Terik matahari suatu siang di jalanan ibu kota, diselilingi asap knalpot kendaraan yang menyumbang polusi terbesar di negara ini. Kemacetan yang mengular panjang, nampak seperti mobil-mobil mainan dari ketinggian dua ratus meter.
Adalah sepasang mata besar nan indah, memandangi hiruk pikuk lalu lintas dari balik jendela kaca, alih-alih merasa sesak, justru dia merasa lega. Senyum tipis menggurat di kedua sudut bibirnya.
"Nikmatilah kepedihanmu, keparat." Gumam Sisca Wardoyo, sang pemilik bola mata besar nan indah.
"Tunggulah, penderitaanmu tidak akan selesai sampai disini." Lanjutnya penuh dendam.
Pemilik tubuh langsing itu berjalan anggun menjauhi jendela kaca, menghempaskan tubuhnya di atas sofa besar yang mewah. Jemari lentiknya yang berhias kutek warna hitam lengkap dengan hiasan permata-permata kecil berkilauan, memungut sebatang rokok diatas meja, lalu menyambar pemantik api dan menyalakan rokoknya dengan gerakan luwes dan anggun.
Pikirannya menerawang jauh, berkelana diantara rasa sakit atas pupusnya harapan untuk bersatu dengan Bramantyo. Namun ia tidak akan kehilangan arah, ia akan terus berjuang demi untuk mendapatkan Bramantyo, apapun resikonya.
Suara dengung statis dari lift pribadi terdengar, Sisca Wardoyo menoleh dengan mimik wajah ceria.
"Hi beb, aku gak punya waktu banyak lho.. aku... ". Belum sempat mengucapkan kalimat lain saat bibirnya dipagut erat oleh seorang lelaki tegap.
"Hmm... emmh..". Erang Sisca Wardoyo.
Mereka, dua insan berlainan jenis, b******u liar diatas sofa, dengan gerakan tak tentu arah, dselingi erangan-erangan dan ceracau vulgar dari mulit Sisca Wardoyo.
Seketika ruangan tengah disebuah kondominium mewah dilantai lima puluh yang sekelilingnya berdinding kaca tebal, memancarkan aroma m***m yang pekat.
....
Bramantyo terduduk lemas di selasar lantai tiga rumah sakit miliknya. Dua pengawal mengapitnya dengan penuh kewaspadaan.
Tepat sembilan hari dia bekerja, memasak dan tidur di ruang rawat inap demi untuk seorang Alisha Diandre. Kenyataan berkata lain, Alisha Diandre menghilang.
Perintah untuk menyisir setiap sudut wilayah rumah sakit, mengumpulkan data dari CCTV sampai radius lima kilo meter, mengirim satu kelompok orang-orang terpercaya untuk mencari di wilayah Petinggi, tempat tinggal Alisha dan neneknya selama ini, telah ia luncurkan. Hasilnya nihil.
Alisha Diandre seakan lenyap ditelan bumi.
Kecurigaannya bahwa Alisha bukan hilang atas kemauannya sendiri semakin kuat. Sebab tidak ditemukannya petunjuk jejak Alisha. Kepergiannya sangat rapi dan terencana. Tidak mungkin seorang Alisha mampu melakukan itu.
"Aargh,". Teriak Bramantyo tiba-tiba.
"Kalian semua tidak becus!". Kembali Bramantyo berteriak dengan Kesal.
Kemudian Bramantyo berdiri dan setengah berlari menuju Lift, yang dengan bergegas diikuti oleh para pengawalnya.
Bramantyo bertekad untuk menyelidiki sendiri atas hilangnya Alisha Diandre, yang bisa dikatakan hilang di depan matanya begitu saja.
Keluar dari Lift di lantai satu, langkah panjangnya menuju ruang keamanan level empat. Ruang keamanan tingkat utama dimana setiap copyan berkas disimpan. Nyaris tidak akan pernah ada yang luput dari ruang ini, sebab, setiap hasil rekaman CCTV akan ter-copy otomatis bersamaan dengan camera menangkap objek.
Bramantyo memasuki ruangan menggunakan sensor retina mata. Selain Bramantyo dan kepala keamanan serta direktur utama rumah sakit, tidak ada satupun orang yang punya otoritas dengan sensor retina ini.
Kekecewaan Bramantyo semakin dalam, sistem keamanan tercanggih yang dipunya, masih belum bisa diandalkan. Tampak rekaman kosong terhenti selama tiga menit dan serempak di setiap sudut rumah sakit, luar dan dalam gedung.
Braakk... Bramantyo meninju meja dengan keras, titik-titik merah muncul di buku-buku jari, diantaranya kulit terkelupas dan berdarah. Kesadaran bahwa Alisha telah diculik semakin kuat.
"Siapa? Siapa yang berani melakukan ini padaku?". Teriaknya.
"Maaf bos, saya menemukan sesuatu, tepatnya pada jam 11.43 tadi, dari satu CCTV yang luput diganti bos.". Suara kepala keamanan terdengar.
Bramantyo terpana, nyaris tidak percaya ada satu CCTV yang justru menangkap sebuah pergerakan mencurigakan.
Kedua mata Bramantyo nyaris tidak berkedip, dalam gerakan lambat, tangkapan kamera berdurasi duapuluh satu detik itu hanya menggambarkan seorang perawat lengkap dengan topi perawat mendorong kursi roda dengan langkah-langkah panjang dan gerakan penuh percaya diri. Kemudian muncul dua orang dari dalam mobil berjenis Van dengan cepat mengangkat kursi roda berserta pasien yang kepalanya diselimuti oleh jaket hitam. Ketiganya melompat ke mobil hampir bersamaan, dimana mobil langsung melaju dan pintu mobil ditutup saat mobil melaju.
Bramantyo meminta salinan rekaman kepada kepala keamanan. Menyisipkannya dibalik setelan jas.
"Segera beritahu kalau ada perkembangan baru." Perintah Bramantyo kepada kepala keamanan.
"Siap bos". Jawab kepala keamanan dengan mantap dan khidmat sambil sedikit menundukan bahunya tanda hormat dan sedia.
Bramantyo kembali ke ruang rawat inap Alisha, pandangan matanya beredar kesetiap sudut. Mencoba mencari petunjuk.
Sambil berdiri di ambang pintu, Bramantyo menelepon seseorang.
"Pak, tolong bawa alat dan ahli untuk mendeteksi bekas sesuatu dari lantai, meja kursi, ranjang, pintu dan lainnya. Segera sekarang juga ke rumah sakit." Bramantyo memerintah orang kepercayaannya dari labolatorium forensik miliknya.
Bramantyo merasa lemas, lalu terduduk dilantai.
"Sayangku Alisha, siapa yang membawa kamu pergi?" Bramantyo membathin.
.....
Seorang lelaki berpakaian ketat berwarna gelap, memakai topi, berjalan santai menjauh dari rumah sakit.
Menyetop angkutan kota yang kosong dari penumpang, lalu naik dan membungkuk berjalan kearah belakang, lalu duduk dipojok angkutan kota.
Dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, kemudian menyimpan bungkusan itu dengan hati-hati di bawah tempat duduknya.
Tepat ketika angkutan kota berhenti untuk mengangkut penumpang lain, seorang ibu muda menggendong anak kecil yang usianya belum genap satu tahun. Perempuan itu duduk tepat di depan penumpang lelaki berpakaian gelap.
Tidak lama kemudian, lelaki itu berteriak stop kepada supir. sebelum angkutan kota berhenti dengan sempurna, dia melompat ringan sambil melemparkan satu lembar uang lima ribu kepada supir dan dalam sekejap sudah menghilang di keramaian.
Ibu muda dengan anak balitanya berpindah tempat duduk, menempati tempat duduk lelaki yang telah turun. Tujuannya agar tidak sampai kelewatan tempat yang akan ditujunya. Tanpa dia sadari, putrinya yang telah bisa berdiri dan melangkah satu dua langkah itu, mengambil bungkusan kecil yang menarik matanya, saat ia meluncur turun dari pangkuan ibunya.
Karena guncangan dalam angkutan kota akibat jalanan yang rusak, ibu muda refleks mengangkat putrinya untuk dipangku kembali. Bungkusan kecil di genggaman tangan si anak terlepas, bungkusan itu mendarat mulus di tas ibunya yang terbuka, yang diletakkan disamping paha ibunya.
......
Praja bergegas setengah berlari, melewati lorong-lorong panjang rumah sakit, menuju ruang rawat inap VVIP tempat nenek Alisha Diandre di rawat.
Disana telah ada satu orang dokter dan dua orang perawat. Tampak dokter tengah menyuntikan sesuatu ke lengan Ibu Hamidah, nenek dari Alisha Diandre.
Setiap gerakan yang dilakukan oleh dokter dan perawat merujuk pada satu hal yaitu penyelamatan.
"Maaf, pasien tidak dapat tertolong." Dokter muda itu menoleh kepada Praja.
"Apa yang terjadi?". Kejar Praja kebingungan.
"Pasien tiba-tiba sesak nafas, padahal kondisinya sangat prima karena telah dipersiapkan untuk tindakan operasi."
Pintu ruang rawat inap terbuka, Bramantyo melangkah kearah Praja.
"Jangan lakukan apapun. Biarkan Ibu disana, jangan sentuh apapun." Perintahnya.
"Pak dokter, silahkan tinggalkan ruangan." Kembali Bramantyo memerintah.
Pikiran Bramantyo kusut. Berbagai dugaan muncul di benaknya. Ia yakin Ibu Hamidah telah dibunuh. Pembunuhnya adalah orang yang sama yang menculik Alisha Diandre.
Seketika bayangan gelap meliputi matanya,
"Apakah Alisha tidak sekedar di culik?".
"Apakah Alisha terbunuh juga?".
Ia menatap nanar jasad Ibu Hamidah.
"Apa yang terjadi padamu Nek?".
"Apa yang terjadi pada Alisha?".
Pertanyaan demi pertanyaan melingkupi benak Bramantyo.
"Cari tahu penyebab kematiannya." Perintah Bramantyo kepada Praja.
"Siap bos." Jawab Praja sambil hormat dan keluar dari ruangan.
Bramantyo mematung, ingin rasanya menghampiri Ibu Hamidah untuk mengucapkan selamat jalan, tetapi ia tidak ingin merusak tempat kejadian perkara.
.......
Dua kejadian dalam waktu yang hampir bersamaan, terjadi pada seorang cucu dan neneknya. Sudah bisa dipastikan bahwa yang bertanggung jawab atas keduanya adalah satu kelompok orang yang sama atas satu buah komando.
Bramantyo memasang rekaman dalam bentuk flash disk mungil. Dipasangnya pada layar ukuran empat puluh dua ich yang tersambung ke komputer pribadinya.
Ada yang janggal dari rekaman tersebut.
perawat dengan rambut cepol, tampak mempunyai tulang tengkorak yang lebih besar bila dibandingkan dengan wanita. Langkah kakinya yang panjang, jelas bukan langkah kaki seorang wanita. ketangkasannya mengangkat kursi roda tanpa keraguan dan tanpa kesusahan, jelas bukan tenaga wanita, meskipun tinggi tubuhnya hampir sama dengan tinggi tubuh wanita normal. Terlebih rasa percaya diri dan ketenangannya dalam melakukan kejahatan, bukan ketenangan seorang wanita.
Perawat yang memakai rok itu adalah seorang pria.
Bramantyo mengingat-ingat lokasi penjemputan Alisha. Itu adalah lorong sempit yang sudah ditutup. Dulunya dipakai untuk jalur pembuangan sampah biologis. Sejak peraturan pembuangan sampah berubah, otomatis muara akhir dari tempat sampah biologis tidak melalui jalur itu lagi.
Itulah kenapa CCTV disana tidak diganti.
Dan satu-satunya CCTV yang tidak terhubung dengan central CCTV di ruang keamanan level empat.
Mobil yang digunakan untuk menjemput Alisha adalah mobil van murah, setidaknya bagi Bramantyo, hanya sebanyak gaji para pembantu di vilanya.
Bramantyo terhenyak. Dari ruang rawat inap Alisha, jalur tercepat untuk ke lokasi penjemputan yang bisa ditempuh selama dua setengah menit adalah melalui ruang penyimpanan properti kamar VIP dan VVIP. Mengingat harga properti yang mahal, maka ruang penyimpanan tersebut memiliki kartu akses khusus. Dimana tidak semua orang bisa membuka ruang tersebut.
Orang dalam.
Berarti yang melakukan penculikan dan pembunuhan adalah orang yang punya akses dan bisa mengendalikan orang dalam.
Dua nama melintas di benak Bramantyo.
Anastasya dan Sisca Wardoyo.
Sesaat kemudian Bramantyo memberi perintah kepada seseorang di saluran telepone.
"Awasi, buntuti dan selidiki Mommy dan Sisca!". Ucap Bramantyo dengan nada berat.
Bip bip. Suara notifikasi email muncul.
Pengirimnya dari kantor laboratorium forensik.
Bramantyo cepat-cepat membuka email yang hanya berisi attachement dalam bentuk pdf.
Petunjuk yang didapat berupa ukuran sepatu, bahan sepatu sehingga bisa di perkirakan sepatu model apa yang dipakai penculik. Ukuran langkah, berapa lama sipenculik berada di kamar ruang rawat inap, ukuran dan jenis sarung tangan yang dipakai. Fakta lainnya adalah penculik melakukan aksinya sendirian di dalam rumah sakit, sama sekali tidak menginjak ke arah ruang lain. Hanya dari pintu, menghampiri Alisha, melepas infus yang terpasang, mengangkat Alisha untuk dipindahkan ke kursi roda lalu mendorong Alisha ke arah jendela.
"Jendela?!". Tidak sadar Bramantyo berseru.
"Then What?!". Seru Bramantyo seolah ada orang lain disana selain dirinya.
"Bagaimana caranya keluar lewar jendela? Sementara posisinya dilantai 3?". Bramantyo tak habis pikir.
Bramantyo kembali membaca attachement, dia baru ingat diluar jendela ruang rawat inap adalah balkon kecil, dari ujung luar balkon hanya ada delapan puluh senti ruang kosong, sisanya adalah dinding tembok yang membentang sepanjang duapuluh meter.
Dari attachement itu diberitahukan bahwa kursi roda yang digunakan adalah kursi roda khusus yang bisa dipasangkan ke sebuah rel. Rel itu telah dipasang sekitar satu jam sebelum aksi dilakukan. Penculik dan pasien dengan kursi roda, meluncur mulus ke lantai dua, persis sebelah ruang properti kamar VIP dan VVIP. Nyaris tanpa jejak kejahatan ketika Pak Han dari labolatorium melakukan penyidikan.
Hanya butuh waktu dua menit saja dengan tenaga yang cukup besar. Masuk akal.
Masuk akal juga jika yang melakukan antara Anastasya atau Sisca dengan sumber daya yang mereka punyai, hal ini adalah hal mudah.
Attachement kedua, keterangan dari ruang rawat inap Ibu Hamidah. Waktu kejadian Pukul 11.38. Satu menit didalam ruangan, waktu tempuh sampai pinggir jalan raya selama tiga menit. Satu menit berdiri dipinggir jalan, tepat pukul 11.43, jejak kaki hilang satu, lalu hilang keduanya.
Berdasarkan jejak yang ditinggalkan dilantai kamar, pelaku adalah seorang lelaki berperawakan langsing dan tinggi. Berat badannya terpaut lima kilo gram, dibanding pelaku penculikan Alisha.
Masuk dan keluar melalui pintu masuk dan hanya berada di ruangan sekitar satu menit. selama tiga puluh detik berdiri didekat infus. Sempat mengambil tissue tiga lembar dari atas meja disamping ranjang pasien. Lalu keluar tanpa jejak lain yang tertinggal.
selang infus bagian bawah terbukti ada bekas tusukan jarum yang mengalirkan racun jenis baru. Tidak berbau, sangat bening, nyaris tidak bisa terdeteksi. Karena racun tersebut akan menguap setelah bekerja melumpuhkan organ vital hanya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit.
Tekanan langkah kaki diukur dengan seksama, jejaknya terputus sekitar dua puluh meter dari pintu keluar parkir rumah sakit kearah timur.
Attachment ketiga berisi poto-poto dari rekaman CCTV minimarket sebelah rumah sakit dan kedai kopi sebelah minimarket.
Disana terlihat jelas seorang lelaki memakai topi hitam tengah berdiri menyetop angkutan kota dan menaikinya.
Semua data telah tercatat. Orang-orang Bramantyo telah beredar mencari orang bertopi itu.
Bramantyo berharap akan menemukan titik terang.
......
Alisha Diandre, yang kondisinya terus membaik, terbangun karena merasa haus. Saat membuka mata, Alisha kaget.
"Sekarang dimana lagi ini?". Keluhnya bingung.
Perlahan Alisha bangkit, rasa pusing di kepalanya yang kerap kambuh, kini terasa ringan. Begitupun lengan kanannya sudah tidak dibalut gips lagi.
Alisha melihat sekeliling, ia berada di sebuah ruangan bernuansa kayu khas pedesaan. Tampak sederhana namun begitu asri.
Alisha mencoba berdiri, lalu berjalan perlahan ke arah meja panjang yang menempel pada dinding kayu. Disana ada dua buah gelas dan satu teko.
Dengan hati-hati Alisha menuangkan air putih, lalu meminumnya dalam sekali tegukan. Badannya terasa segar.
Suasana di ruangan itu sangat kontras dengan ruangan rawat inap rumah sakit.
Alisha kembali berjalan ke arah ranjang dan duduk termenung.
"Apa yang telah terjadi padaku selama ini? Bagaimana keadaan Nenek?". Alisha bergumam.
Pandangan Alisha beralih ke jendela kayu yang berkisi. Diapun kembali bangkit menghampiri jendela. Perlahan Alisha membuka kancing jendela. Tiba-tiba hawa dingin memerangkapnya. Sambil mendekapkan kedua tangan didadanya, Alisha semakin bingung dengan pemandangan di depannya.
"Dimanakah ini?". Kembali Alisha bergumam.
Tampak pepohonan besar yang berusia sangat tua, berjejer rapi diatas rumput hijau yang terawat. Tercium aroma khas pedesaan yang subur dan samar-samar tercium juga asap pembakaran yang telah tercampur aroma masakan.
"Kenapa aku berada disini, siapa yang telah membawaku kesini?". Alisha semakin bingung dan mulai panik.
Terlebih dia teringat neneknya yang sedang sakit di rumah sakit dan butuh segera dioperasi.
Alisha setengah berlari menuju ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.
Pintu yang terbuat dari anyaman rotan, tidak ada pegangan pintu. Alisha mendorong dengan cukup keras pintu itu dengan kedua tangannya.
Seperti terbanting, pintu terkuak lebar.
Tampak sebuah ruangan setengah kosong tanpa perabot. hanya ada dua buah kursi usang dan satu meja kecil ditengah ruangan.
Suasana begitu hening.
Alisha melangkah keluar dari kamar. Kakinya tersentak kaget saat menyentuh ubin semen yang dingin. Namun ia memaksakan diri terus melangkah mencari ruangan lain atau justru mencari jalan keluar. Ia harus menemukan seseorang untuk bertanya.
......
Tubuh langsing yang telah mereguk nafsu, terkulai tanpa busana di tengah sofa. Sementara lelaki yang menggaulinya tergolek diatas karpet bulu yang tebal dan halus. Mendengkur pelan.
Handphone Sisca Wardoyo berdering. Dengan enggan Sisca meraih telepone. dia menatap layar handphone cukup lama sebelum menggeser gambar lambang telepone hijau ke arah samping. Nomor tak dikenal.
"Halo?". Sisca menyapa bernada tanya.
"Lapor bos." Suara diujung telepone terdengar.
"Ya?!". Jawab Sisca tegas dengan suara agak parau.
"Alisha menghilang bos. Dugaan sementara Alisha di culik.".
Sisca terkejut.
"Apa untungnya menculik sampah itu?". Jawab Sisca kesal.
"Cari sampai ketemu!". Sisca memerintah.
"Siap bos." Jawab penelepon.
Sisca membanting Handphone ke karpet bulu.
"Sialan. Bramantyo, bisa-bisanya membuat skenario penculikan? Disembunyikan dimana perempuan sampah itu?". Sisca merutuk kesal.
"Apa Bram tahu kalau kematian neneknya tidak wajar?". Bathin Sisca heran.
Sisca mengangkat tubuh langsingnya dari sofa yang nyaman. Bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamarnya. Lalu berbelok menuju kamar mandi.
Berdiri dibawah shower dengan penampang lebar, Sisca membiarkan kepalanya terguyur air sambil berpikir bagaimana caranya memisahkan Bramantyo dari Alisha Diandre.
"Aargh, seandainya Alisha yang mati, selesai semua urusan di awal." Sisca membathin.
......
Bramantyo kehilangan jejak lelaki yang membunuh Ibu Hamidah. Berdasarkan penelusuran terakhir, lelaki itu menghilang di daerah utara, tepat ketika ada bazaar di kerumunan orang.
Sementara racun mematikan secara khusus tidak akan ditemui di negara ini. Bramantyo mengerahkan segala upaya untuk menelusuri siapa pemesan racun tersebut.
Tentu harganya sangat mahal. Karena tidak mudah memasukkan zat membahayakan ke dalam negri.
Semua ini terjadi hanya karena dia menginginkan gadis itu. Bramantyo bertekad untuk bertanggung jawab.
Telepon berdering di meja kerja Bramantyo.
"Ya." Jawabnya pendek.
"Bram, kamu dimana? mommy mau ketemu." Terdengan suara Anastasya.
"Di kantor pusat." Kembali Bramantyo menjawab pendek.
"Baiklah, lima menit lagi sampai." Anastasya menutup telepone.
Dari kemarin, Anastasya sangat mengkahawatirkan putranya. Berdasarkan laporan yang diterimanya dari kepala pengawal, Anastasya telah menyelidiki kasus kematian nenek Alisha dan penculikan Alisha.
Sementara Bramantyo berdiri mematung di depan jendela kantornya dengan mata nanar dan perasaan tidak menentu karena belum ada jawaban yang pasti atas permasalahan yang ada.
Terdengar ketukan di pintu.
"Masuk." Seru Bramantyo.
Pintu dibuka, Anastasya melangkah cemas menghampiri putranya.
"Bram sayang, are you ok?". Tanya Anastasya sambil merentangkan kedua tangannya memeluk putranya, yang disambut dengan dingin oleh Bramantyo.
"Ada apa mom kemari?". Tanya Bramantyo dengan nada dingin.
"Sini yuk." Anastasya menarik tangan putranya membawanya untuk duduk di sofa di ruangan itu.
Setelah mereka duduk, sambil menggemgam kedua tangan putranya, Anastasya bertanya.
"Apakah Alisha punya musuh? Apakah kamu sudah selidiki siapa teman-temannya?"
Sejenak Bramantyo tertegun. Sampai saat ini dia belum mencoba ke arah sana. Selain dia sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan Alisha dan latar belakangnya. Dia hanya tahu Alisha tumbuh dan dibesarkan di daerah Petinggi. Daerah rawan paling brutal di negara ini.
Bramantyo menggeleng lemah untuk menjawab pertanyaan Anastasya.
"Adakah orang yang kamu curigai?". Kembali Anastasya bertanya.
"Mommy dan Sisca." Jawab Bramantyo jujur.
Senyum merekah menghias wajah Anastasya. Dia tahu kalau Bramantyo pasti mencurigainya. Kemungkinan putranya berpikir bahwa dia bisa melakukan segala cara untuk memisahkan Alisha darinya.
Kenyataannya, alih-alih memisahkan putranya dengan Alisha, justru Anastasya menelusuri jejak Alisha mulai dari desa wahana dimana dulu, delapan belas tahun yang lalu, mereka dipertemukan dan dikenalkan sampai Anastasya menemukan Meilani. Sahabat karib Alisha.
Melihat senyum tulus dan pancaran memaklumi dari sinar mata Anastasya, seketika Bramantyo tahu bahwa mommynya sama sekali tidak terlibat atas kematian Ibu Hamidah dan hilangnya Alisha.
"Maaf Mom..". Bramantyo meminta maaf sambil menundukan kepalanya.
"It's ok sayang." Sela Anastasya.
"Mommy yakin yang menculik Alisha bukan Sisca." Ujarnya.
"Lalu siapa?". Tanya Bramantyo sedikit kesal.
"Dua kejadian. Penculikan dan pembunuhan terjadi dihari yang sama dan waktu yang sama. Yang punya nyali sebesar itu hanya Sisca." Lanjut Bramantyo.
"Kalau pembunuhan nenek Alisha, mungkin." Suara Anastasya rendah.
"Maksud mommy, pembunuh dan penculik lain orang?". Tanya Bramantyo serius.
"Sisca tidak mungkin melakukan penculikan, terlalu beresiko bagi dia." Kembali Anastasya berujar.
"Sisca senang bermain. Dia tidak akan membiarkan kamu langsung tahu bahwa dia otak dibelakangnya." Sambung Anastasya.
"Kamu harus menyelidiki kehidupan Alisha." Anastasya memberi saran.
"Mulailah dari Meilani, dia sahabat Alisha, punya suami bernama Fado. memiliki beberapa kios di pasar Legi, disana juga Alisha bekerja serabutan. Meilani sedang hamil lima bulan. Ini alamat dan nomor teleponnya." Anastasya memberikan secarik kertas nota yang berisikan alamat rumah, alamat kios dan nomor telepone.
Bramantyo tertegun. Seperti biasanya, Anastasya selalu beberapa langkah di depannya.
"Terimakasih mom." Bramantyo menerima nota itu dan menatapnya lekat-lekat.
"Mommy serius tidak akan memisahkan Bram dengan Alisha?". Tanya Bramantyo dengan tatapan menyelidik.
"Tujuan hidup mommy cuma satu, anak-anak mami menemukan kebahagiaan. Dengan begitu kualitas hidup kalian menjadi sempurna.". Anastasya berkata dengan keyakinan penuh.
"Urusan martabat, kehormatan dan lain-lain, bisa kamu ciptakan." Sambung Anastasya.
Bramantyo mengangguk. Tanda ia paham benar arti dari kalimat yang diluncurkan Anastasya.
"Mommy masih ada urusan." Pamit Anastasya sambil bangkit dari sofa dan memeluk ringan putranya.
"Thanks mom." Ucap Bramantyo tulus.