dan menggiring mereka juga akan sangat tangkas. Ditambah lagi dengan kepala yang masih sedikit berputar efek dari sebelum dia tidur tadi, itu membuat larinya sedikit oleng dan susah menjaga keseimbangan. Dia sempat terjatuh dan terpeleset dua kali. Jatuh pertama dia berhasil bangkit dan melanjutkan aksinya, namun kedua kalinya saat dia terpeleset, seseorang menindihnya dan menahan kedua tangannya ke belakang sebelum memasangkan sesuatu yang membuat dia tak berkutik. Borgol?! Farhan meronta hebat. Tak mau ditangkap dan dibawa oleh mereka. "Ampun, Pak! Lepaskan saya! Saya harus pulang! Ibu saya nunggu di rumah, Pak! Ampun!" teriaknya. cairan asin meleleh melewati pipi dan bibirnya. Dia menangis. Farhan bukan anak yang cengeng, bukan anak penakut juga. Tapi kali ini dia amat takut dan rasanya ingin menangis meronta - ronta. Dia teringat wajah ibunya yang berurai air mata saat dia pergi kemarin. Dia bahkan tak pamit mau pergi ke mana. Dan sekarang dia malah dibawa seperti ini. Farhan tak bisa membayangkan perasaan Ibunya akan seperti apa. "Iya, nanti kamu ketemu sama ibu kamu. Sekarang kamu ikut kami dulu. Yang nurut! Ayo!!" Farhan tak punya pilihan selain menurut karena dia di seret dan dicekal dengan kencang. Dia juga tak bisa melawan karena tangannya diborgol. "Naik! Semuanya naik!! Jangan melawan, atau membantah! Anggota kami membawa senjata api! Naik!" Mereka akhirnya sampai di jalan kampung yang menjadi pembatas antara markas mereka dengan menukiman warga. Di sana sudah berderet truk polisi dan beberapa mobil dinas polisi. Ada juga beberapa warga yang berkerumun dengan wajah ingin tau. Mungkin mereka penasaran karena banyak mobil polisi di kawasan ini. Atau mereka berbondong - bindong keluar karena mendengar bunyi letusan tembakan beberapa saat lalu. Mereka semua menunduk saat naik dan duduk di truk polisi. Termasuk juga Farhan. Bahunya tertunduk lemas seolah kalah. Air matanya tak berhenti mengalir dalam tangisan bisu. Dia bergabung bersama kelompok Rolis karena mendengar dari Panji bahwa kelompok ini pintar mengelabuhi polisi. Markas mereja juga berpindah setiap tiga bulan sekali sehingga sulit dilacak. Tapi kenapa berakhir seperti ini? Dia bahkan baru dia kali beraksi. Dia belum puas merasakan euforia menglitih. Dan dia sudah tertangkap seperti ini. Membuat Ibunya kecewa karena nengetahui sisi gelapnya. "Ibu...." *** Aditama mengepalkan telapak tangannya erat - erat. Dia sengaja tak mengambil pistolnya, alih - alih dia membawa stik panjang yang biasa dibawa TNI saat mengamankan operasi. Dia takut, jika dia tak bisa menahan dirinya dan malah melakukan kekhilafan dengan menembaki salah satu dari bocah - bocah ini. Dari luar, wajahnya terlihat datar tak terbaca. Dia sudah belajar belasan tahun untuk menyembunyikan emosinya dari orang luar, agar tak ada yang tahu betapa dia sampai sekarang masih merasa hancur dan rapih karena kehilangan orang tersayang dan terkasihnya. Dia berjalan dengan mata yang siaga mengawasi deretan bocah - bocah yang diarak berbondong - bondong dari markas mereka ke jalan kampung yang agak besar temoat semua kendaraan mereka menunggu. Dia beberapa kali bertukar pandang dengan Rano yabg ikut pura - pura diringkus di antara bocah - bocah itu. Rano akan berada bersama mereka juga di truk polisi yang membawa mereka semua menuju kantor polisi. Setelah sampai di sana, dan mereka semua di masukkan ke dalam sel, barulah Rano akan dilepaskan. Tugasnya telah selesai. Dia bergerak cepat saat ada salah satu dari mereka yang mencoba lari menuju gang gelap kecil penuh semak. "Hei!!" serunya sembari menerjang bocah itu. Bocah itu berlari amat cepat, membuat dia tak yakin apakah bisa mengejar atau tidak. Selain itu, konsentrasinya juga terpecah antara mengawal barusan tersebut atau mengejar satu anak itu. Dia khawatir saat dia mengejar, barisan tersebut akan bubar barisan dan malah jadi kacau balau. Untungnya, rekan polisi yang ada di depan dan di belakangnya segera sigap mengisi kekosongan barisannya tersebut, sehingga dia bisa fokus mengejar bocah yang memisahkan diri dari koloni berniat untuk kabur. Untungnya lagi yang ke dua, bocah tersebut jatuh. Dia bis amelihat lutut anak itu berdarah. Dan itu memberikan dia waktu untuk mengejar. Dia mengayunkan tangannya untuk meraih kaus anak itu. "Ah!" Sayangnya tak kena. Meleset. Dia malah terhuyung hampir jatuh sementara bocah tersebut lanjut berlari. Aditama semakin putus asa saat jarak mereka semakin melebar. Tapi sepertinya anak itu pun sedang tak terlalu fokus karena dia beberapa bkali salah arah dan jampir jatuh. Hal itu memudahkan Aditama untuk mengeliminasi jarak yang semula terbentuk. Dan seolah memang takdir menggariskan anak ini untuk ditangkap, dia terpeleset dan jatuh tepat di depannya. "Kena kamu!!" Aditama tak menyia - nyiakan kesempatan dan langsung menindih bocah tersebut sebelum memakaikan borgol di pergelangan tangannya. Akhirnya! "Ampun, Pak! Lepaskan saya! Saya harus pulang! Ibu saya nunggu di rumah, Pak! Ampun!" Bocah tersebut meronta dan melawan, membuat Aditama sedikit kuwalahan. Taoi akhirnya dia berhasi menarik bocah itu untuk berdiri dan menuntunnya kembali ke dalam barisan. "Iya, nanti kamu ketemu sama ibu kamu. Sekarang kamu ikut kami dulu. Yang nurut! Ayo!!" Bocah tersebut tak punya pilihan selain menurut. Kakinya cidera. Dan tangannya sudah diborgol. Dengan Aditama yang memiting lengannya seperti itu, dia sudah tak memiliki kesempatan lagi untuk lari. Setelah beberapa saat berkonvoi dalam gelap membelah semak - semak, akhirnya mereka sampai juga di jalan besar di mana petugas berwajib lain sudah menunggu. "Naik!" Seru salah satu dari anggotanya. "Langsung ke kantor, Pak." "Siap!" *** Pemuda - pemuda yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu memiliki kisaran umur antara enam belas hingga dua puluh nlima tahun. Seharusnya mereka memiliki masa depan cerah, seandainya mereka berada di jalan yang benar. Sayangnya, jalan yang mereka tempuh sama sekali tak benar. Menyakiti dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain dengan dalih iseng demi kesenangan semata, tentu saja tak dapat dibenarkan. Mereka di dikumpulkan di dam satu ruangan yang agak besar dengan dua orang petugas lengkap bersenjata di dalamnya. dan di luarnya dijaga lagi oleh beberapa petugas tambahan. Aditama adalah salah satu yang berada di dalam ruangan bersama pemuda - pemuda tersebut. Dia duduk di samping salah satu petugas yang menghadap laptop, siap untuk mengetik laporan. "Jadi, siapa yang mau duluan memberikan laporan." Katanya datar. "Laporan apa, Pak? Kami tak melakukan hal yang salah, kenapa kami harus berada di sini?!" Seorang pemuda dengan bekas luka memanjang di wajahnya berseru membela diri dengan nada menantang. Meskipun wajah tersebut banyak berubah karena menjadi dewasa, Aditama tetap mengenali penuda itu. "Rolis, kan?" Pemuda tersebut sedikit terbelalak kaget. Tak menyabgka Aditama mengenalnya. "Kamu nggak kapok main ke sini lagi dan lagi? Kamu dulu janji sama kami untuk bertobat dan berubah jadi orang baik. Apa ini yang namanya orang baik? Dulu kamu memang bisa bebas, tapi sekarang umur kamu.... dua puluh tahunan, kan? Akhirnya kami bisa jeblosin kamu juga ke penjara!"

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN