Bab 7

2839 Kata
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918 Apa yang begitu indah tentang gagasan untuk melupakan dirimu sendiri? Mary memandangi John sembari memikirkan pertanyaan itu. Setelah merenung cukup lama ia tersadar bahwa selama ini itu adalah sebuah pertanyaan besar yang berusaha dihindarinya. Semua hal yang hendak dicapainya adalah sebuah alasan untuk menghindari pertanyaan itu. Kemudian tiba-tiba John datang, duduk di seberangnya belum sampai dua jam dan langsung mengajukan pertanyaan itu. Mary terpikir untuk mengelak, mengalihkan topik percakapan mereka selama John tidak menyinggungnya. Tapi sesuatu dalam tatapan John mengatakan kalau mereka akan tetap duduk disana berhadap-hadapan selama beberapa jam berikutnya, dan selagi hal itu berlangsung, tidak ada yang dapat melindungi Mary dari dirinya sendiri. John menceritakan tentang keluarganya. Bagaimana ia kehilangan dua saudara laki-lakinya dalam medan perang. Mary, untuk alasan yang konyol, merasa berutang sesuatu. Meskipun Mary jarang mengutarakan tentang mimpi-mimpinya pada orang-orang di sekeliling – bahkan pada mereka yang cukup dekat dengannya - tetap saja godaan itu datang. John terlihat tulus - setidaknya dari cara laki-laki itu menatapnya. Mary sudah tahu sejak kali pertama laki-laki itu meminta izinnya untuk menempati kursi kosong di seberang meja. Usia John mungkin tidak terpaut lebih tua dari Mary. Hal itu cukup jelas. Mary pernah mendengar kalau pemerintah hanya mengirim para prajurit berusia belasan hingga dua puluh tahunan ke medan perang. Meskipun begitu, bekas luka di wajah John, pakaiannya yang kotor, dan tatapannya yang sendu, mengatakan bahwa laki-laki itu sudah lebih matang dari usianya. John telah berperang selama dua tahun. Laki-laki itu telah mengalami sejumlah kengerian yang mungkin tidak pernah dirasakan Mary atau remaja lain seusianya yang cukup beruntung. Dapatkah Mary memercayai laki-laki asing itu? Mary tidak memiliki jawabannya, yang ia miliki hanyalah tindakan spontan untuk mengutarakan isi pikirannya. Orang-orang sering mengatakan kalau Mary adalah gadis yang spontan. Ia jarang berpikir panjang untuk mengutarakan isi pikirannya. Antusiasmenya terhadap sesuatu lebih besar jika dibandingkan gadis-gadis lain seusianya, dan ketika Mary menginginkan sesuatu ia akan mendapatkannya. Sifat itu sudah ada sejak dulu, tertanam dalam jiwanya yang sendu. Dalam satu kesempatan, Mary hanya akan menyendiri untuk berpikir, tapi jelas kalau ia bukan orang yang suka berlama-lama menyendiri. Kemudian Mary mulai membayangkan perjalanan itu tanpa John. Seberapa besar perbedaannya? “Apa kau masih bersamaku?” tanya John sembari melambaikan satu tangannya di udara. Lamunan Mary tiba-tiba buyar. Merasa jengah, ia mulai berdeham sembari membenahi posisi duduknya di atas kursi. “Ya,” sahut Mary akhirnya. “Jadi? Apa yang begitu baik tentang gagasan untuk melupakan dirimu sendiri?” “Itu.. umm.. itu adalah apa yang dilakukan para aktor panggung,” Mary tersenyum ceria, tidak tahu sedang menghibur dirinya sendiri atau John. Meskipun kedengarannya ia hanya menyampaikan omong kosong. John mendeteksinya dengan baik karena tiba-tiba saja laki-laki itu mengerutkan dahinya. “Aku tahu, tapi mengapa? Mengapa kau merasa perlu melakukannya?” Mary memutar kedua bola matanya saat memikirkan sebuah penjelasan yang tepat, tapi pada akhirnya menyerah dan berkata, “apa kau pernah merasa terjebak, John?” “Terjebak?” Mary mengangguk. “Seperti di gorong-gorong atau..” “Tidak! Lupakan soal perang! Maksudku disini adalah terjebak. Seperti.. kau tidak merasa bebas untuk melakukan sesuatu.” “Oh, aku mengerti!” John menelengkan wajah, tertegun memikirkan sesuatu kemudian menjawab, “ya, kurasa pernah. Tapi itu seperti sebuah situasi dimana aku tidak memikili kuasa untuk memutuskan.” “Ya, semacam itu. Tapi lebih serius.” “Apa maksudmu?” John mencondongkan tubuhnya ketika merasa tertarik. Kedua mata gelapnya kini berkilat tajam. “Aku dikelilingi orang-orang yang selalu mengatakan padaku apa yang harus kulakukan dan apa yang tidak boleh kulakukan. Sudah sejak kecil seperti itu. Aku tidak punya saudara jadi.. orangtuaku begitu ketat padaku. Kau tahu? Aku harus berpakaian seperti ini.. duduk seperti itu.. makan seperti ini.. berbicara seperti itu.. semuanya! Aku tidak pernah bebas melakukan sesuatu yang benar-benar kuinginkan dan aku menyebut situasi itu seperti terjebak. Aku tidak pernah menjadi diriku – aku bahkan tidak tahu siapa diriku sampai aku naik ke atas panggung, dan tiba-tiba.. semua cahaya padam. Hanya ada aku dan seseorang yang menyaksikanku di salah satu kursi penonton. Dia adalah pelatihku. Aku menatap ke kegelapan dan menunggu. Aku menunggu dan menunggu sampai sebuah lampu dinyalakan. Cahayanya menyorot persis ke arah panggung. Selama saat aku mematung, tapi kemudian untuk kali pertama aku benar-benar merasakan nafasku berembus, denyut jantungku berdetak pelan, dan sangat pelan.. darah mengalir dari atas kepala hingga ujung kaki. Seluruh indra-indraku peka, dan aku mulai bersandiwara. Tiba-tiba aku sudah menjadi orang lain – seseorang yang tidak kukenal sama sekali. Aku bahkan tidak tahu kalau orang itu benar-benar ada dalam diriku. Aku hanya.. melanjutkannya dengan gila, dan itu terasa.. membebaskan. Itu terasa menyenangkan sampai aku kembali pada diriku lagi. Kedengarannya memang konyol, tapi seperti itulah sensasinya.” John tertegun, kemudian menanggapi dengan suara pelan. “Itu menarik.” Setelah menggeser tubuhnya, ia bertanya, “drama apa yang suka kau mainkan?” “Rahasia di bawah meja.” “Rahasia.. apa?” tanya John sembari tersenyum lebar. Mary kemudian mengulanginya dengan suara keras. “Rahasia di bawah meja. Ada seorang tuan putri yang tinggal bersama seekor merak, bermain-main di singgasananya sampai menemukan sebuah pintu di bawah meja tua. Pintu itu membuka dunia baru, dimana putri-putri keturunan bangsawan disihir menjadi seekor merak.” “Kau memerankan tuan putrinya?” “Tidak, aku adalah si merak.” John tampak terkejut. “Tidak mungkin!” “Itu benar. Tapi bukan merak biasa. Merak ini memiliki kekuatan magis dan dia telah melintasi dua dunia yang berbeda selama ratusan tahun. Dia tidak pernah menua, tapi itu sekaligus kutukannya.” “Apa yang terjadi pada merak itu?” “Sebelumnya dia adalah tuan putri, sampai dia mengingkari janjinya dan melanggar batasannya, dia kemudian dikutuk menjadi merak untuk menyaksikan puluhan wajah putri-putri lain yang menduduki singgasananya. Dia disumpah untuk membuat semua putri-putri itu melakukan kesalahan yang sama dengannya sehingga mereka akan mendapat kutukan yang sama. Dia berhasil melakukannya, belasan putri-putri kerajaan dikutuk menjadi merak karena melakukan kesalahan yang sama, sampai suatu hari, ia bertemu putri Elaine, yang jiwanya sangat murni. Dia sekali lagi melanggar aturannya. Dia tidak ingin Putri Elaine mengalami kutukan yang sama sepertinya, jadi dia berusaha menghentikan itu. Tapi dengan begitu kekuatannya melemah. Jika tidak ada putri lain yang dikutuk untuk mengisi kerajaan meraknya, maka pada akhirnya dia akan mati.” “Apakah dia berhasil mencegahnya?” tanya John yang telah hanyut dalam cerita. “Tidak, dia mati.” “Tapi kupikir merak itu adalah tokoh utamanya? Tokoh utama tidak pernah tewas, kan?” “Menurutmu begitu? Kau tidak tahu apa yang terjadi setelah dia mati. Semua kutukan berakhir, putri-putri yang dikutuk telah kembali ke wujud semulanya, kerajaan merak runtuh, tapi itu menimbulkan masalah baru.. ada perbedaan waktu bagi kedua dunia, dan putri-putri itu tidak akan pernah bisa kembali ke dunianya lagi. Akhirnya mereka terpaksa menghidupi kembali kerajaan merak.” “Menurutku itu bukan akhir yang menarik untuk dibawakan di atas panggung,” ucap John tanpa ragu-ragu. “Pikirkan ini! Apa yang akan terjadi setelah merak ajaib itu mati? Tidak ada. Dan apa juga yang diperbuat Putri Elaine? Tidak ada. Merak itu seharusnya tidak mati. Dia bisa berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Rasanya terlalu klise membiarkan cerita berakhir disana. Penonton ingin sesuatu yang membekas, bahkan sekalipun hal itu terkesan tidak cukup rasional.” “Omong-omong soal rasionalitas, aku sedang memikirkan tentang itu. Menurutmu itu terlalu kasar untuk membawa rasionalitas ke atas panggung?” “Tidak, hanya saja.. orang-orang menyaksikan pertunjukan untuk mencari hiburan.” “Jadi rasionalitas memiliki arti kasar secara khusus?” “Tidak semuanya. Maksudku.. kau bisa saja duduk di atas kursi, menyantap habis makananmu karena kau kelaparan. Itu rasional, orang-orang bisa memahaminya karena itu adalah apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan itu sama sekali tidak kasar. Tapi.. apakah orang datang ke pertunjukkan untuk menyaksikan itu? Tidak. Mereka datang untuk sesuatu yang lebih unik. Sesuatu yang.. berbeda.” Mary mengangguk. “Aku mengerti maksudmu. Jadi itu untuk menghibur..” “Ya, itu yang kupikirkan.” Mary menatap John sembari tertegun. Sikap diamnya tiba-tiba membuat John menggeser tubuh dengan tidak nyaman di atas kursi. “Apa?” tanya John. “Apa yang kau pikirkan?” “Tidak, aku hanya berpikir kalau aku sudah sampai sejauh ini tapi masih belum paham arti dari semua itu..” “Tidak begitu, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Apa yang kau pikirkan itu tidak salah. Maksudku, tidak ada salahnya untuk menampilkan rasionalitas di atas panggung. Itu sama sekali tidak mengubah apapun jika tujuanmu membawakannya berbeda. Aku hanya menyimpulkan kalau orang-orang datang ke pertunjukan untuk mencari hiburan, itu umm.. kurasa itu.. suatu hal yang umum.” Untuk menanggapinya, Mary tertawa. Bibirnya yang terbuka menampilkan senyuman lebar dan sederet gigi kelincinya yang berbaris rata. “Tidak! Aku sama sekali tidak tersinggung. Apa yang kukatakan adalah.. kau membuat pekerjaan itu menjadi semakin jelas dari sudut pandangmu. Orang-orang datang ke pertunjukan untuk mencari hiburan, itu memang benar. Aku bisa menerimanya. Terkadang aku hanya berpikir kalau pertunjukan itu adalah sesuatu yang lebih besar untukku. Sesuatu yang.. indah. Kau tahu?” “Seni,” John menambahkan. “Ya, seni!” “Aku mengerti. Lihat? Orang-orang memandang seni dari sudut yang berbeda-beda. Aku memandangnya sebagai sesuatu yang menghibur, kau memandangnya sebagai sesuatu yang memiliki nilai estetik. Kurasa itu hanya tentang pandangan seseorang.” “Benar!” Mary menyandarkan tubuhnya di atas kursi seakan merasa lega kalau ketegangan itu sudah berakhir. “Jadi apa yang kau lakukan untuk hidup, John? Maksudku, sebelum kau pergi untuk berperang, apa yang kau lakukan?” “Ayahku bekerja di ladang. Aku dan kakakku ikut bekerja disana untuk membantunya. Kami juga mengurus peternakan kuda milik keluarga Shelby. Mereka punya kuda-kuda yang kuat dan cantik. Kuda-kuda itu dirawat dengan baik: diberi makan setiap hari dan dibersihkan tiga kali dalam seminggu. Tubuhnya gemuk, surainya sangat halus, dan kuda-kuda itu berlari seperti kuda pacuan. Sayangnya kuda-kuda itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Pemiliknya lebih sering berpergian dan meninggalkan kuda-kuda itu bersama kami di istal. Suatu hari, Ryan memberiku ide untuk mengeluarkan salah satu kuda dan menungganginya. Awalnya aku menolak tapi Ryan tetap nekat melakukannya. Keluarga Shelby sedang pergi meninggalkan pedesaan untuk pergi ke kota. Ryan mengambil kesempatan itu untuk menunggangi kuda-kuda mereka, berpura-pura kalau ia ada di tengah pacuan kuda. Kau tahu, kami hanyalah remaja konyol yang suka melakukan hal-hal bodoh. Aku seharusnya menghentikan Ryan saat itu juga, tapi aku malah berdiri disana, menyaksikannya seolah ia benar-benar berada di tengah pacuan. Tapi tiba-tiba kuda yang ditunggangi Ryan itu menjadi tidak terkendali. Pakaiannya tersangkut di semak-semak dan dia jatuh. Kuda itu mulai mengamuk tidak terkendali. Ia sempat menyeret Ryan beberapa meter di atas tanah sampai Isaac datang untuk membantuku menenangkannya. Sementara Ryan..” John menyeringai lebar sembari menggelengkan kepala saat mengingat momen itu. “Dia kacau sekali. Seharusnya itu menjadi pengalaman buruk, tapi aku tertawa setiap kali aku mengingatnya. Dia akan selalu jadi yang mendominasi di antara kami dengan sikap kerasnya. Hari itu dia benar-benar kacau. Orangtua kami menghukumnya dan meminta Ryan untuk membersihkan seluruh istal. Jack yang polos dihasut untuk membantunya, tapi malah kena sial. Akhirnya mereka berdua diminta untuk menghabiskan dua hari penuh untuk mengurus semua pekerjaan di istal.” Mary ikut tersenyum saat mendengarnya, tapi John tidak berhenti sampai disana. Tatapannya jatuh pada permukaan meja ketika laki-laki itu mengingat momen lain di kepalanya. “Ryan bisa melakukan hal-hal gila. Isaac memeringatiku untuk menjauhinya, tapi terkadang apa yang ditawarkan Ryan sangat sulit untuk ditolak. Suatu malam dia mengajakku untuk menemui kekasihnya. Itu konyol sekali karena aku seharusnya tidak memercayainya dengan mudah. Dia bilang kalau gadis ini sangat cantik, usianya sekitar empat belas, tubuhnya montok, dan dia sangat pandai memilih pakaian bagus. Dia berasal dari kota dan rambutnya gelap. Dia juga seorang penyanyi dan namanya adalah Rose. Kau tahu, dia sangat terobsesi dengan wanita berambut gelap. Bagiku, itu sangat menarik untuk melihat gadis ini. Kakakku, Isaac, tidak percaya apa yang dikatakan Ryan, jadi kami berniat memata-matainya untuk mencaritahu. Suatu hari pada tengah malam, ketika orangtua kami sedang tertidur dan gerbang rumah sudah dikunci rapat, Ryan mengendap-endap keluar untuk menemui kekasihnya. Saat itu sekitar pukul satu dini hari, Isaac membangunkanku dan mengajakku untuk mengikuti Ryan. Aku mengikutinya, tentu saja. Diam-diam kami keluar melalui pintu belakang. Disana ada jejak kaki yang mengarah ke lumbung. Aku dan Isaac berjalan tanpa suara. Kami melihat sebuah cahaya kecil di dalam lumbung - seperti cahaya lilin, jadi aku berjalan kesana untuk mencari tahu. Dan disanalah dia. Ryan dan kekasihnya yang berdiri setengah telanjang, siap untuk melakukan sesuatu kalau saja dia tidak mendengar suara cekikikan tawa kami. Ryan sangat kesal, tanpa memungut pakaiannya, dia mengejar kami keluar dari istal..” John tertawa saat mengingatnya. Kedua bahunya berguncang karena merasa geli. “Dan kejadian yang paling memalukan adalah ketika dia memanjat pagar untuk mengejar kami. Celananya tersangkut dan dia tidak bisa bebas dari kawat yang menjeratnya. ‘Lepas celanamu, tinggalkan saja disana, Ryan! Ayo turun! Apa yang kau lakukan di sana?’ Isaac mengatakan itu untuk menggodanya. Aku tahu sifat Ryan, dia begitu kesal dan berkata, ‘aku akan membunuhmu, Isaac!’ ‘Ryan, tidak apa-apa, ayo turun! Aku akan menangkapmu!’ kami tertawa cekikikan dan Ryan menjadi semakin kesal. Berulang kali dia menyumpahi kami dengan kata-k********r. Isaac tidak bisa diam. Dia terus berbicara. Keributan seketika pecah. Seruannya membangunkan seisi rumah, saat itulah orangtuaku muncul di depan pintu, matanya terbuka lebar, wajahnya merah padam. Ayahku memukul Ryan dengan tongkat kayu, membuatnya jatuh ke atas tanah. Celananya koyak. Ryan berusaha menutupinya selagi dia berlari terbirit-b***t ke dalam rumah sembari menghindari pukulan ayah kami. Sementara kekasihnya yang merasa kesal pergi meninggalkan lumbung malam itu. Itu konyol sekali.” “Apa yang terjadi setelahnya?” “Orangtua kami menghukum Ryan dengan tidak mengizinkannya untuk keluar rumah selama satu pekan. Dia kesal sekali, tapi satu hal yang kutahu tentang saudaraku, kalau hal itu tidak akan membuatnya merasa cukup jera untuk melakukan kebodohan lain.” Di seberang kursi Mary ikut tersenyum lebar. “Aku pernah mendengar kalau laki-laki melakukan hal-hal bodoh tiga kali lebih banyak dari wanita.” “Maksudmu kami lebih banyak mengambil risiko dibanding kaum wanita?” “Tidak! Coba pikirkan ini..” ucap Mary sembari mencondongkan tubuhnya dengan antusias. “Ini masalah gender yang cukup serius. Di lingkungan dimana aku dibesarkan, wanita dilarang untuk melakukan sesuatu yang bodoh..” “Oh ya? Seperti apa?” “Seperti memakai celana, berkeliaran di waktu malam, bermain kartu, berjudi, minum alkohol, mengucapkan kata-kata kotor. Sementara itu, laki-laki dibebaskan untuk semua hal-hal itu. Kalaupun sifatnya sangat buruk, atau mereka kecanduan, orang-orang akan lebih mudah untuk memakluminya. Itu memberi mereka kebebasan penuh atas tindakannya, sementara wanita tidak begitu. Kami dituntut untuk tetap berada di dalam rumah, memakai rok, membaca buku, menjahit, dan menyelesaikan pekerjaan dapur. Tidak hanya itu, kami juga diajari bagaimana cara berjalan, pakaian mana yang harus kami kenakan, dan pilihan kata-kata yang pantas dan tidak pantas untuk diucapkan. Itu tidak terjadi pada kaum laki-laki. Mereka dibebaskan untuk memilih lingkaran mereka dan menentukan pekerjaan apa yang cocok untuk mereka. Wanita tidak diberi kebebasan untuk memilih.” John mengerutkan dahinya ketika tidak menyetujui gagasan itu, ia kemudian menggeser tubuhnya di atas kursi dan menanggapi Mary dengan cepat. “Menurutku aturan itu yang membuat kehidupan sosial menjadi stabil.” “Stabil?” “Ya.” “Bagaimana dengan kesejahteraan wanita? Bagaimana dengan keinginan mereka?” “Kurasa mereka masih diberi cukup banyak pilihan untuk menentukan,” simpul John. “Aku tidak mengerti mengapa kau berpikir kalau kondisi itu baik-baik saja. Coba pikirkan tentang ini! Wanita yang tidak menikah sampai usia dua puluhan akan dipandang jelek dalam masyarakat dan tidak semua diantara kaum wanita memiliki kesempatan yang besar untuk menempuh pendidikan formal.” “Ya, tapi menurutku mereka bisa belajar dimana saja, bukan? Kupikir status pendidikan formal bagi kaum wanita tidak begitu diperhatikan, berbeda kasusnya dengan laki-laki.” “Memang benar, tapi itu sekaligus menutup peluang bagi kaum wanita untuk menentukan pilihan mereka. Tidak ada kesempatan yang terbuka lebar bagi seorang ‘ilmuan wanita’ jika dibandingkan dengan para ilmuan pria. Lalu, apa yang akan dia lakukan? Kembali ke ladang untuk memanen umbi-umbiannya. Itu tidak bisa disebut kesetaraan hak. Hanya karena seseorang terlahir sebagai pria, tidak menjadikan dia lebih baik dari kaum wanita.” John mengangguk. “Apa yang membuatmu berpikir kalau kaum pria punya lebih banyak pilihan daripada kaum wanita?” “Apa maksudmu?” “Maksudku jelas, laki-laki mana yang mau pergi berperang dan meninggalkan keluarganya di rumah? Seorang ayah dengan tiga anak, dipaksa untuk mengendarai kapal sebagai kapten dan memimpin belasan prajurit yang usianya bahkan belum cukup matang untuk memegang senapan dengan benar? Aku melihat mereka semua mati di medan perang. Yang terpenting adalah mereka tidak memilih untuk itu. Situasi yang kuhadapi sekarang.. aku sama sekali tidak memilihnya. Jika kau benar bahwa laki-laki punya lebih banyak pilihan, maka aku akan memilih tinggal di rumah bersama keluargaku untuk mengurus ladang kami. Tapi kenyataannya tidak begitu. Kami semua dikirim ke karantina untuk menjual nyawa kami demi alasan konyol apa? Tidak ada yang tahu! Tidak ada satupun dari kami yang memilih untuk menempatkan diri dalam situasi ini. Jadi, mudah untukku menyimpulkan kalau terkadang apa yang kita pikirkan sebagai nasib buruk bisa saja menguntungkan kita dalam satu situasi tertentu. Itu bergantung pada bagaimana kita menanggapinya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN