"Kau, tidak punya hati nurani!" Terdengar jeritan di antara isak tangis seorang wanita tua, yang duduk bersimpuh dilantai tanah.
Alisha melangkah tergesa-gesa, menerobos empat orang pengawal yang berjaga di pintu dengan panik.
Apa yang dia saksikan adalah neneknya yang telah merawatnya dari kecil sedang menangis sambil menangkupkan kedua tangannya di wajah.
Mendidih darah Alisha, begitu tahu bahwa neneknya telah dipukul. Dia berbalik dan dengan marah berkata,
"Kau b******n tengik, untuk apa kau pukul wanita tua? apakah dengan memukul wanita tua, utang-utangnya lunas? Kau ...."
Alisha melayangkan tinju dalam sepersekian detik dan Bug, tinju Alisha mendarat sempurna tepat diantara bibir dan hidung Jafar.
Jafar adalah seorang preman yang menguasai wilayah kumuh di kota ini, dari ujung timur hingga barat. Dia juga seorang rentenir kejam yang tak segan-segan membunuh siapa pun yang membangkang kepadanya.
Darah segar mengintip keluar dari sudut hidung Jafar. Suasana begitu tegang, bahkan nenek Alisha seketika menghentikan tangisnya dan bengong seperti merasa linglung.
Jafar menyeringai dengan bola mata bergerak cepat, seakan hendak menerkam Alisha. Dia melangkah perlahan, satu tangannya merobohkan barang-barang hingga berjatuhan, sorot matanya tajam menatap lurus Alisha.
Tanpa gentar sedikitpun, Alisha menatap balik dengan garang. Alisha tidak takut mati. Baginya hidup adalah hanya buang waktu dan napas. Tidak ada satupun yang ditakutinya di dunia ini.
Wajah Jafar mendekat, jaraknya hanya lima senti meter dari wajah Alisha, dua jarinya mencubit dagu Alisha, mengangkatnya hingga Alisha tengadah, lalu dia berujar,
"He he he ... utang nenek kamu dianggap impas asal kamu ikut dan jadi istriku yang ke lima. Tapi sebelum itu, aku akan membayar utang bogem kamu dengan ...."
Tanpa menyelesaikan kalimatnya, Jafar meremas rambut tebal Alisha dan mendorong kepala Alisha ke depan, lalu mencium bibir Alisha dengan kasar.
Mendapat serangan dan pelecehan secara tiba-tiba, membuat Alisha mendapat kekuatan lebih, hingga dia mampu mendorong tubuh Jafar dan melayangkan tendangan tepat di antara s**********n Jafar.
Dengan gerakan cepat dan gesit Alisha menarik tangan neneknya, setengah menyeret tubuh neneknya ke arah belakang yang jaraknya hanya dua meter saja dari tempat kejadian.
Sementara Jafar mengerang kesakitan dan pengawalnya sibuk mengeluarkan Jafar dari tempat sempit tersebut. Alisha dan neneknya menghilang di kegelapan malam.
Jafar bertekad, sampai ke ujung dunia mana pun, Alisha Diandre harus menjadi mainan miliknya.
"Bermain-mainlah merpati kecilku, akan kukejar kau sampai mati. Titik." Tekad Jafar di dalam hatinya.
Alisha membawa neneknya Ibu Hamidah terhuyung-huyung, menaiki Bis dalam kota yang sudah tua dan lusuh. Bis terakhir yang beroperasi malam ini.
Alisha menggenggam erat tangan sang nenek yang masih diam seribu bahasa. Perlahan Alisha menyandarkan kepala di bahu neneknya. hatinya begitu sedih, tapi dia sudah tidak bisa menangis. Kekerasan dan penderitaan demi penderitaan di sepanjang hidupnya, telah menguras habis air matanya.
Begitu pun nenek renta yang sangat memahami perasaan satu-satunya cucu kesayangan, hanya berdiam diri, seolah-olah, komunikasi dalam diam mereka telah cukup dipahami dengan baik.
"Dawai, dawai, dawai ...." Seru kondektur Bis dengan kencang, memberitahukan kepada penumpang yang hanya sembilan orang di dalam bis bahwa mereka telah sampai di pemberhentian daerah Dawai, yang merupakan tujuan Alisha.
Alisha bangkit dari tempat duduknya, memapah neneknya untuk segera turun dari bis, setelah memberikan uang recehan untuk membayar tumpangan.
"Nek, kita akan berjalan kaki dari sini sekitar satu kilometer, nenek sanggup?" Bisik Alisha yang dibalas anggukan lemah oleh Ibu Hamidah.
Hembusan angin malam terasa menyiksa bagi nenek yang mengenakan daster lusuh, sementara Alisha hanya mengenakan T-shirt dan celana jeans. Sadar tidak mengenakan jaket yang bisa disandarkan ke tubuh neneknya yang renta, Alisha memeluk erat sang nenek sambil memapahnya berjalan dengan sangat pelan.
Menyusuri jalan raya, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil, mereka terus berjalan dalam diam. Sampai akhirnya mencapai sebuah gang kecil, mereka memasuki gang itu, tak lama, mereka sampai ditujuan.
Sebuah rumah sederhana, dengan lebar muka tak lebih dari tiga meter, dengan ukuran teras setengah meter, Alisha mendudukkan neneknya di tembok pembatas teras, lalu dia mengetuk pintu rumah itu. Ya, dia datang ke rumah kontrakan sahabat karibnya, satu-satunya orang yang masih menganggap Alisha adalah manusia.
Teman masa kecil yang terpisah karena kepindahan orang tuanya. Kini sahabatnya itu telah berumah tangga dan tengah mengandung anak pertama.
Meilani samar-samar mendengar ketukan pintu, antara sadar dan tidak, seolah-olah ketukan pintu itu datang dari mimpi. Tapi semakin lama semakin jelas dan dia tersadar. Ada yang mengetuk pintu rumahnya. Meilani membangunkan suaminya, Fado.
"Mas, bangun. Ada tamu, siapa kira-kira ya Mas?" Sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fado, yang langsung terjaga.
Tanpa bicara apa pun langsung beranjak dari kamar kecilnya menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.
Meilani mengekor di belakang dan betapa kagetnya dia menyadari bahwa sahabatnya yang datang tengah malam dengan wajah lusuh.
Seketika Meilani menyadari sesuatu, ada masalah berat yang tengah dihadapi sahabatnya. Meilani semakin ternganga begitu melihat sosok nenek sahabatnya, dengan gerakan refleks, dia segera mendekat dan merangkul nenek lalu dibawanya masuk ke dalam rumah.
.....
Di sebuah Vila megah, di atas bukit. Sisi timur menampilkan pemandangan kota, yang menjadi pemandangan indah di malam hari, menyaksikan taburan kerlip lampu-lampu kota. Sisi barat menampakkan pemandangan gunung dan lembah yang akan terlihat menakjubkan di pagi dan sore hari.
Seorang wanita muda dengan tubuh tinggi dan ramping bagai model, berparas cantik dengan sorot mata yang manja. Terlihat jelas seseorang yang telah menjalani seluruh kehidupannya dalam gelimang uang. Tengah merajuk kepada seorang lelaki muda yang tampak tak acuh.
"Mas Bram, please, demi hubungan kita, demi keluarga kita, please, mas harus bikin rencana dan nentuin tanggal untuk acara pertunangan kita mas, please ...." Rajuknya.
"Hubungan kita? hubungan macam apa? kakak-adik maksudnya?" Erang Bramantyo Laksono dengan kesal.
Kekesalan Bramantyo bermula saat tahu bahwa sejak kecil kedua orang tuanya dan orang tua dari Sisca Wardoyo telah menjodohkan mereka. Parahnya, masing-masing orang tua menganggap perjodohan itu lancar-lancar saja, karena Bramantyo dan Sisca selalu bersama-sama kemana-mana, bagaikan dua sejoli yang dimabuk cinta.
Bramantyo kini menyesal, andai dia tahu lebih awal perihal rencana perjodohan itu, tentu dia tidak akan pernah mau ditempel terus oleh Sisca Wardoyo.
"Mas!". Jerit Sisca, merasa tidak berdaya.
Sisca bukan wanita lugu dan bodoh. Dia paham betul kalau Bramantyo tidak pernah punya rasa kepadanya. Selama ini Bramantyo hanya menganggap Sisca sebagai adik kedua. Tapi Sisca tidak peduli.
Sejak SMP, dia telah mengagumi Bramantyo, membawa sosok Bramantyo ke dalam khayalan dan ilusinya, sampai tergila-gila.
Dan setelah dewasa, perasaan itu semakin mengikatnya, hingga dia bertekad kalau Bramantyo harus menjadi miliknya. Menikahinya. Tidak ada satupun wanita di dunia ini yang pantas menjadi istrinya Bramantyo selain dirinya bukan? mereka satu level dalam segala hal.
Bramantyo menghela napas berat.
"Pulang sana, aku mau tidur." Nadanya penuh perintah.
"Gak mau pulang. aku mau di sini sampai mas nentuin tanggal buat hari pertunangan kita." Jawab Sisca keukeuh.
"Silakan. I don't care.". Ketus Bramantyo sambil berlalu meninggalkan Sisca yang ternganga.
Seingatnya Bramantyo tidak pernah seketus itu padanya. Diam-diam, sebutir air mata bening bergulir dari sudut mata Sisca Wardoyo. Entah kenapa, meskipun tahu bahwa Bramantyo tidak pernah mencintainya, tapi mengalami keketusan Bramantyo kepadanya makin menyadarkan dia kalau Bramantyo benar-benar tidak menganggapnya sebagai kekasih, membuat hatinya merasa teriris, perih.
Braakk... Pintu dibanting keras. Bramantyo merasa kesal sampai ke ubun-ubun. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak pernah benar-benar menyukai Sisca Wardoyo, seorang yang hanya tahu cara menghambur-hamburkan uang, egois, manja dan suka memaksakan kehendak. Bramantyo benci dengan sifat-sifat yang dimiliki Sisca, kalau saja bukan teman masa kecil, kalau saja kedua orang tua masing-masing tidak bersahabat, kalau saja tidak ada ikatan bisnis yang panjang dan berbagai kalau saja lainnya berkecamuk dalam benak Bramantyo.
Bramantyo menghempaskan diri diranjangnya yang empuk dan nyaman. Badannya lelah setelah perjalanan bisnis dari luar negeri, langsung menerima rengekan Sisca yang tak masuk akal baginya. Membuatnya semakin merasa lelah.
Tiba-tiba dia teringat seorang wanita yang cukup menarik dipandang, yang baru saja diperkenalkan oleh pengacara pribadinya. Ya, Sofia, salah satu kandidat dalam kontes arsitek paling berbakat yang diselenggarakan oleh perusahaan multi properti yang kini berada di tangan Bramantyo. Lalu sebuah ide melintas.
"Hm ... Bagus juga. kenapa gak kuajak kerja sama saja untuk berpura-pura menjadi pacarku. Menarik. Ya, cukup menarik." Pikir Bramantyo.
Akhirnya Bramantyo terlelap. Segaris tipis senyum Tampak di permukaan wajahnya yang lelah. Dalam perawakan yang gagah, Bramantyo terlihat semakin ganteng kala tertidur.
.....
Disisi lain kota, Alisha baru saja meninggalkan Meilani setelah bercerita panjang lebar.
Dia mendapati neneknya yang telah tertidur. Alisha menatap lekat wajah tua yang garis-garisnya seolah menceritakan semua kepahitan hidup. Alisha Diandre, sejak kecil diasuh oleh tangan yang renta ini dari hasil memulung.
Beruntung, Alisha bisa sekolah sampai rampung SMA, sebagian besar atas bantuan dari orang tua sahabatnya, Meilani.
Selepas SMA, Alisha mencoba melamar pekerjaan dengan ijazahnya.
Penolakan demi penolakan diterimanya ketika mereka tahu kalau tempat tinggal Alisha di daerah petinggi. Semua orang tahu, daerah petinggi adalah satu-satunya daerah yang dihuni oleh para pemulung di ibukota ini.
Pemulung identik dengan kriminal. Pemulung jenis pekerjaan yang paling hina yang pernah ada. Pemulung adalah kosa kata yang ampuh membuat orang lari terbirit-b***t untuk menghindar. Seolah-olah pemulung adalah raja dari segala raja bibit penyakit.
Akhirnya Alisha hanya bisa mengerjakan pekerjaan serabutan. Seringnya jadi kuli kasar di pasar di tempat Fado dan Meilani membuka kios berjualan Beras dan kebutuhan sehari-hari.
Alisha Diandre, lahir dua puluh lima tahun yang lalu, dari perkawinan campuran antara Eropa dengan wanita lokal. Di sebuah kota kecil yang sejuk. Yang terkenal dengan kecantikan dan kemolekan tubuh para wanitanya.
Tidak heran kalau Alisha Diandre tumbuh menjadi wanita yang wajahnya super keren, dengan tubuh sintal menggoda. meskipun perawakannya sedang tapi tidak termasuk pendek. Kakinya cukup jenjang dengan bentuk betis yang melengkung sempurna. kulitnya kuning langsat keputih-putihan, berhidung lancip dengan bola mata besar dan bulat indah. sehingga secara keseluruhan, pesona Alisha Diandre jauh di atas para artis papan atas yang hanya hasil polesan sana-sini.
Hanya Meilani dan orang tuanya yang masih menerima Alisha sehingga Alisha merasa dimanusiakan. Ratusan kali Alisha mendapatkan pelecehan seksual di sepanjang hidupnya. Ratusan kali juga Alisha mendapat kekerasan secara verbal dan fisik dari setiap lelaki dilingkungannya.
Tidak ada yang benar-benar memperlakukan Alisha dengan baik kecuali neneknya. Alisha telah tumbuh dengan paradigma bahwa lelaki adalah makhluk biadab tidak bermoral. sehingga yang dilakukannya tidak ada kebaikan selain kejahatan.
Alisha takjub dengan sikap Fado yang selalu sopan dan menjaga jarak dengannya. Apakah karena takut oleh Meilani?
Kalau bukan karena Meilani, mungkinkah Fado sikapnya akan sama dengan yang lain dalam memperlakukan dirinya?
Begitulah paradigma dan kecurigaan Alisha telah saling terkait. Sehingga dia tidak pernah mempercayai manusia lain selain neneknya dan Meilani. Alisha merebahkan diri di samping nenek dengan sangat hati-hati. Batinnya mengeras. Diam-diam dia berharap, jika neneknya mati, maka dia ingin ikut mati. karena dunianya hanya ada nenek. Alisha menutup mata, membiarkan kantuk menguasai dirinya.
.....
Tiga jam telah berlalu, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara dingin makin menusuk. Sisca Wardoyo dalam balutan gaun tipis setengah menerawang, belum beranjak dari tempat dia merajuk kepada Bramantyo. Hatinya masih terasa bagai diserbu ribuan jarum kecil.
Lampu-lampu dari tiap sudut kota yang biasanya dia nikmati dengan sebotol Wine sambil menemani Bramantyo, kini lampu-lampu itu seakan menertawakan dirinya.
Dalam perasaannya yang berkecamuk, Sisca Wardoyo semakin terpuruk akan skenario kehilangan Bramantyo.
"Tidak!" Tegasnya.
"Sebelum tubuhku berkalang tanah, Bramantyo, maka, akan kupastikan sisa hidupku untuk mengejar kamu, sampai mati!"
Tiba-tiba, tubuh Sisca oleng, kehilangan pijakan dan Bruk, Sisca terjatuh pingsan, dengan kepala menghantam pinggiran meja kayu jati yang tebal. Tidak ada seorang pun yang melihat. Sisca ambruk dengan kulit kebiruan karena cuaca begitu dingin.
Bramantyo tersentak dan terbangun dari tidurnya. Mimpinya tentang pesawat terbang yang jatuh dan dia salah satu penumpangnya. Saat menukik kencang ke bawah. Mendadak dia teringat Sisca Wardoyo.
Bramantyo segera bangkit dan setengah berlari ke arah balkon timur, di mana dia meninggalkan Sisca untuk tidur. Tapi Bramantyo tidak menemukan sosok Sisca di sana.
Bramantyo mengira Sisca sudah pulang, merasa lega. Tapi sudut matanya menangkap sesuatu saat tubuhnya memutar arah. Sesuatu samar-samar berwarna putih yang bergerak-gerak dihempas angin. Diterangi cahaya lampu suram yang dipantulkan pintu kaca bagian bawah. Bramantyo ingat itu adalah lambaian gaun tipis Sisca.
Dengan jantung berdegup kencang, mengambil langkah selebar mungkin, Bramantyo dalam sekejap sudah sampai ke lokasi di mana Sisca tergeletak.
Bramantyo segera berlutut meraih bahu Sisca dan menggendongnya masuk ke dalam. Warna kulit Sisca semakin menggelap. Di luar udara sangat dingin.
Bramantyo bergegas masuk ke kamar tamu untuk membaringkan Sisca dan membuat api penghangat ruang. Alangkah kagetnya Bramantyo ketika melihat ada noda darah di lengannya. Seketika dia memeriksa kepala Sisca dan menemukan sumber di mana darah keluar.
.......
Siang begitu terik. Cermin sebuah kota besar di negara ini, polusi udara yang tercemar menggulung di antara gedung-gedung pencakar langit. Kemacetan adalah irama yang menggelayuti jalanan.
Alisha Diandre termenung di pinggiran jalan, hari ini semestinya dia pergi ke pasar untuk bekerja. Tapi neneknya mendadak demam, dia terpaksa harus menemani dan merawatnya.
Menjelang siang, kondisi nenek makin parah, atas dorongan dari Meilani, Alisha terpaksa membawa nenek ke Puskesmas yang berfasilitas rawat inap. Untuk dirawat di sana. Sayangnya, karena kondisi ruang rawat inap sangat terbatas, Alisha tidak diperbolehkan untuk tinggal.
Alisha seorang yang tegar dan kuat, kecuali segala hal tentang neneknya, dia begitu rapuh. Kekerasan hatinya mendadak sirna.
Sementara dari sebuah mobil mewah yang sedang ikut larut dalam kemacetan, sepasang mata tak berkedip menatap sosok wanita muda yang sedang melamun dipinggir jalan dengan posisi berdiri, tak acuh dengan hiruk pikuk sekitar. Seakan tenggelam begitu dalam pikirannya.
Bramantyo Laksono, di atas mobilnya yang mewah dan nyaman, jantungnya berdegup kencang, matanya hampir tak berkedip melihat sosok wanita muda kumuh yang sedang termenung. Mobilnya perlahan maju, melewati Alisha bagai adegan slow motion. Bramantyo tidak menyadarinya, matanya terus menatap Alisha sampai kepalanya berbalik seiring laju mobil yang makin menjauh.
Ketika Bramantyo sadar apa yang harus dilakukannya, sudah terlambat. Wanita itu sudah menghilang.
"Stop! Praja Stop. Berhenti!". Teriak Bramantyo kepada Asisten pribadinya yang hari ini sengaja diminta untuk mengantar Bramantyo.
"Ya, bos". Ujar Praja patuh sambil memelankan gas mobil dan menghentikan mobil dipinggir jalan.
Sebelum mobil berhenti dengan sempurna, bagaikan kilat, Bramantyo membuka pintu dan melesat keluar, berlari ke arah kemacetan tadi.
Tentu saja tingkahnya membuat Praja panik. Dia segera berlari menyusul Bramantyo sambil kebingungan.
"Bos kenapa ya? kok bersikap aneh gini.". Batinnya.
Sesampainya di tempat Alisha termenung, Bramantyo tidak menemukan siapa-siapa. Perasaannya begitu terasa hampa dan kecewa. Bramantyo berputar-putar mencari-cari sosok Alisha. Sadar bahwa wanita itu telah pergi jauh, membuat Bramantyo berjongkok dengan rasa yang tidak karuan sambil mengacak-acak rambutnya.
"Bos, maaf bos. Bos cari apa?". Praja bertanya sambil terengah-engah karena berlari kecil menyusul Bramantyo.
Bramantyo tidak menjawab, pandangannya tertuju pada satu titik di seberang jalan. Di sana ada sekumpulan kecil orang-orang yang sedang mengerumuni sesuatu.
"Jangan-jangan.. perempuan tadi.. soalnya.. tadi dia tampak punya beban masalah berat." Batin Bramantyo sambil tanpa sadar, kakinya melangkah menyeberangi jalan, yang sebenarnya jalan itu tidak diperbolehkan untuk menyeberang.
"Bos, Bos, Bos.. ". Praja dengan kebingungan yang teramat sangat mencoba menyadarkan Bramantyo sambil ikut berlari untuk menyeberangi jalan.
"Ah, sial nih, kalau ada polisi gimana ini". Praja menggerutu.
Semakin dekat dengan kerumunan, semakin berdegup kencang jantung Bramantyo, semakin yakin bahwa telah terjadi sesuatu terhadap sosok wanita itu.
Seketika Bramantyo terkesiap, setelah nyata matanya benar menangkap sosok wanita yang telah membuat jantungnya olah raga itu, terkapar di jalan dengan darah segar menggenangi lengan kanannya.
"Prajaaa.. !!". Bramantyo berteriak setengah histeris, sehingga membuat orang-orang yang berkerumun terlonjak kaget.
"Ya bos. Siap bos. Siapa ini bos?" Tanya Praja sambil mengatur nafas dengan susah payah.
"Panggil Ambulans, Cepat. Panggil Tatang, suruh cepat kesini!". Perintah Bramantyo kepada Praja.
"Segera bos.". Praja langsung sibuk menelepon Tatang. Kepala sopir di Rumah Sakit Sehat Waras yang merupakan salah satu Rumah Sakit milik keluarga Bramantyo.
Bramantyo, tanpa ragu berjongkok dan mengelus kepala Alisha yang masih tidak sadarkan diri. Entah kenapa hatinya merasa hancur melihat Alisha, wanita yang sama sekali tidak dikenalnya itu terkapar menjadi korban tabrak lari.
Orang-orang yang berkerumun, satu persatu meninggalkan lokasi, mereka pikir sang korban sudah ada yang menolong.
Tidak berapa lama Ambulans dengan dokter dan perawat datang dan segera memberikan pertolongan pertama kepada Alisha.
Bramantyo loncat ke dalam Ambulans, menempatkan diri di samping kepala Alisha. Tentu saja sikapnya ini membuat heran dan ternganga semua orang, terutama Praja. Yang ditinggal begitu saja tanpa ucapan apa pun dari Bramantyo di pinggir jalan.
Di ruang VVIP, Bramantyo memindahkan tumpukan berkas, tiga laptop, lima telepon genggam dan sekretaris utama yang mondar-mandir dari Kantor pusat ke Rumah Sakit.
Sontak merebak gosip berbagai macam sesuai rekaan masing-masing orang di tiap departemen di Rumah Sakit maupun di Kantor pusat.
Hari kedua Alisha dirawat dan masih belum sadarkan diri. Bramantyo tidak sanggup melepaskan pandangan dari wajah Alisha.
Berdasarkan identitas tanda pengenal, Bramantyo telah mengetahui sedikit tentang Alisha. Namun, Bramantyo telah tahu lebih banyak tentang Alisha setelah dia menyuruh pengacaranya, Bimo, untuk melacak Alisha. Bahkan nenek Alisha telah dipindahkan ke rumah sakit yang sama untuk mendapatkan perawatan secara intensif.
"Alisha...". Lirih Bramantyo, sambil mengelus pipi Alisha yang lembut.
"Apakah kamu jawaban Tuhan untukku?". Gumamnya.
"Aku tidak mengerti kenapa hatiku langsung tertambat padamu saat pertama melihatmu". Lanjutnya.
"Aku tidak pernah merasa seperti ini kepada perempuan mana pun".
"Dan kenapa kamu begitu indah bagaikan dipahat oleh tangan Tuhan langsung?". Bramantyo berucap sambil merasa geli sendiri.
Bukankah ucapan terakhir terdengar berlebihan? Tapi itulah sejujurnya yang dirasakan oleh Bramantyo.
Jemari tangan kanan Alisha berkedut. Bagai dalam mimpi Alisha mendengar ucapan Bramantyo, mendadak ada rasa mual yang samar.
Alisha berjuang keras untuk bangun. Semakin merasa sadar, Alisha semakin merasakan sakit di kepala bagian belakang dan di lengan kirinya.
Alisha tiba-tiba teringat neneknya yang sedang sakit, butiran air mata berlomba keluar dalam kondisi mata masih tertutup. Ajaib. Alisha bisa menangis lagi.
Bramantyo tersentak kaget melihat butiran air mata di pipi Alisha. Sontak tangannya meraih tombol panggilan darurat di atas tempat tidur pasien. Bramantyo panik dan kalut, Alisha pasti sangat kesakitan.
Dokter didampingi perawat bergegas masuk ke ruangan Alisha. mereka memeriksa dengan seksama.
"Hasil operasi tangannya baik, kesadarannya mulai pulih, tapi fisiknya masih butuh istirahat". Dokter menjelaskan.
"Maksudnya kesadarannya mulai pulih?". Bramantyo bertanya.
"Ya, Alisha sudah mampu mendengar sekelilingnya, namun fisiknya masih belum mampu untuk bangun". Jelas dokter sambil tersenyum.
Bramantyo hampir terlonjak saking senangnya.
"Terima kasih dok. Terima kasih" Ucap Bramantyo.
Alisha merasa kebingungan. Tidak ada satu pun suara di sekitarnya yang dikenalinya.
"Mereka siapa?"
"Aku berada di mana?"
"Ya Tuhan, Nenek gimana?"
"Aku dengan siapa di sini?"
"Rasanya sakit sekali semua badanku."
"Kenapa aku gak bisa membuka mataku?"
"Siapa orang yang begitu wangi yang selalu bicara padaku?"
"Ya Tuhan, aku sangat takut"
Air mata kembali menyeruak dari kelopak mata Alisha. Kali ini begitu deras.
Di ruangan lain, tampak Praja sedang bicara serius dengan seorang dokter yang memakai jubah putih selutut.
"Kami telah menjadwalkan operasi, tapi sebelumnya kami butuh keluarga pasien untuk menandatangani persetujuan operasi." Sela dokter yang dibalas anggukan Praja dengan cepat.
"Baik dok, saya segera siapkan" Praja menjawab.
"Baiklah, sementara saya kembali untuk memeriksa pasien lain." Pamit dokter.
"Terima kasih dok" Praja mempersilahkan dokter itu lewat.
Suara dering telepon terdengar di ruangan Alisha. Bramantyo mengacuhkannya. Pandangannya lurus menatap Alisha lekat-lekat.
Hatinya merasa begitu sedih.
Bramantyo kebingungan dengan apa yang telah dilakukannya pada Alisha yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Dia menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidak, ini tidak salah" Gumamnya.
"Aku tidak ingin kehilangan Alisha dan aku akan berusaha untuk mengenalnya lebih dekat" Janjinya dalam hati Bramantyo.
.