Antara senang, khawatir dan berbagai pertanyaan melingkupi Bramantyo. Kabar yang diterimanya dari Praja merupakan titik terang atas keberadaan Alisha.
Bagaimanapun Bramantyo sudah merasa sedikit lega dan tidak sabar ingin segera sampai ke Vila.
Bip bip. Terdengar suara notifikasi dari handphonenya.
12.10
Mom : Semoga Alisha baik-baik saja
Bram : Ya semoga. By the way Sisca gimana?
Mom : She’s Ok. You don’t have to worry.
Bram : Fine. See you.
Bramantyo merasa gamang, ingin rasanya langsung berangkat ke Vila. Tapi acara apresiasi nanti adalah acara yang diinisiasi oleh ayahnya sendiri. Tidak ada alasan apapun yang bisa membuatnya tidak hadir dalam acara.
Bramantyo memencet satu tombol di telepone yang ada dihadapannya,
“Siang Pak.” Jawab Lina, Sekretaris 1.
“Masuk ke ruangan.” Perintah Bramantyo.
“Baik Pak.” Ujarnya dengan nada ceria.
Lina mematut diri, merapikan rambut, mengibas-ngibaskan jas dan rok span pendeknya. Tidak lupa melepas satu kancing blusnya hingga tampak sedikit belahan dadanya, menyemprotkan body mist pada leher dan belakang telinga.
“Ok, I’m ready.” Bathinnya sambil melangkah menuju ruang bos besarnya.
Jantungnya berdegup kencang, selalu terjadi saat Bramantyo memanggilnya masuk ruangan. Siapa tahu kali ini Bramantyo menyergapnya kembali untuk menuntaskan yang telah dimulainya dua bulan lalu. Penantian yang terasa begitu panjang bagi Lina.
Lina mengetuk pintu,
“Masuk”. Bramantyo menjawab ketukan.
Lina melangkah pasti dengan senyum mengembang, pintu dibelakangnya otomatis menutup sendiri.
Sampai di depan meja Bramantyo, Lina tidak mengucapkan apa-apa, tapi menatap lurus pada Bramantyo dan tak lepas dari senyumnya.
Bramantyo tidak mengangkat kepalanya dari komputer disamping kirinya.
“Acara inti nanti malam jam berapa sampai jam berapa?”. Tanya Bramantyo.
Lina tergagap sebentar, pertanyaan Bramantyo diluar dugaannya, sementara laporan mengenai hal itu sudah dua kali diinfokannya.
“Cari-cari alasan nih..” Bathin Lina senang.
Dengan penuh percaya diri, Lina berjalan memutari meja kerja Bramantyo, tatapannya tak lepas dari wajah Bramantyo, jemari kirinya menyentuh alas meja dan menyeretnya perlahan. Lina melakukan gerakan menggoda.
Sayangnya Bramantyo tidak menyaksikan show drama Lina, matanya dengan serius membaca sesuatu yang ada di komputernya.
“Detail jadwal bukan disini pak.” Kata Lina setelah melihat komputernya.
“Tapi disini...” Ucapnya lirih dengan nada menggoda.
Sambil tangannya menangkup mouse wireless yang sedang di pegang Bramantyo.
Refleks Bramantyo menarik tangannya sambil melirik kepada Lina dengan mimik terkejut. Lalu Bramantyo bangkit berdiri dan duduk di sofa kantornya.
“Sebutkan saja.” Perintahnya kepada Lina.
Lina sedikit merasa kecewa, bosnya secara terang-terangan menyatakan penolakan padanya.
“Acara inti dimulai jam 19.00, pidato CEO masing-masing 15 menit.” Nada suara Lina datar.
“Siapa yang duluan?”. Tanya Bramantyo.
“Lady first.” Jawab Lina cepat.
“Ganti. Saya duluan.” Perintah Bramantyo.
“Tapi pak..” Belum selesai Lina bicara, Bramantyo memotong,
“Segera diatur. Saya duluan pidato. Kerjakan sekarang.” Tegas Bramantyo.
“Baik pak.” Jawab Lina sambil buru-buru melangkah keluar ruangan.
Lina menghempaskan diri di kursinya sambil menggerutu,
“Apes banget sih, bos lupa pernah ngomong buah dadaku indah. Argh.” Gerutunya sambil mengetik jadwal lalu dikirimkan via email ke semua departemen yang terkait dengan acara penghargaan nanti malam.
Bayangan kemesraan antara Lina dengan Bramantyo tidak pernah lepas dari kepala Lina.
Lina merindukan setiap sentuhan tangan Bramantyo di tubuhnya, merindukan kecupan-kecupan di buah dadanya, merindukan ciuman panas dibibirnya.
“Beri aku satu kali saja waktu untuk menyelesaikan cumbuan kita Bramantyo Laksono.” Erang Lina dalam hatinya, yang merasa panas dingin.
.....
Alisha ketiduran lagi setelah selesai menyantap makan siang.
Saat terbangun hari sudah sore. Alisha tahu betul aroma udara sore. Dia teringat akan amplop yang diselipkan di kisi jendela kamar.
Alangkah terkejutnya Alisha melihat kisi jendela yang kosong. Alisha merinding.
Kesadaran merayapi benaknya, dia ingat waktu pertama kali bangun dan berada diruangan ini, dia sempat membuka jendela dan menghirup udara pagi yang sejuk.
Lalu dia meminum air putih yang tersedia, tidak lama kemudian dia tertidur. Ketika bangun, jendela sudah dipasang palang dengan paku-paku yang rapat.
Bukankah harusnya terdengar suara kencang palu saat dipukulkan ke paku agar tertancap kuat pada palang ketika dipasang?
Alisha mulai membaca situasinya. Air putih penyebab dia ketiduran. Mestinya sudah diberi obat penenang yang sangat kuat dengan dosis yang tepat waktu sesuai keinginan entah siapapun itu.
Seketika Alisha merasa ketakutan dia telah ketahuan memasang amplop tanda permintaan tolong.
Alisha segera memeriksa setiap sudut ruangan itu, setelah jendela sekarang apa lagi? Tapi Alisha tidak menemukan sesuatu yang berubah.
Kini dia harus memikirkan jawaban kalau saja dia akan di konfrontasi mengenai amplop itu.
Senja menegur bumi, suasana di kamar yang ditempati Alisha mulai temaram, udara sedikit menghangat.
Alisha bersiap-siap untuk membasuh diri, dia memilah baju ganti di lemari. Dia memilih celana panjang dengan bahan kaus yang tebal, T-sirt dan satu-satunya sweater, Alisha menyampirkan sweater itu di atas kasur.
Lalu dia membawa celana dan T-sirt ke kamar mandi darurat.
Alisha mendengar suara benda yang bergeser dari arah pintu.
Alisha yang sudah telanjang di kamar mandi darurat menghentikan kegiatannya, dia menunggu dengan tegang. Bagaimana kalau tentang amplop? Pikir Alisha.
Lalu terdengar bibi bicara,
“Kudapan sore, habiskan.”
Gerakan selanjutnya terdengar bibi membereskan bekas makan siang Alisha lalu pergi.
Alisha merasa lega.
“Saat ini belum ketahuan, tapi mungkin malam atau pagi.” Alisha membathin.
Selesai mandi, Alisha memeriksa makanan ringan yang dikatakan kudapan oleh bibi.
Isinya goreng pisang, segelas teh dan segelas air putih.
Alisha menghancurkan pisang goreng yang masih hangat dengan tangannya, di penyet-penyet sampai lembek agak berair, lalu dia membawanya ke kamar mandi darurat, dan membuangnya dilubang pembuangan.
Lalu Alisha mencuci tangan bersih-bersih dengan sabun.
Alisha kembali ke meja mengambil dua gelas dibawanya ke kamar mandi darurat, dibuang air putihnya dan teh hangat dia sengaja menyisakan sedikit, supaya terkesan benar-benar diminum.
Sambil meletakkan kembali gelas ke tempatnya semula, Alisha berniat untuk pura-pura tidur.
Dia punya waktu sadar sekitar tiga puluh menit sebelum ‘ketiduran’. Alisha menghampiri jendela dan mengintip dari kisi-kisi jendela.
Keadaan di luar begitu tenang, semilir angin menembus menyapa bola matanya. Alisha berkerjap. Tiba-tiba dia melihat suatu pergerakan.
Gerak dedaunan pada tanaman rambat. Gerakan itu begitu cepat sangat berbeda dengan gerakan daun di sekitarnya. Ada orang lain disana.
“Hei disana, tolong keluarkan aku dari kamar ini.” Gumam Alisha.
Alisha menunggu sesaat, tidak ada gerakan lain yang terjadi. Dia merasa kecewa. Mungkin hanya seekor binatang pikirnya.
Alisha bergerak lunglai menuju ranjang, mungkin sudah saatnya ‘tertidur’.
Waktu ini dimanfaatkannya untuk mereka-reka jawaban seandainya peristiwa amplop ketahuan.
.....
Meilani sudah lama tersadar dari pingsannya. Namun dia terus menangis. Dia merasa sedih karena memikirkan nasib sahabat yang sangat dia sayangi.
“Ingat bayi dalam perutmu, sayangku.” Fado mengingatkan Meilani lembut.
“Iya, aku tahu. Tapi aku merasa sangat sedih. Aku takut terjadi sesuatu pada Alisha.” Sambil terisak Meilani menjawab.
Tiba-tiba Meilani ingat sesuatu,
“Sayang, dimana Pak Praja? Aku ingin bicara padanya.” Tatapan Meilani serius.
“Dia masih banyak urusan. Tapi aku punya nomor teleponenya.... ini...” Jawab Fado sambil menyerahkan sebuah note kecil berwarna kuning pudar.
“Cepat, cepat, handphone-ku mana?” Tanya Meilani terburu-buru.
Fado menyerahkan handphone kepada Meilani yang langsung disambar oleh Meilani dan langsung memencet beberapa nomor di handphonenya.
Deringan ke-tiga terdengar suara menyambut dari ujung telephone,
“Halo mbak mey?” Jawabnya.
“Pak Praja? Apa bapak masih di wahana?”. Nada Meilani mendesak.
Praja menyadari nada seperti itu adalah nada yang membutuhkan perhatian khusus.
“Masih mbak, ada yang bisa dibantu?”. Jawab Praja penasaran.
“Saya butuh ketemu bapak mengenai Alisha.” Meilani merendahkan suaranya seakan takut ada yang mendengar.
“Saya kesana mbak.” Praja menutup telepone, lalu mengirim pesan pada Bramantyo.
15.45
Praja : Otw elang 1, tentatif info.
Bos : Keep in touch
Bos : Yang lain?
Praja : Rekaman terkirim. Ada satu rubah tua.
Bos : Bungkus
Praja : Siap
Praja sampai di gerbang rumah sakit langsung menemui Meilani yang sedang beres-beres.
“Bapak sudah sampai, kami siap-siap keluar dari sini pak, boleh tunggu sebentar ya pak.” Ujar Meilani kepada Praja.
“Kalau begitu saya urus dulu administrasinya.” Praja menjawab dan berlalu.
Praja membawa Meilani dan Fado ke desa Muluk yang berbatasan dengan desa Wahana.
Disana ada tempat Balai untuk bersantai tamu-tamu keluarga Bramantyo yang berkunjung ke kebun teh.
Dua orang satpam sigap menyambut kala mobil yang ditumpangi Praja masuk ke halaman Balai.
Praja mempersilahkan Meilani dan Fado duduk, di meja telah terhidang sebuah teko bening berisi teh panas, ada gula pasir dan beberapa makanan ringan yang biasa terhidang untuk teman minum sore hari.
“Silahkan, jangan sungkan.” Praja mempersilahkan tamunya untuk menuang teh.
“Terimakasih.” Jawab Fado dan Meilani berbarengan.
Di ruang kantor, Bramantyo melihat tayangan tiga orang baru saja duduk bersama.
Dengan seksama, Bramantyo memperhatikan Meilani dari layar kaca komputernya yang berukuran 29 inc.
Lalu pandangannya beralih kepada Fado. Lelaki lugu dan terlihat lemah.
Kemudian terdengar percakapan diantara mereka.
“Pak, apa bapak serius mau membantu kami untuk mencari Alisha?” Meilani memulai pembicaraan.
“Tentu saja.” Jawab Praja yakin.
“Jujur saya gak tahu apa yang akan saya katakan bisa membantu atau tidak, tapi.. “ Belum selesai Meilani bicara, Praja memotong.
“Ceritakan saja, apapun. Sekecil apapun pasti bisa membantu.” Kembali Praja meyakinkan sambil tersenyum.
“Sebenarnya, Alisha baru sehari di rumah saya. Dia datang tengah malam bersama nenek Hamidah, tanpa bawa baju. Dia kabur dari Petinggi.” Meilani memulai cerita.
“Alasan dia kabur pada saat tengah malam adalah karena nenek Hamidah tidak mampu bayar utang kepada rentenir sekaligus preman yang menguasai Petinggi.” Meilani menghela nafas.
“Nenek Hamidah dipukul oleh preman itu, Alisha datang dan marah besar sampai dia menampar balik preman itu.” Sampai sini, mata Meilani berkaca-kaca.
“Alisha tidak punya alasan untuk tetap tinggal disana, karena Preman itu memberi pilihan sulit. Yaitu menjadikan Alisha istri ke-limanya atau bayar utang.” Kali ini Meilani tidak bisa menahan tangisnya.
“Satu lagi yang membuat Alisha takut adalah ucapan dari preman itu, bahwa dia akan mengejar Alisha sampai mati.” Lanjut Meilani.
Bramantyo memukul meja. Di handphonenya terpampang satu nama : JAFAR.
Selain Bramantyo yang menonton tayangan obrolan Meilani, juga Kepala keamanan rumah sakit yang dia percaya.
Info tentang Jafar langsung masuk ke email Bramantyo tepat ketika Meilani mengakhiri ceritanya dan menangis sesenggukan.
Telephone direct di meja Bramantyo berdering. Telephone khusus diluar urusan kantor. Bramantyo menyambar gagang telepone.
“Ya?!” Nada tinggi Bramantyo terdengar.
Namun orang yang menelepon tetap santai.
“Bos, Namanya tercantum sebagai pengawal salah satu undangan VIP.” Hening beberapa saat, lalu,
“Yakin dia??” Bramantyo menjawab dengan penuh penekanan.
“Positif bos.” Jawab Penelepon.
“Tahu apa yang harus dilakukan?”. Tanya Bramantyo.
“Laksanakan bos.” Penelepon menjawab.
Tuut tuut.. sambungan terputus.
Bramantyo membuka email, membaca cepat seluruh informasi disana lalu melihat gambar-gambar Jafar dengan teliti.
“Kamu salah cari musuh, Jafar!.” Gumam Bramantyo geram.
......
Alisha merasa kedinginan, dia meraih sweater dan memakainya. Lalu bersiap kembali untuk pura-pura tidur.
menikmati rasa hangat yang menjalar perlahan setelah memakai sweater, Alisha memilih meringkuk daripada memakai selimut.
Pintu dibuka tiba-tiba. Jantung Alisha seakan mau loncat keluar tapi Alisha tidak bergerak.
"Ya dia udah tidur lagi." Terdengar suara Bibi.
"Yakin. Dia tidak bangun tuh waktu saya gebrak pintu." Kembali suara bibi.
"Minumnya habis, pisangnya juga habis. Kecil-kecil makannya banyak." Lanjut Bibi.
"Dia tidur berapa lama? Oh sebelum makan malam bangun ya, setelah makan malam tidur sampai pagi. Ya kalau gitu saya tidur bareng disini saja. diluar dingin. Gak kuat saya." Bibi mengakhiri percakapan.
Lalu beres-beres bekas makanan. dan keluar kamar.
Praja mendengarkan seluruh pembicaraan bibi melalui headset dan saat bersamaan Bramantyo juga mendengarkan suara bibi yang berkomunikasi dengan seseorang di telepone.
Keyakinan Bramantyo terbukti. Alisha sengaja di culik dari dia dan sengaja disembunyikan sementara supaya tidak terlacak. Licik, sungguh licik. Bramantyo geram.
Bramantyo mengontak Praja, hanya berucap satu kalimat saja,
“Jangan ada kesalahan!.” Langsung mematikan telepone.
Alisha membuka matanya dan merasa kesal karena bibi berencana tidur bersamanya.
Alisha tidak yakin dapat mengorek keterangan dari bibi yang galak itu.
“Nenek dimana? Tolong Lisa nek..” Alisha memanggil neneknya dengan mata berkaca-kaca.
......
Di dalam hotel mewah tempat acara berlangsung, Bramantyo menunggu menit ke menit dengan gelisah. Ditelinganya terpasang headset wireless yang tersambung ke ruang tempat Alisha dikurung.
Terngiang di telinga Bramantyo, ucapan lirih Alisha yang begitu jelas terdengar,
“Hai disana, tolong keluarkan aku dari kamar ini.”
Ucapan Alisha yang berharap akan ada pertolongan, membuat hati Bramantyo perih.
“Tunggu sayangku, tunggu aku datang menjemputmu.” Bramantyo bergumam sambil memejamkan matanya.
Tuxedo warna hitam yang dikenakannya tampak membungkus sempurna tubuh jangkungnya. Pukul 18.30 dia harus masuk ke aula dan menemui para tamu juga ayah dan ibunya.
Sementara itu, seorang wanita cantik bak dewi, memakai gaun keperakan yang melekat erat menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah, dengan belahan sebelah kiri sampai tengah paha, membuatnya tampak eksotis dan misterius. Sisca Wardoyo.
Dia mencari-cari Bramantyo, pasangannya malam ini atas kolaborasi proyek milik mereka berdua yang menuai sukses besar.
Meskipun kalau mau jujur, Sisca hanya menumpangkan nama saja, pekerjaan seluruhnya di handle oleh Bramantyo. Sementara Sisca menyibukkan diri dengan jalan-jalan keluar negri, belanja dan bersosialisasi dengan rekan-rekannya.
Bramantyo keluar dari ruang tunggu SVVIP, sambil mendengarkan laporan dari pengawalnya, bahwa Jafar telah sampai, yang dikawal adalah produser ternama keturunan India, dan seluruh kamera menyorotinya dari segala arah.
Bramantyo tahu betul Produser itu akan duduk dimana, karena dia sendiri yang menempatkan produser itu satu meja dengan paman dan sepupunya yang sudah ngebet ingin jadi Artis.
"Perhatikan baik-baik, jangan lengah. Jangan biarkan Jafar menyentuh pamanku dan sepupuku. Kawal mereka sampai rumah." Bramantyo memberi perintah tegas.
Bramantyo menuju meja kebesaran Catur Laksono dan Anastasya, di sana telah hadir juga Dirga Wardoyo dan istrinya Evelyn. Tak ketinggalan Sisca yang sumringah berdiri menyambut Bramantyo.
Bramantyo memasang seringai geli, teringat bagaimana Sisca menangis tadi pagi, sore ini tidak ada tanda-tandanya sama sekali.
Setelah menyalami semua orang di meja itu, Bramantyo mengambil tempat duduk, tanpa menyapa Sisca yang tampak sibuk mencari perhatian Bramantyo. Hal ini membuat wajah Evelyn menjadi masam.
Bramantyo melirik sekilas ke arah meja yang ditempati pamannya. Ada tatapan tajam dari orang yang berdiri tidak jauh dari punggung Saab, sang produser.
Bramantyo sengaja melemparkan senyun penuh makna. Yang membuat Jafar sedikit deg-degan.
"Di tujukan pada siapa seringai kau itu Bram?" Jafar bertanya dalam hatinya.
Acara sudah dibuka sepuluh menit yang lalu. Bramantyo hanya menunggu gilirannya untuk berpidato. waktu terasa berjalan sangat lambat bagi Bramantyo. Perasaannya gelisah.
Tiba waktunya untuk basa basi. Seorang MC pria muda memanggil nama Bramantyo Laksono dipersilahkan naik ke atas podium.
Terdengar suara gumaman rendah dari para tamu, Bramantyo mengedarkan senyum. Lalu berkata,
“Selamat malam, mohon maaf ada perubahan jadwal secara mendadak, karena malam ini juga saya harus terbang ke Hongkong karena satu dan lain hal. Terimakasih.” Bramantyo berkata sambil bersiap dengan naskah pidatonya.
Kembali terdengar gumaman dari sebagian besar Orang sambil mengangguk-anggukan kepala.
Sisca Wardoyo yang terlanjur berdiri kemudian duduk kembali.
“Kamu tidak baca pemberitahuan terakhir, Sisca?, kan dikirim via email kalau pembicara pertama diubah menjadi Bram dulu?” Anastasya berbisik kepada Sisca.
“Sisca gak tahu tante, Sisca sibuk hari ini tante, maaf.” Ujar Sisca setengah merajuk.
Anastasya tersenyum, Dia tahu kesibukan Sisca adalah berlaga dengan seorang lelaki yang sudah dia kantongi data-datanya di kondominium yang dibeli oleh Bramantyo. Putranya.
“Tunggu ada saatnya nanti kamu keluar dari kondo itu.” Bathin Anastasya.
Di tengah-tengah pidatonya, Bramantyo kehilangan fokus sejenak, karena mendengar suara-suara dari headsetnya. Beruntung para tamu tidak menyadarinya. Bramantyo segera menguasai diri kembali dan menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Riuh tepuk tangan hadirin sambil berdiri, sementara awak media memanah Bramantyo dengan kilatan-kilatan lensanya.
Bramantyo membungkuk sambil menangkupkan kedua tangannya tanda hormat dan terimakasih lalu turun dari podium.
Acara kembali pada MC.
Bramantyo kembali ke mejanya duduk sebentar untuk berpamitan pada orang tuanya dan orang tua Sisca Wardoyo, tepat ketika Sisca naik keatas podium.
Saat orang-orang terpana akan pesona Sisca, Bramantyo diam-diam beranjak. Menuju lounge VIP, lalu berbelok memasuki lift barang. Disana sudah ada pengawal yang menunggu.
Bramantyo keluar melalui drop point purchase, memasuki sebuah mobil yang sudah standby. Langsung melesat meninggalkan kota.
Sekitar dua kilometer dari hotel, ada mobil lain yang bergabung dengan mobil yang ditumpangi Bramantyo.
Tepat di pintu masuk tol dalam kota, sebuah mobil mendahului. Mereka beriringan menuju Vila.
........
Tepat jam 19.11, terdengar suara benda bergeser, dan pintu kamar terbuka.
Alisha yang kaget langsung terduduk di kasurnya.
"Oh, baru bangun? Tidurnya nyenyak sekali." Suminah bicara setengah meledek Alisha.
Alisha diam saja.
"Makan jangan telat. Dan jangan berisik. bibi mau tidur." Kata Suminah sambil melangkah ke ranjang dimana Alisha berada.
"Jangan kepikiran untuk kabur. Semua sudah tertutup palang." Suminah kembali berkata.
Tanpa sungkan, Suminah berbenah kasur, lalu mengambil guling dan menatanya di tengah-tengah kasur, di tangannya ada lipatan selimut tebal. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, Suminah bersiap-siap untuk tidur.
Alisha bergeming. Dia sangat tidak suka dengan perempuan paruh baya ini. Alisha menoleh pada Suminah yang sudah memposisikan diri tidur miring menghadap lemari dengan perasaan sebal.
Alisha beranjak dari ranjang menuju kamar mandi darurat. Entah kenapa Alisha merasa tenang. Setelah buang air kecil, Alisha kembali masuk kamar dan duduk di kursi rotan. Dihadapannya terhidang makan malam.
Suminah tersenyum melihat Alisha begitu penurut dan pendiam.
"Bagus, cepat makan dan minum, lalu kembali tidur. Besok tugasku selesai." Bathin Suminah.
Teringat sewaktu Suminah siap-siap mengantar makanan, setelah mengunci pintu masuk dan memasukkan kuncinya pada toples berisi garam di dapur, dia menerima telepone.
"Jaga baik-baik malam ini, subuh nanti merpatiku akan ku jemput." Kata penelepon.
"Iya." Jawab Suminah pendek.
Suminah tidak bisa menahan kantuk, diapun jatuh tertidur.
Alisha mendengar dengkuran halus. Merasa heran kenapa bibi cepat sekali tidur. Alisha mengambil ayam goreng lalu mengunyahnya pelan-pelan.
Sekeliling begitu sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik yang bersahutan. Udara semakin dingin.
Alisha bangkit membawa gelas ke kamar mandi darurat dengan langkah mengendap.
Alisha membuang seluruh air dalam gelas itu, lalu mengisinya dengan air yang mengalir dari pipa sedikit. Tidak lupa Alisha meminum air pipa dengan tangannya.
.........
Bramantyo tentu saja mendengar suara Suminah. Hatinya begitu geram. Rasanya dia tidak terima Alisha diperlakukan seperti itu.
Jalanan padat merayap, Bramantyo harus bersabar, tidak berani meminta pengawalan kepada polisi karena tidak ingin mengambil resiko gagal dalam penyelamatan Alisha.
Meskipun Bramantyo tahu, tidak ada penjagaan di sekitar rumah tempat Alisha di kurung, tetapi kebocoran bisa saja terjadi.
Sementara itu, beberapa orang tengah melakukan aktifitas di rumah penyekapan dengan mempertahankan keheningan.
Tampak satu orang berpakaian serba hitam memakai sepatu karet, tengah melucuti paku satu persatu dengan sangat hati-hati dan tanpa suara. Paku-paku itu diletakkannya diatas kain tebal.
Posisi pembongkaran paku itu adalah pintu keluar dari dapur.
Dua orang berdiri berjauhan, di sudut timur dan barat. Masing-masing berbekal pistol berperedam serta kaca mata infra red.
Jarak seratus meter, ada tiga orang yang berjaga, diatas pohon-pohon tua yang besar. Satu mengawasi keseluruhan rumah, dua orang mengawasi lingkungan luar rumah.
Sementara dekat dengan pintu dapur yang sedang dibongkar, ada dua orang yang menunggu untuk masuk ke dalam rumah, memastikan keamanan di dalam rumah sebelum bos mereka sampai.
Semuanya bekerja dalam diam semuanya berpakaian gelap dan menutup wajahnya dengan kupluk atau kaos rajut yang hanya bolong dibagian mata saja, semuanya memakai sepatu karet ringan yang tidak meninggalkan jejak suara, semuanya dipersenjatai dengan pistol berperedam dan pisau komando, semuanya memakai alat komunikasi di telinga yang terkait pada alat kecil berbentuk segi empat yang direkatkan di bawah ikat pinggang mereka.