Bab 4

1942 Kata
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1918 “Ibuku.. dia wanita yang luar biasa,” mulai John sembari menatap Mary yang duduk di seberang meja, mengamatinya dengan kedua tangan terlipat dan sepasang alis yang dikerutkan. Kereta masih bergerak dengan tenang, suara mesinnya yang berdesing keras mulai mereda dengan teratur. Sejumlah penumpang yang sebelumnya berkeliaran mondar-mandir di sekitar gerbong kini duduk tenang. John mengedarkan padangannya ke sekitar setiap kali mendengar suara berisik yang muncul tiba-tiba. Tidak seperti Mary, John mudah sekali kehilangan fokus. Terkadang kebiasaannya itu membawa nasib sial di medan perang. Namun tidak satupun nyawa berharga ketika seseorang sudah menginjakkan kakinya di medan perang. Selama dua tahun sejak kepergiannya meninggalkan rumah, John mulai membiasakan diri untuk bergerak cepat. Ia telah menyaksikan sejumlah kengerian dari sikap bengis manusia di hadapannya. Seorang prajurit yang berada di dekatnya selama dua hari, tewas begitu saja di medan perang. John harus meninggalkan jasadnya tergeletak di padang rumput seluas puluhan hektar untuk membusuk disana, jika tidak nyawanya terancam. Tapi itu mungkin bukan jenis cerita yang ingin di dengar Mary Jane – wanita yang berpergian jauh untuk mengejar mimpinya sebagai aktris. John terpukau dengan cara Mary duduk, sikap santainya, dan kedipan matanya yang tiba-tiba. Wanita itu mengingatkan John tentang balada tua yang dibacanya selama berulangkali ketika ia masih remaja. Balada itu mengisahkan seorang gadis berambut pirang dengan sepasang mata biru yang cerdas, pergi untuk mengejar mimpinya. Bahkan hingga sekarang, John masih suka membacanya. Saking sukanya, John sampai membawanya ke medan perang. Tidak hanya sekali John mengendap-endap di malam hari, terjaga dari tidurnya untuk membaca selagi prajurit lain tertidur lelap. Mary mungkin juga menyukai jenis balada lama dan syair-syair puitis, tapi buku yang barusan dibacanya hanyalah buku usang berisi tulisan tangan dengan paragraf-paragraf acak. Mungkin, pikir John, itu adalah susunan dialog yang akan dibawakan Mary dalam pentas teater nanti. “Mengapa dia begitu spesial?” pertanyaan Mary membuyarkan lamunan John sekaligus menyeretnya kembali pada momen itu dengan cepat. Kemudian John sadar kalau laki-laki ia kehilangan fokusnya. “Dia membesarkan empat orang anak laki-laki sampai mereka tumbuh besar dan sehat. Dia melakukan pekerjaan di ladang, kemudian pulang untuk memastikan kami tidak kelaparan. Aku dan kakak-kakakku, kami semua dibesarkan di ladang. Sejak kecil kami diajarkan cara berkebun, terkadang kami juga beternak. Ayahku bekerja di peternakan. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku dan kakak-kakakku akan datang untuk membantunya. Kemudian setelah semua urusan di ladang dan di peternakan selesai, aku pulang untuk membantu ibuku. Dia selalu mengajari kami bagaimana cara bersikap yang baik sebagai laki-laki, dia mengajarkanku cara bertanggungjawab. Dia pribadi yang keras terhadap anak-anaknya, tapi aku belajar sesuatu darinya dan aku baru saja menyadarinya..” “Apa itu?” “Bahwa di tengah dunia yang kejam, kau harus bersikap keras, jika tidak itu akan menghancurkanmu. Terkadang ketika menghadapi situasi itu, aku teringat oleh ibuku. Ketika aku menghadapi situasi yang rumit, aku selalu mengatakan pada diriku apa yang akan dia lakukan dalam posisi itu. Dua tahun yang lalu saat kali pertama aku meninggalkannya di ladang, aku tidak tahu kalau itu sekaligus menjadi saat terakhir aku melihatnya. Dia menangis ketika melepaskan aku dan semua kakak laki-lakiku ke medan perang. Seumur hidupku, itu adalah kali pertama aku melihatnya menangis. Hari itu dia sedang bekerja di ladang ketika seseorang menjemput kami untuk membawa kami pergi. Semuanya kacau hari itu. Kami semua sedang dibawa masuk ke dalam mobil yang akan mengirim kami ke karantina saat ibuku berlari dari ladang untuk mencegahnya. Keributan pecah. Ibuku berusaha mencegah laki-laki berseragam yang membawa kami, kakak laki-lakiku yang tertua, Isaac, berusaha menenangkannya. Sementara aku dan dua saudaraku yang lain hanya berdiri disana, melihat ibu kami menangis saat memohon agar kami tetap tinggal. Ryan, kakak keduaku tidak mau ada yang terluka akibat keributan itu, jadi dia menuruti petugas yang hendak membawa kami dan mengatakan pada ibu kami kalau situasi itu tidak akan bertahan selamanya. Kami semua akan kembali dan berkumpul lagi. Ibuku tahu lebih baik kalau kemungkinan itu sangat tipis, jadi dia mengusahakan semua yang dia bisa untuk mencegahnya. Bagaimanapun itu tetap terjadi. Kami akan dipenjara jika menentang hukum. Itu adalah saat terakhir aku melihat ibuku berdiri di halaman rumah dengan kacau. Dia masih mengenakan sepatu bot-nya. Pakaiannya kotor setelah bekerja seharian di ladang dan kedua matanya basah saat melepas kami. Dia melambai pada kami, aku balik melambai padanya. Aku nyaris percaya apa yang dikatakan Ryan itu benar: bahwa semuanya akan baik-baik saja. Perang akan berakhir sehingga kami bisa kembali ke rumah dengan cepat. Tapi setelah dua tahun sejak kali terakhir aku meninggalkan rumah, harapan itu pudar. Ibuku sakit, tidak ada yang memberitahuku. Aku dipisahkan dari saudara-saudaraku. Satu tahun yang lalu aku mendapat kabar kalau Jack, adik laki-lakiku tewas di medan perang. Beberapa bulan berikutnya, Isaac tewas akibat bom granit. Kami hanya beberapa meter jauhnya. Kalau saja aku berlari lebih cepat untuk menyelamatkannya, situasinya mungkin akan berbeda. Dia mungkin masih hidup, tapi nyatanya tidak. Sementara Ryan, aku tidak pernah mendengar kabar apapun darinya sejak kami dipisahkan. Dia menghilang begitu saja. Setelah kapten memberitahuku tentang kabar kematian ibuku, aku berusaha menghubunginya melalui surat. Kecil kemungkinan Ryan akan menerima pesan itu, bagaimanapun dia berhak mengetahuinya. Aku hanya berharap dia masih hidup..” John menunduk lesu menatap tangannya yang terbuka di atas permukaan meja. Suara berdesing mesih kereta mengisi kekosongan yang hadir disana. Sementara itu benaknya dibanjiri oleh perasaan gelisah yang membuat John terus memikirkan nasibnya. Kemudian tiba-tiba saja Mary meletakkan sepasang tangannya yang hangat di atas punggung tangan John dan meremasnya dengan lembut. Wanita itu tersenyum saat mengatakan, “aku turut menyesal. Ini perjalanan yang penting untukmu..” “Lebih dari hidupku,” John menyetujui. Kedua matanya menatap lurus ke arah Mary. Rahangnya berkedut sesekali. Terkadang luka yang dibawanya selama perang menggelitiknya dengan sebuah pemahaman bahwa hidup bisa menjadi sangat berharga dan tidak berarti pada saat yang bersamaan. John pikir ia tahu lebih baik setelah menyaksikan semua yang terjadi di medan perang. Sekarang, setelah semua yang berarti direnggut dalam hidupnya, John tidak punya alasan untuk kembali ke rumah, kecuali karena satu hal - harapan kecil yang masih tersisa bahwa mungkin saja hidup masih menawarkan sesuatu yang baik jika ia dapat bertahan. Ketika untuk kali pertama John melangkahkan kakinya masuk ke dalam kereta dan melihat Mary duduk menempati kursi paling pojok di gerbong nomor tiga, harapan itu mulai terlihat jelas untuknya. “Kenapa kau ingin menjadi artis?” tanya John setelah keheningan yang cukup lama. Mary telah menarik kedua tangannya. Sekarang wanita itu meletakkannya di atas pangkuan dengan kaku. Ia tersenyum malu. Wajahnya merona merah dan kedua bola matanya sesekali berputar, menatap keluar jendela. Sinar matahari yang menyusup masuk membanjiri kulit wajahnya yang pucat, dari sana John dapat melihat sepasang mata hijaunya berkilat tajam. Mary punya sesuatu untuk disampaikan - pikir John. John mungkin telah menyinggungnya dengan topik sensitif yang tidak pernah disampaikan - atau sedang berusaha di sampaikan wanita itu pada seseorang. Semuanya terlihat jelas dalam sepasang mata itu. “Aku menyukai semua hal berbau seni sejak aku masih kanak-kanak. Ketika usiaku sembilan tahun, aku suka berdiri di depan cermin dan berbicara pada diriku sendiri. Ketika ada sebuah pementasan teater yang digelar di balai kota, aku akan langsung membeli tiket untuk menyaksikannya. Terkadang aku pergi sendirian. Diwaktu-waktu senggang setelah pelajaran menjahit selesai, aku pergi diam-diam ke balai kota untuk menyaksikan sejumlah aktor teater berlatih. Mereka menyewa sebuah gedung besar di kota untuk latihan sebelum pementasan dimulai. Gedung itu namanya ‘Mozark The Arc’..” “Mozart?” potong John sembari menyipitkan kedua mata. “Seperti Mozart si komponis musik itu?” “Tidak,” Mary menyeringai lebar, menampilkan sederet gigi putih dan gingsul kecilnya. “Mozark, dengan ‘k’..” “Oh.. kenapa mereka menamainya begitu?” “Kurasa karena arsitekturnya. Gedung itu pernah menjadi sebuah galeri tempat dimana lukisan-lukisan terkenal dipajang. Pemiliknya bernama Mozark, dia suka mengumpulkan kaum bangsawan untuk melihat-lihat ke dalam galerinya. Beberapa sudut tempat di dalam bangunan itu dirancang secara khusus sebagai ajang unjuk seni aksitektur yang memukau. Tapi setelah pengeboman yang terjadi di kota sekitar setengah abad yang lalu, gedung itu sudah tidak lagi digunakan. Seseorang kemudian membelinya dan merenofasi ulang. Gedung itu beberapakali digunakan sebagai tempat latihan. Seringnya mereka membuka sebuah pagelaran seni besar-besaran disana, dimana khalayak umum dipersilakan untuk datang. Sekarang aktifitasnya sudah tidak sepadat dulu, tapi sesekali aku bergabung bersama klub teaterku disana. Kami berlatih, terkadang hanya untuk bersenang-senang..” John menggeser tubuhnya di atas kursi kemudian menyadarkan punggung sembari menautkan jari-jarinya yang kosong. Angin berembus pelan dari arah jendela memberi kesejukan di atas kulit wajahnya. Dari seberang meja ia menatap Mary duduk tenang. Kedua matanya menunduk ke atas permukaan meja, tepat dimana wanita itu sedang memainkan jari-jarinya. Sesekali wajahnya merona, sementara senyum mengambang di bibirnya setiapkali wanita itu membicarakan sesuatu yang menarik perhatiannya. John tahu bahwa ia sudah selangkah lebih dekat, tapi ia tidak merasa cukup sampai disana. John ingin tahu lebih banyak tentang wanita itu. Pikiran itu muncul begitu saja di kepalanya - medan perang atau masa lalunya sama sekali tidak ada kaitannya dengan semua itu. “Apa yang begitu menarik tentang semua itu? Maksudku.. tidak semua orang tertarik untuk berdiri di atas panggung. Kebanyakan orang hanya tertarik untuk datang, membeli tiket, dan menyaksikannya..” Kini Mary menatapnya, kemudian wanita itu mencondongkan tubuh dan berkata, “ada sesuatu yang lebih besar dari itu, John. Setidaknya, untukku. Ketika aku berdiri di atas panggung, aku hanya..” Mary tertegun saat berusaha memiliah kalimat yang tepat untuk merasionalkan apa yang dirasakannya, sementara John menunggu dengan sabar di atas kursinya. Kedua tatapan John terkunci pada wajah Mary. Ia tidak lagi mengacuhkan suara berisik mesin kereta yang berdesing di sekitarnya, aroma pewangi yang tercium tajam, atau dengungan percakapan di dalam gerbong. Semuanya memudar begitu saja. “.. aku merasa seperti meninggalkan diriku dan menjadi orang lain. Maksudku, aku bukan Mary lagi. Aku adalah seseorang yang baru - seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Sebenarnya itu tidak harus menjadi ‘seseorang’, terkadang aku memikirkan diriku sebagai burung yang sedang terbang bebas di udara, atau ombak yang berkejaran menuju tepi pantai. Terkadang aku hanyalah keheningan, atau bintang kecil di langit malam. Terkadang itu bukan sesuatu yang berarti, tapi.. aku merasakannya. Aku merasakan ketika untuk sesaat aku hanya melupakan diriku yang lama dan berpura-pura bahwa kehidupanku sepenuhnya berbeda. Kau tahu..” John mengangguk pelan sembari mengulas senyum. Sesekali matanya berkedip, tapi ia tidak berkomentar sampai Mary selesai menyampaikan semuanya, dan seperti yang dipikirkan John: wanita itu menyimpan lebih banyak kalimat di kepalanya daripada yang mungkin di sampaikannya selama ini. “Mereka menyebutnya kebebasan untuk berekspresi. Tidak akan ada yang menghakimiku, dan aku hanya menjadi sekosong langit malam, seribut ombak di lautan, secerah matahari pagi, seriang burung yang berterbangan. Itu emosi-emosi dasar yang sangat jarang kita rasakan, dan mereka mengajariku untuk duduk duduk dan menikmatinya. Maksudku hanya duduk diam dalam keheningan dan merasakan semua emosi-emosi itu muncul ke permukaan. Kau pernah merasakannya, John? Ketika kau melupakan dirimu untuk sejenak dan berpura-pura bahwa kau adalah bagian dari sesuatu yang lain? Sesuatu yang tidak pernah kau sadari ada di dalam dirimu, seperti.. alam.” John merenuni pertanyaan itu sejenak kemudian menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak tahu tentang semua itu, Mary.” “Itu sesuatu yang.. sangat indah.” Mary tersenyum menatap permukaan meja. Pikirannya berada di tempat lain. John menebak kalau wanita itu sedang berdiri di atas panggung besar, atau di antara hamparan rumput yang luas dimana langit malam yang kosong terbentang rendah di atas kepalanya. Tapi itu hanya sebuah tebakan sampai John memutuskan untuk menanyakan sebuah pertanyaan yang sejauh itu sudah tertahan di ujung lidahnya. “Apa yang begitu indah tentang gagasan untuk melupakan dirimu sendiri?” Ketika mendengarnya, Mary langsung menatap John. Sepasang mata biru cerah itu kini terpaku menatapnya dan seketika John sadar kalau ia sekali lagi menyentuh topik yang sensitif.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN