Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918
“Jujur saja, aku benci saat orang-orang mengatakan aku terlahir dengan keberuntungan,” ucap Mary setelah menandaskan makanannya di atas piring. John sempat mengomentari Mary kalau wanita itu makan seperti busung lapar, dan bukannya tersinggung tawa Mary justru meledak. Wanita itu mengakui bahwa makan dengan cepat sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Sementara John masih mnenyantap sisa makanannya di atas piring, Mary terus berbicara, “maksudku.. kekayaan orangtuaku tidak ada hubungannya dengan bagaimana aku akan menjalani hidup ini. Aku tidak selalu seberuntung itu. Aku harus bekerja keras untuk mendapatkan peran di teater. Mereka tidak memandangku dari seberapa besar peran ayahku untuk negara, itu tidak akan berhasil. Mereka hanya memandangku dari kemampuanku, dan kupikir itu cukup adil.”
Setelah menelan makanannya dan menyeka mulutnya dengan serbet, John menanggapi, “kupikir itu tergantung pada definisi mereka tentang keberuntungan.”
Mary menyipitkan kedua mata dan bertanya, “apa maksudmu?”
“Begini.. mereka yang membutuhkan uang, menganggap seseorang dengan uang yang berlimpah sebagai orang yang beruntung. Mereka yang bekerja keras untuk mendapatkan peran di panggung, menganggap aktor-aktor seniornya sebagai orang yang beruntung. Menurutmu, kau tidak seberuntung itu karena kau mengejar hal lain, tapi bagi mereka kau adalah orang yang beruntung karena kau memiliki apa yang tidak mereka miliki: rumah, pakaian, orangtua yang kaya.. Tidak semua orang memandang dunia dengan cara yang sama.”
Kini Mary bertopang dagu. Kedua mata hijaunya yang berkilat tertuju ke arah John saat ia bertanya, “bagaimana denganmu? Apa definisi keberuntungan untukmu, John?”
“Aku merasa beruntung ketika aku dapat menguasai lapangan pacuan kuda dan memenangkan setiap pertandingan. Sayangnya, aku tidak memiliki semua itu – aku dan kakak-kakakku selalu mencuri kesempatan untuk berkuda saat kami mendapat tugas di istal. Itu adalah satu-satunya momen kami benar-benar dapat menunggangi kuda pacuan sungguhan.”
“Bagaimana rasanya?”
John tertegun. Tatapannya jatuh ke atas permukaan meja. “Itu terasa.. membebaskan. Seperti.. untuk sesaat aku lupa diri.”
“Ah ya! Aku mengerti situasi itu.”
“Ya?”
“Ya, ketika aku berada di atas panggung aku juga merasakannya. Cahaya memukul wajahku dan aku hanya hanyut dalam situasi itu. Aku merasa bebas untuk mengungkapkan perasaanku.”
Ada keheningan yang panjang selagi Mary bernostalgia tentang pengalamannya di atas panggung. Sementara itu, John yang sedari tadi diam memandanginya perlahan tersenyum. Kalimat berikutnya yang keluar dari mulut John membuat Mary penasaran.
“Kurasa kau bukan wanita seperti itu..”
“Apa?”
“Kurasa kau adalah seseorang yang mencari keberuntunganmu sendiri.”
“Benarkah?” Mary tersenyum. “Dari mana asalnya pemikiran itu?”
“Ya, aku sering menjumpai wanita yang terlahir dalam keluarga kaya raya, dan kebanyakan dari mereka tidak bersikap begitu baik. Mereka berpikir bahwa uang adalah segala-galanya. Uang yang memberi mereka kekuasaan dan kemewahan. Tidak sepertimu, mereka tidak mengejar apa yang mereka inginkan, mereka hanya berusaha menerima apa yang diberikan pada mereka. Karena kau tahu.. tidak ada alasan untuk mengejar sesuatu ketika kau sudah memiliki segalanya.” John tertegun kemudian melanjutkan, “aku tidak mengatakan semua itu untuk alasan apapun, itu adalah apa yang kulihat.”
“Mereka tidak mengejar apa yang mereka inginkan, mereka hanya menerima apa yang diberikan pada mereka..” Mary mengulangi dengan pelan. Kedua matanya menyipit, dahinya mengerut. Namun, ekspresi itu hilang dengan cepat, digantikan oleh senyuman lebar di wajahnya. Setelah keheningan yang berlangsung selama beberapa detik, Mary akhirnya berkata, “aku mungkin merasa iri denganmu.”
“Apa?”
“Ya, kau punya keluarga yang hangat dan kakak-kakak yang menyayangimu. Kupikir itulah yang paling penting.”
John mengangguk setuju. “Ya. Aku memang milikinya. Mereka semua hebat. Ayahku adalah salah satu orang favoritku sejak kecil. Suatu hari dia mengajakku pergi ke ladangnya. Dia menunjukkan sebuah mesin tua yang bisa difungsikan menggunakan bahan bakar berupa bensin. Mesin itu bisa bekerja untuk menggali parit dan memangkas tanaman liar. Itu adalah traktor pertama yang kulihat. Dia mengajariku bagaimana cara menggunakannya. Dia bilang, dia bekerja di pabrik untuk membuat mesin secanggih itu. Menurutku itu sangat hebat. Dia juga pandai berhitung. Aku dan saudaraku pernah diam-diam masuk ke gudang tempat dia bekerja, disana sangat berantakan. Ada banyak kertas catatan dan mesin setengah jadi yang sedang dikerjakannya, tapi itu juga sangat hebat. Dia seorang ilmuan. Ibuku pernah mengatakan dia sangat jenius dalam matematika, sayangnya tidak satupun di antara kami yang mewarisi otak cerdasnya. Mungkin Isaac menjadi yang paling cerdas di antara kami, tapi dia sudah meninggal satu tahun yang lalu. Dia pernah mengatakan padaku jika dia mati, dia ingin jasadnya dikuburkan di samping makam ayah kami, tapi jasadnya justru ditumpuk dan dibakar bersama puluhan jasad prajurit lainnya di kaki bukit dan aku baru mengetahui itu setelahnya..” John menarik nafas panjang ketika mengingatnya. Kedua matanya tampak kosong ketika pikirannya pergi jauh untuk kembali pada momen itu.
“Itu sungguh sebuah ironi karena diantara kami berempat, seharusnya dia yang bertahan. Dia pintar, dia bisa melakukan apa saja termasuk merawat ibu kami. Dia tidak pernah berulah dan ibu sangat menyanginya. Aku sangat berharap kami bisa berkumpul lagi suatu hari nanti.”
Saat John menundukkan kepala untuk mengusir kesedihan dalam raut wajahnya, Mary langsung meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan John dan mengusapnya pelan.
“Aku sungguh menyesal atas kehilanganmu, John..”
“Terkadang aku berpikir kalau.. apa artinya semua ini? Kenapa aku disini dan apa artinya semua ini jika perang benar-benar sudah berakhir. Saat pertamakali aku bertarung di medan perang, aku punya alasan untuk kembali ke rumah – untuk kembali pada keluargaku, tapi sekarang.. mereka sudah tiada. Maksudku.. apa alasanku untuk kembali?”
“Orang-orang melakukan sesuatu yang mereka cintai tanpa alasan, ingat itu?”
Sudut bibir John perlahan terangkat mengulas senyum. “Aku tahu kalimat itu dalam puisi lama karya Leon.”
“Ya, itu benar. Kau suka Leon?”
“Tidak, sebenarnya dia terlalu emosional.”
“Tapi bukankah itu inti dari sebuah karya tulis? Mengekspresikan suatu bentuk emosi?”
“Kau mungkin belum membaca karya Franklin?”
“Belum. Apa yang dia tulis?”
“Kekejaman di medan perang. Itu bukan puisi, hanya balada yang dipajang disebuah museum untuk dipamerkan. Menurutku, karyanya terlalu kasar untuk dijadikan puisi, dan percayalah.. itu jauh berbeda dari Leon.”
“Aku tidak tahu Franklin,” ucap Mary.
“Ya, dia bukan penyair terkenal seperti Leon. Dia hanya seorang pemuda yang berasal dari kota kelahiranku. Usianya tujuh belas tahun, tapi karya-karyanya sudah jadi pajangan utama di museum besar. Saat kau melihat wajahnya, kau tidak akan percaya kalau dia benar-benar orangnya. Dia juga menulis sebuah balada untuk para petinggi-petinggi yang korupsi. Sindirannya sangat halus, tapi benar-benar tajam. Dia sampai menjadi sorotan media selama beberapa hari karena hal itu.”
Mary jadi penasaran setelah mengetahui John punya cukup banyak wawasan tentang semua itu. Mengingat situasi John sebagai prajurit angkatan darat yang bertarung di medan perang, rasanya aneh kalau laki-laki itu tahu banyak hal tentang balada dan puisi-puisi lama.
“Bagaimana kau tahu tentang semua itu, John?”
“Aku bekerja di perpustakaan ketika usiaku empat belas tahun. Aku membaca banyak buku disana.”
“Jadi kau juga suka membaca buku?”
“Ya.”
“Bacaan apa yang paling menarik untukmu?”
“Puisi, sejarah, cerita rakyat.. arsitektur, sulit untuk diputuskan. Aku menyukai semua itu. Bagaimana denganmu? Aku lihat kau membaca buku, buku apa yang sedang kau baca?”
John menunjuk buku bersampul coklat yang sedari tadi diletakkan Mary di sudut meja dan wanita itu langsung mengangkatnya.
“Oh ini.. ini hanya sebuah fiksi romantis.”
John menjulurkan tangannya untuk meraih buku itu, kemudian ia memeriksa sampulnya dan membuka halaman demi halaman dalam buku itu sembari membacanya dengan cepat. Nama penulis ternama William Hill tertera di halaman paling depan. Di atasnya juga terdapat tanda tangan sang penulis.
“William Hill?”
“Ya, kau mengenalnya?”
“Dia salah satu favoritku, dan buku ini.. aku tidak mengenali sampulnya, tapi aku sudah membaca isinya belasan kali.”
“Sungguh?”
“Aku tahu belasan karyanya yang lain. Sampai sekarang aku masih mengaguminya. Omong-omong bagaimana kau tahu tentang dia?”
“Dia salah satu teman ayahku.”
Kedua mata John terbuka lebar dengan tidak percaya. “William Hill teman ayahmu?”
“Ya, dia memang penulis besar. Karya-karyanya cukup dikenal di tahun delapan belasan. Perusahaan penerbitan sempat mempublikasikan karya-karyanya selama belasan tahun, tapi dia sekarang sudah meninggal dan untuk menghormatinya, karya-karyanya disimpan di perpustakaan besar.”
“Aku tahu itu. Kau pernah menemuinya secara langsung?”
“Ya, ketika aku masih kecil. Dia yang menandatangani buku ini.”
John mengangkat kedua alisnya dan berkata, “luar biasa! Bagaimana dia?”
“Dia sangat baik, dia menunjukkan padaku koleksi buku-buku di perpustakaannya. Dia memberikanku buku ini, sebagai hadiah. Dia bilang ini salah satu karya favoritnya.”
John tertegun memandangi buku itu kemudian mengatakan, “dalam hal ini kukatakan kau sangat beruntung.”
Mary tersenyum lebar saat mendengarnya. “Apa yang begitu kau suka darinya?”
“Semuanya. Semua yang dia tulis. Menurutku dia memiliki pandangan yang unik tentang dunia: bahwa setiap orang memiliki warna mereka masing-masing. Sebagai contoh, warnaku adalah biru dan itu berarti keinginan untuk belajar, kemampuan berpikir yang analistis, dan pertimbangan yang kritis. Seseorang dengan warna hijau mungkin lebih suka membaur dengan alam, atau seseorang yang berjalan terburu-buru di pinggiran kota, berharap tiba lebih cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya mungkin memiliki warna merah. Maksudku.. itu unik sekali bagaimana dia menggolongkan sifat-sifat manusia dalam pantulan warna dan karena dia seorang ilmuan juga, karyanya benar-benar menggambangkan suatu realita secara gamblang. Tidak ada unsur yang absurd, semuanya nyata dan tegas hingga terkesan kasar, tapi itu adalah bagian yang paling menarik tentangnya.”
John menggeser tubuhnya di atas kursi, dengan antusias melanjutkan, “aku ingat salah satu bait sajak yang pernah ditulisnya dalam sebuah artikel berjudul ‘persimpangan’, dan dia menulis seperti ini..
Bagi Dewa-Dewi yang Agung
Mereka yang duduk di atas langit ke tujuh
Melepas uap menjadi hujan
Cahaya menjadi kilat
Gelombang udara menjadi guntur
Sementara para kurcaci saling berlari ketakutan
Pikir mereka sang dewa sedang mengamuk tajam
Sementara gadis yang berteduh di bawah pohon mulai berpikir
Monster apa yang menempati kerajaan langit?
John tersenyum, Mary duduk termenung memikirkan sajak itu.
“Kurasa itu karyanya yang menyimpang.”
“Ya, itu benar.”
“Jadi bagaimana menurutmu?”
“Tentang tulisannya itu?”
“Ya!”
“Menurutku itu sebuah mahakarya yang berani.”
“Begitu?”
“Ya, coba pikirkan ini! Berapa banyak hal di dunia ini yang mendoktrinmu untuk melakukan sesuatu? Tidak terhitung banyaknya. Kepercayaan menyebar dengan sangat mudah, orang-orang nyaris tidak melihat dunia sebagaimana adanya, mereka membuat dunia mereka sendiri berdasarkan kisah-kisah kuno yang diyakini memiliki kekuatan magis tertentu. Di tempat kelahiranku, sangat sedikit orang yang memercayai obat sebagai alternatif penyembuhan. Mereka lebih memilih untuk pergi ke para ahli spiritual yang menyakini bahwa kekuatan-kekuatan gaib membawa segala jenis penyakit ke dalam tubuh. Penelitian khusus mengenai sel darah yang terkontaminasi dianggap ilmu yang terbelakang sementara orang-orang memercayai hikayat-hikayat kuno yang mengatakan bahwa keturunan manusia akan menghadapi sebuah wabah penyakit yang besar untuk waktu yang lama. Ketika itu benar-benar terjadi, praktik-praktik ilmu magis semakin menjadi-jadi. Sangat sulit menemukan seseorang yang tidak ikut terlibat dalam semua praktik itu. Sekali mereka tahu kau tidak terlibat, kau akan dijauhi dan diyakini hidup sengsara.”
“Oh..” Mary meringis saat mendengarnya. “Itu kacau sekali.”
“Ya, tapi seperti itulah keadaannya jika kau tinggal di desa kecil. Kehidupan disana tidak seperti di kota, kami tidak punya fasilitas yang cukup memadai untuk memulai penelitian ilmiah. Budaya-budaya kuno masih merajalela, tapi ada suatu tempat dimana ada banyak peninggalan bersejarah tidak dihancurkan. Disana juga perpustakaan tempat aku bekerja. Di belakangnya ada bukit tinggi yang mengarah ke pemakaman tua. Sampai sekarang pemakaman itu masih dirawat meskipun sudah sangat sedikit orang-orang yang mengunjunginya. Yang menariknya adalah patung Emerson berdiri di antara dua ngarai yang bergerak menuju sungai panjang. William Pike pernah hadir dipemakaman. Dia menulis sebuah pesan di patung kematian Emerson bertuliskan: pengabdian yang paling tulus tidak pernah mati. Mereka melakukan upacara pemakaman selama tiga hari berturut-turut, tapi kemudian tentara koloni datang dan membakar tempat itu. Kau tahu apa? Yang paling menariknya adalah fakta bahwa patung Emerson tidak mengalami kerusakan sedikitpun, dan tulisan Willian Pike masih terpampang disana. Sulit untuk dijelaskan, tapi itu benar-benar terjadi. Hanya saja aku mulai mempertimbangkan jika kekuatan magis itu benar-benar ada.”
“Itu konyol,” ledek Mary sembari menopang dagunya di atas tangan.
“Ya, tapi itu terjadi. Seperti cahaya dari atas langit yang memberi kekuatan bagi keberlangsungan hidup di permukaan bumi, jauh sebelum mereka menemukan fakta bahwa itu tidak lain adalah cahaya matahari – satu dari miliaran bintang di galaksi, mudah sekali untuk berpikir bahwa cahaya itu adalah Tuhan.”
“Bagaimana denganmu? Apa kau memercayainya juga?”
“Aku berhenti memercayai sesuatu sejak beberapa tahun yang lalu dan mulai melihat sesuatu sebagaimana adanya.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku.. semua keyakinan itu – bukan sebuah kesalahan, melihat dari alasan orang-orang itu meyakininya, itu merupakan alasan yang masih dapat diterima. Tapi ada bagian dari diriku yang mengatakan bahwa meyakini sesuatu secara utuh sama artinya menutup semua kemungkinan yang terjadi. Bisa kau bayangkan, bagaimana seseorang yang menggunakan lensa hitam melihat dunia di sekelilingnya? Dia hanya akan melihat dunianya sebagai hitam dan putih, tapi apakah itu yang sebenarnya? Tidak. Ya ada hitam dan putih, tapi juga ada biru, ada merah, dan hijau. Jadi aku berhenti untuk meyakini sesuatu dan melihat dunia sebagaimana adanya.”
Hening..
Kedua mata Mary berkilat kemudian wanita itu tersenyum.