Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918
“Itu benar,” ucap Mary untuk menanggapi John. “Tapi pikirkan hal ini, siapa yang membuat semua aturan itu? Tidaklah itu konyol? Maksudku.. Orang-orang kejam di luar sana memaksa para laki-laki untuk pergi berperang dan mencabut kesetaraan hak wanita dengan alasan untuk membuat dunia lebih damai. Itu konyol! Perang memicu perdebatan sengit, akhirnya ribuan nyawa tidak bersalah harus menanggung akibatnya.”
“Ya,” John menyetujui.
“Kau tahu apa? Aku benci duduk disini sementara ada ribuan orang tewas di medan perang. Jika suatu lingkaran bersalah, menurutku tidak adil kalau semua orang yang terlibat harus dibunuh. Seharusnya ada jalan keluar lain yang lebih baik, jalan keluar yang tidak harus melibatkan senjata dan darah orang-orang tidak bersalah.”
“Beberapa di antara mereka bersalah,” John mengoreksi. “Kau tahu? Aku sedang dalam perjalanan menuju kota Gotham bersama kapten dan lima orang prajurit seniorku ketika aku melihat p********n terjadi disana. Para pemimpin yang diktator memaksa penduduknya untuk membayar pajak sebesar sembilan puluh tujuh persen dari total penghasilan mereka. Akhirnya orang-orang hidup serba kekurangan. Properti mereka disita untuk pembangunan kota, rumah-rumah penduduk dijarah oleh aparat tidak bertanggungjawab, gadis dan anak-anak dilecehkan secara seksual dan ditelantarkan di pinggir jalan, pengusaha yang tidak sanggup membayar pajak terpaksa menggulung tikar lebih cepat. Keadaannya sangat kacau ketika aku bersama pasukanku datang. Kami menyebutnya operasi Ghotam77. Ada sebuah bangunan tua di pinggir kota dimana kami bisa bersembunyi. Kami hanya berenam dengan senjata dan pengetahuan mengenai kota itu yang sangat minim, sementara aparat yang berjaga disana jumlahnya ada puluhan, mungkin ratusan. Mereka semua menjaga gedung tempat dimana para pemimpin diktator itu berada. Misi kami adalah membunuh seorang pemimpin bersama Russell yang menjadi kepala dalam p*********n di jembatan Solomone. Dia melakukan pengeboman terhadap jembatan itu, akibatnya ratusan penduduk disana mati, beberapa yang tersisa luntang-lantung menyelamatkan diri. Tidak ada yang tahu nasib mereka sekarang. Masalahnya adalah jembatan itu penghubung dua kota dan sudah berdiri disana selama ratusan tahun. Jembatan itu adalah simbol kejayaan Solomone. Setelah Russell meluluhlantakkannya pemerintah tidak tinggal diam. Orang-orang memprotes. Akhirnya mereka menugaskan kami untuk menjalani misi ini. Selama dua hari berturut-turut kami menyamar dan mengelilingi kota itu untuk menemukan cara menemui Russell. Akhirnya setelah lama menunggu, kami mendapat momen yang tepat. Saat itu Russell sedang dalam perjalanan. Dia dikawal oleh tiga aparatnya ketika kami mengikuti dan meletakkan bom di dalam mobilnya. Kami tidak mengantisipasi puluhan aparat yang berjaga di tempat yang sama. Russell tewas tapi kami juga terjebak disana. Akhirnya kami harus menyebar dan mencari tempat persembunyian. Kapten mengambil tindakan cepat. Kami hampir mati kelaparan dan kehabisan senjata disana, tapi kemudian tentara musuh secara tidak diduga-duga datang. Mereka mengacaukan pertahanan di Gotham dan ketika tentara itu sibuk mempertahankan kota mereka, kami mengambil kesempatan itu untuk kabur. Tapi aku dan pasukanku sudah membuat rencana dan kami tetap pada rencana untuk membebaskan b***k yang dikurung di bangunan para pemerintah Gotham. Perdebatan sengit terjadi. Ketika seluruh tentara Gotham sedang bersusah payah melawan tentara musuh yang datang, pertahanan di gedung pemerintah goyah. Saat itulah kapten meminta kami untuk membebaskan para b***k dan mengebom seisi kota. Itu sekaligus menjadi riwayat akhir Gotham.”
“Bagaimana dengan orang-orang tidak bersalah itu?”
“Mereka dibawa ke tempat perlindungan untuk dirawat. Beberapa dari mereka yang kehilangan rumah dan keluarganya diurus di tempat perlindungan besar dan dirawat oleh ratusan volunteer yang bekerja disana. Ada sebuah tempat dimana prajurit yang terluka, dan penduduk yang kehilangan rumahnya, ditampung dan dirawat. Letaknya di atas bukit, jauh dari kota sehingga bisa dikatakan mereka berada jauh dari perang. Tempat itu dijaga ketat dan akses untuk sampai disana tidak bisa hanya dengan berjalan kaki. Mereka harus menggunakan helikopter untuk mengangkut orang-orang itu.”
“Kau pernah pergi kesana?”
“Ya sekali bersama kapten dan pasukanku. Tepat setelah p*********n di Gotham. Kami yang menuntun ekspedisi untuk mengangkut para b***k itu dan mengirimnya kesana. Pemerintah memutuskan kalau para b***k itu akan dipekerjakan, diberi tempat tinggal, dan makanan. Tempatnya cukup besar, mereka memiliki fasilitas yang lengkap, tapi semakin banyak korban yang berdatangan membuat tempat itu semakin sesak. Itu memang bukan tempat yang cukup nyaman sebagai tempat peristirahatan, setidaknya mereka aman disana.”
“Aku pernah mendengarnya. Orangtuaku pernah membicarakan tentang tempat itu. Mereka mengirim makanan dan pakaian untuk membantu orang-orang disana. Aku selalu penasaran tentang tempat itu, tapi setelah mendengarnya darimu aku mulai percaya kalau tempatnya memang sebesar itu.”
“Tunggu, kau bilang orangtuamu mengirim makanan dan pakaian untuk korban perang disana?”
“Ya.”
“Siapa namanya?”
“Peter dan Anne Miller.”
“Ah! Kau keluarga Miller itu!” John tampak terkejut.
“Bagaimana kau tahu?”
“Ketika aku berada disana, mereka memintaku untuk mengurus catatan pemasukan dari para donatur. Keluargamu salah satu donatur besar. Aku melihat namanya berkali-kali masuk dalam daftar pemasukan. Aku sempat bertanya pada kaptenku, dia bilang orangtuamu adalah orang kaya raya dan pembisnis bahan bakar yang sukses.”
“Itu benar.”
“Kurasa Mr. Miller pernah datang sekali kesana, hanya saja dia pergi dengan cepat untuk urusan bisnis.”
“Kedengarannya seperti dia.”
“Aku tidak menyangka akan duduk disini dan berbicara dengan putrinya.”
“Jangan melebih-lebihkan hal itu. Aku senang mengetahui ayahku berbuat sesuatu untuk orang-orang itu, tapi.. dia tetap ayahku dan aku tidak begitu menyukainya.”
Kali ini John menggeser tubuhnya di atas kursi, membenahi posisi duduknya sembari bertanya.
“Oh..? Memangnya kenapa?”
Ada sesuatu yang menahan Mary untuk menjawab, “kami tidak begitu dekat.”
Setelah mendengar itu, John menatap ke sekelilingnya. Kedua tangannya kini terlipat di atas meja dan ia mulai meletakkan seluruh perhatianya kepada Mary.
“Sejak kapan?”
“Aku tidak tahu apa kau tertarik mendengarnya..”
“Tidak, tidak, tidak!” kilah John dengan cepat. “Aku tertarik mendengarnya! Aku benar-benar tertarik untuk mendengar ceritamu. Kau bertanya tentang keluargaku dan aku menceritakan padamu tentang masa kecilku, kenapa kau tidak menceritakannya juga?”
“Itu membosankan.”
“Benarkah? Kenapa begitu?”
Kedua mata hijau Mary berkilat saat menatap John. Ia melihat kesungguhan John dalam raut wajahnya dan dengan alasan yang sama Mary akhirnya menyerah untuk memenuhi rasa penasaran laki-laki itu.
“Baiklah, karena kau memaksa. Aku sudah memeringatimu kalau ini tidak akan terdengar menarik..”
“Baik. Aku mendengarmu.”
“Saat aku masih kecil, orangtuaku sering berpergian untuk urusan bisnis. Bisnis mereka belum cukup besar saat itu. Masih dalam tahap perkembangan, jadi mereka benar-benar bekerja keras untuk itu. Mereka meninggalkanku bersama seorang nenekku, aku selalu memanggilnya Donna – dia sudah seperti ibu keduaku karena aku tumbuh besar di dekatnya. Aku melihat wajahnya lebih sering dibanding wajah ibu atau ayahku. Dan meskipun mereka sering berpergian, mereka tidak meninggalkanku bebas begitu saja. Ada banyak aturan yang harus kupatuhi di dalam rumah itu. Mereka juga sangat membatasiku untuk bergaul dengan anak-anak seusiaku. Aku tumbuh besar dan tidak memiliki banyak teman. Aku selalu memprotes Donna atas semua aturan yang dibuat orangtuaku, tapi dia tidak pernah menyerah padaku. Dia selalu sabar menghadapi sikapku. Kami sudah seperti teman baik. Setiap hari aku bermain bersamanya. Dia mengajariku cara menjahit, memasak, dan bercocok tanam. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku masih penasaran tentang apa yang ada di luar sana. Sementara Donna sudah semakin tua. Jadi suatu hari ketika orangtuaku pergi dan Donna berbaring karena sakit, aku mengambil kesempatan itu untuk pergi ke luar. Aku membeli tiket teater dan menyaksikan pertunjukkan itu untuk pertama kalinya. Aku merasa sangat senang. Untuk pertama kalinya aku tahu apa seperti apa rasanya berkeliaran di jalanan bebas tanpa rasa takut dan melakukan semua hal yang kuinginkan. Jadi aku melakukannya lagi pada hari-hari berikutnya. Aku bertemu banyak orang-orang baru, dan berteman dengan mereka. Bagaimanapun itu tidak selamanya berjalan mulus. Suatu hari ayahku memanggilku. Aku punya firasat buruk kalau dia tahu tentang kebiasaanku berkeliaran di luar dan itu benar. Dia menghukumku dengan mengirimku ke rumah bibiku dan juga memisahkanku dari Donna. Bibiku adalah orang yang sangat keras – lebih keras dari ayahku. Dia sangat ketat dengan aturan. Aku dilarang memakai celana di dalam rumah, turun untuk makan tepat waktu – jika tidak, maka aku harus menunggu jadwal makan berikutnya, dan juga menjaga sikapku selama berada disana. Aku sudah tinggal disana selama satu minggu, tapi rasanya seperti bertahun-tahun. Aku begitu tersiksa. Tidak ada celah untuk dapat keluar dari rumah itu dan aku hanya berkeliaran di dalam, melakukan hal yang sama berkali-kali. Tidak ada hari berlalu tanpa mendengar keluhannya tentang sikapku. Dia.. benar-benar seperti mimpi buruk. Kurasa itulah sebabnya dia tidak memiliki suami dan anak. Dia pikir dia memperlakukanku dengan benar, tapi kenyataannya tidak. Aku merasa asing di dalam rumah itu. Aku hanya ingin pulang cepat, menemui Donna dan memeluknya. Kemudian aku mendengar kabar kalau Donna meninggal. Aku tidak sempat melihatnya atau menghadiri pemakamannya. Itu adalah hari paling berat yang harus kulewati. Aku menangis dan memohon pada ayahku agar aku bisa kembali ke rumah. Dia menolaknya dan mengatakan kalau aku boleh kembali jika aku sudah memperbaiki sikapku.
“Aku menetap selama hampir satu tahun bersama bibiku, dan setiap hari segalanya terasa semakin buruk. Suatu hari aku memutuskan untuk kabur. Itu keputusan yang tergesa-gesa, dan usiaku tujuh belas tahun saat itu. Aku menyewa tempat penginapan di pinggir kota dengan tabunganku. Aku bekerja di pabrik roti untuk makan sehari-hari. Tapi itu hanya berlangsung satu minggu sebelum orangtuaku menemukanku. Mereka marah besar, tapi mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa..” Mary tertawa cekikikan saat mengingatnya. “Bagian lucunya adalah mereka mengira aku sudah mati dan mereka menyalahkan bibiku karena hal itu. Tapi itu kejadian itu sekaligus membuat mereka lunak. Setidaknya aku tidak akan tinggal di rumah bibiku lagi, mereka juga memberiku kelonggaran untuk berpergian keluar. Untuk pertama kalinya aku benar-benar tidak takut tentang ide untuk pergi ke teater. Itu juga membuatku berpikir untuk mengambil risiko dalam perjalanan ini.”
“Apa orangtuamu tau tentang perjalanan ini?”
“Aku pergi ketika mereka sedang dalam perjalanan bisnis keluar kota. Aku hanya meninggalkan pesan untuk mereka dan mengatakan kalau aku mungkin saja akan kembali.”
“Mungkin saja akan kembali?” John mengulangi dengan suara pelan, penasaran tentang apa yang dimaksudkan Mary. Tiba-tiba wanita itu menunduk malu. Wajahnya memerah, kedua matanya berkedip pelan. Kini Mary menatap ke sekelilingnya sembari memainkan jari di atas pangkuan. Kemudian sembari menatap John ia menjawab, “ya.”
“Apa itu berarti kau akan meninggalkan mereka?”
“Aku bilang ‘mungkin’.”
Kini John duduk termangun di atas kursinya. Laki-laki itu memikirkan sesuatu yang membuat senyum kecil muncul di wajahnya. Tapi John tidak mengatakan apa-apa sampai Mary bertanya, “apa? Apa yang kau pikirkan?”
“Aku baru saja berpikir betapa lucunya situasi ini.”
“Lucu?”
“Ya. Aku pergi meninggalkan medan perang untuk kembali pada keluargaku - meskipun sebagian dari mereka sudah tiada. Tapi kau pergi ke tempat yang jauh untuk meninggalkan keluargamu. Apa yang sebenarnya kita cari?”
Mary ikut tertegun, bertopang dagu sembari memikirkannya. Ada kilat kecil yang muncul dalam sepasang mata hijaunya yang cerah. Semburat keemasan rambutnya menyala di bawah cahaya matahari pagi yang menyusup masuk melewati jendela, menyorot persis ke arah wajahnya yang anggun dan polos. Mary mengingatkan John tentang gadis sejuta mimpi dalam balada lama yang pernah dibacanya. Antusiasmenya nyaris meredam semua emosi yang dirasakannya. Terkadang John suka memikirkan gadis itu duduk di sudut dinding, atau berdiri di belakang jendela dengan tangan terkulai di kedua sisi tubuhnya. Ia mengenakan dress hitam dan pita merah kecil di kepalanya. Sepasang dagunya terangkat sedangkan kedua matanya menyipit ke arah sinar matahari. Gadis itu menyimpan catatan kecil di sakunya. Sesekali saat pikirannya menangkap sebuah ide-ide gila, ia akan mengeluarkan catatan itu untuk menuliskannya. Dalam mimpinya di malam yang panjang, John mengintip ke dalam catatan itu yang bertulis:
Aku ingin terbang seperti burung. Suatu hari aku akan menatap ke bawah dan melihat awan menyelimuti bukit-bukit tinggi.
Kemudian catatan lain bertuliskan:
Mawar itu indah, tapi berduri. Aku ingin memilikinya. Satu yang berwarna violet, satu lagi yang berwarna hijau, dan aku akan mengenakannya di atas topiku, sehingga orang akan melihatnya sementara aku menyanyikan senandung kesunyian.
Aku ingin orang-orang melihatku, jadi aku akan mengenakan dress biru berjumbai dengan topi hijau. Orang-orang itu sangat gemar melihat warna hijau.
John memikirkan itu selagi menatap Mary. Meskipun Mary tidak berpakaian dengan cara yang sama seperti gadis dalam balada tua itu, keduanya memiliki banyak kemiripan dan yang paling menonjol adalah keinginan untuk ‘dilihat’ . Tiba-tiba saja John memikirkan Mary menyusuri jalanan di sudut kota sendirian, menatap ke sekelilingnya dengan resah saat menyadari bahwa ia sedang berada di tengah-tengah keramaian, dimana kebisingan menyelimuti setiap sudut tempat. Orang-orang berjalan tergesa-gesa, dan dengungan percakapan menggantung di udara. Mary yang malang, berusaha menemukan dirinya dalam situasi itu: ketika ia dikelilingi oleh banyak orang, tapi tidak satupun dari mereka yang hadir disana untuk melihatnya.
“Aku tidak tahu,” sahut Mary setelah lama tertegun. “Kurasa aku hanya.. mencoba menjadi diriku dan menjalani kehidupan yang kupilih.”
Mengingat kembali apa yang disampaikan Mary tentang bagaimana wanita itu menghabiskan masa lalunya, terkurung di dalam rumah besar bersama kedua orangtua yang selalu memintanya untuk melakukan sesuatu dengan benar, John mulai memahami darimana datangnya keinginan itu. Untuk satu alasan tertentu, ia tidak ingin mengubahnya.