Sejak diijinkan untuk keluar malam beberapa hari yang lalu, Farhan jadi suka meminta ijin untuk keluar malam. Memang baru sekali setelah hari sabtu kemarin, sih. Tapi Marsih masih belum terbiasa. Hari seninnya Farhan bahkan sampai menghampirinya ke warung Mie Ayam tempat dia bekerja sepulang sekolah untuk bertanya apakah nanti malam Ibunya akan mengambil pekerjaan lainnya atau akan berada di rumah.
"Memangnya ada apa, kok tumben tanya Ibu mau pulang atau pergi lagi. Biasanya kamu nggak pedulianan gitu mau ada Ibu atau nggak di rumah." Marsih menanggapi pertanyaan anak remaja laki - laki semata wayangnya itu dengan santai sembari menyelesaikan pekerjaannya yang setiap detik seperti kian menumpuk terus ditambah oleh istri dan anak pemilik warung mie ayam.
Dia maklum saja, memang di jam - jam segini lah pekerjaannya akan amat banyak karena ini masuh jam makan siang. Tapi tak lama. Paling nanti jam dua, sudah kembali sepi lagi, masih ada beberapa orang datang tapi tak banyak sekaligus. Dan nanti menjelang jam lima, mereka biasanya sudah tutup karena pemilik Mie Ayam meskipun amat laris, tak pernah mau aji mumpung dan menambah stok dagangannya hingga berkali - kali lipat.
"Tanya aja, soalnya nanti Farhan mau belajar kelompok lagi." Anaknya menjawab.
"Le, Farhan. Ini buruan dimakan, Le. Mumpung masih panas. Ayo. Pasti lapar, tho pulang sekolah panas - panas gini." Istri si pemilik warung mie ayam datang ke belakang tempatnya mencuci sambil membawa baki berisi satu mangkuk mie ayam dan segelas es teh.
"Ya Allah Bu Haji, repot - repot. Farhan ada makanan kok, di rumah, Bu."
"Halah, ndak papa, Sih. Sekali - sekali. Ayo, buruan dimakan nanti keburu dingin."
Farhan melirik Ibunya dengan ringisan tak enak setelah si pemilik warung masuk lagi ke dalam. "Maaf, Bu." Katanya.
Marsih menghela nafasnya dalam. "Ya sudah, dimakan. Sudah dibikinin. Nanti malah mubadzir."
Sementara Anaknya Farhan makan, dia melanjutkan pekerjaannya. Karena inilah, dia melarang Faehan untuk mampir setiap hari. Tapi kebetulan Farhan juga bukan orang yang suka meminta dan dikasih, jadi kali ini dia membiarkannya saja. Mungkin karena dibiasakan dari kecil. Dia memang kesusahan, Terutama setelah perceraiannya, dan Ayah Farhan hampir memblacklist nya dari segala macam pekerjaan bergaji lumayan di luar kampung ini. Itulah yang membuatnya tak bisa ke mana - mana. Tapi dia tak mengajarkan Farhan untuk bermental miskin.
Sekuat tenaga dia menghidupi anaknya dari bayi hingga sebesar ini. Memastikan semua kebutuhan Farhan terpenuhi agar Farhan tak minder bergaul dengan temannya saat besar nanti.
Dia juga berusaha menyekolahkan Farhan di tempat terbaik sesuai dengan usahanya agar nantinya, Farhan bisa memiliki kehidupan yang lebih baik darinya.
"Belajar kelompok keluar lagi? Sama Hamdan lagi?" Dia kembali ke topik setelah dilihatnya Farhan selesai makan.
Dengan tangan liatnya, Farhan mengusap cemong sisa mie ayam di sudut bibirnya. Lalu beranjak menghampiri Ibunya untuk mencuci tangan. Dalam hati Marsih selalu bersyukur tiada tara karena Farhan bisa tumbuh dengan baik sejauh ini. Satu lagi yang membuatnya bangga adalah, Farhan tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan berjiwa besar. Punya sopan santun dan tak urakan.
"Nggak sama Hamdan Bu. Sama teman yang beda lagi. Niatnya mau di rumah. Tapi katanya kalau ada Ibu mereka nggak enak. Makanya ini Farhan mau memastikan. Kalau Ibu pulang, berarti Farhan ijin keluar lagi."
"Kenapa nggak jadi kalau ada Ibu? Nggak papa, kok. lagian malam - malam mau pergi ke mana?" Marsih mengernyitkan alisnya.
"Nggak tau, Bu. Nggak enak katanya. Kalau mereka semuanya begitu, Farhan bisa apa." Farhan mengangkat bahunya.
"Keluarnya ke mana?" Marsih tau kalau Farhan benar. Seteguh - teguhnya dan sepatuh - patuhnya Farhan padanya, anaknya itu pasti akan susah untuk melawan arus pertemanan mereka.
Sekencang dan erat apapun dia mencoba mendekap Farhan, melindunginya dari pergaulan yang tak bagus, dia tahu, Anaknya pasti akan melawan di satu titik tertentu entah bagaimana caranya. Dia sudah tahu hari ini akan terjadi. Hanya saja, membayangkan dan menghadapi langsung adalah dua hal yang berbeda, dan meskipun dia sudah punya rencana begini begitu untuk Farhan, saat itu semua tak bisa dia utarakan.
"Nggak tau, Bu. Mungkin ke angkringan sebelah stadion, atau kalau nggak ke daerah Kopi Laras. Farhan ngikut aja ke mana maunya mereka. Soalnya kalau Farhan yang ikut, biasanya pada nggak setuju."
Lagi - lagi si ibu mendesah. "Ya sudah. Kamu ada uang nggak?"
"Masih ada kok, Bu. Kalau cuma buat beli es teh, Farhan masih ada tabungan."
"Pulang sebelum jam sepuluh, ya."
"Jam sebelas?"
"Han..."
"Iya, diusahakan, Bu, ya."
***
Dia habis nekad untuk mendatangi ibunya di warung mie ayam tempatnya bekerja untuk meminta ijin keluar lagi malam ini. Kali ini dia sudah tak ragu - ragu lagi saat berbohong pada Ibunya. Masih berasa bersalah, tapi tak sampai membuat perutnya mulas dan dadanya sesak. Hanya seperti dicubit saja di bagian tengah perut. Bisa dia kendalikan.
Malam ini sebenarnya tak ada aksi yang akan dihelat. Tapi mereka ada kumpul - kumpul biasa. Tak apa untuk tak ikut sebenarnya, tapi Rolis dan beberapa punggawa Moxy memintanya untuk datang agar mereka bisa mengobrol dan lebih akrab lagi. Itulah sebabnya dia meminta ijin keluar. Alasannya pun macam - macam. Dia masih belum kreatif membuat alasan. Tapi setaunya, alasan - alasan tersebut yang paling aman.
Untungnya, kali ini pun ibunya mengijinkan. Dia bisa saja mengendap - endap keluar, tapi tak akan mudah jika Ibunya ada di rumah, jadi, sekalian saja dia ijin. Meskipun alasannya bohong, yang penting dia dapat ijin dulu untuk keluar malam hari.
"Ya sudah, udah sore. sana pulang. Ibu kan masih harus kerja."
Farhan mengangguk. Sudah lega karena dia sudah mendapat ijin dari Ibunya.
Dia beranjak dari bangku yang sedari tadi dia duduki dan menghampiri Ibunya.
"Ya, Bu. Farhan pulang dulu. Assalamu'alaikum." Dia pamit dan mencium tangan Ibunya.
"Waalaikumsalam,"
Bagi Farhan, hal - hal seperti mencium tangan Ibunya, mengucap salam dan yang lainnya, bukan berarti dia anak baik atau anak yang sopan. Dia melakukannya hanya kerena dia terbiasa. Ibu, Eyang dan Kakung mengajarinya hal - hal seperti itu sejak dia masih amat kecil. Mereka tak membiarkan Farhan lupa walaupun hanya sekali untuk melakukannya.
Dia tak peduli juga meskipun oleh teman - temannya dia dibilang anak Mama. Memang apa salahnya salim dan segala hal lainnya dengan Ibunya sendiri. Toh tak ada hukum dan norma yang dia langgar. Dia juga pamit pada pemilik warung dan istrinya di dalam warung yang mulai sepi.
"Ini, buat jajan."
"Eh, Pakdhe, jangan. Nggak usah." Tolaknya saat si pemilik Warung menyelipkan pecahan uang lima puluh ribu ke tangannya setelah salim. Dia berusaha mendorong balik, menolak.
Farhan nggak mata duitan meskipun dia hidup pas - pasan dan sederhana sejak kecil. Malah sebaliknya, dia nggak suka diberi sesuatu oleh orang lain secara cuma - cuma begini. Apalagi kalau Ibunya tau, dia pastu akan dimarahi habis - habisan. Ibunya akan berkata, kita boleh miskin, tapi mentak kita tak boleh ikut miskin. Begitu kira - kira, Lagipula, seperti yang dia katakan pada Ibunya tadi, dia masih punya uang saku.
"Ndak papa, Le. Itung - itung ini ucapan terima kasih kami pada Ibumu yang sudah rajin dan setia kerja sama kami. Ayo, terima saja."
Karena terus - terusan dipaksa, dan nggak enak karena dilihatin beberapa orang yang berada di sana, dia akhirnya mengalah. Dia pulang dengan menngayuh sepedanya pelan menuju ke rumahnya.
"Han!"
Da menoleh saat seseorang memanggil namanya. Ternyata itu Panji.
"Oh, Mas Panji. Gimana, Mas?"
"Nanti malam jadi ikut, kan?" Panji berbisik padanya setelah lirik kanan kiri. Takut ada yang menguping.
Farhan pun melakukan hal yang sama sebelum menjawab. Diacungkannya salah satu jempolnya sebelum jawabnnya terucap. "Beres, Mas. Tapi paling nggak bisa kalau lama - lama. Besok masih sekolah, Takut kelempon (kesiangan)."
"Ya nggak papa yang penting kamu ke sana karena mereka mintanya begitu. Nanti bareng aku aja naik motor, Tak jemput jam setengah delapan, oke?"
"Ada apa, sih Mas? Kok aku harus dateng?"