Bab 10.

1622 Kata
“Jawab, Nabila!” Aku mengulangi pertanyaan dengan suara yang meninggi, seolah aku ingin meluapkan emosiku dalam beberapa hari terakhir. Iya, aku memang kesal dengan Nabila, tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Dan kini aku seperti punya kesempatan itu. Nabila membalas tatapanku dengan nyalang. Dia seperti tidak menduga aku bisa sekasar ini. Biasanya aku sangat lembut dan penyabar terhadapnya, mengimbangi sifatnya yang meledak-ledak. Dahulu aku menyukai semua sifatnya itu. Tapi, tidak untuk sekarang! Aku benar-benar tidak dapat mengontrol emosi saat melihat tatapan mata Nabila. Aku tak pernah melihat tatapan menantang seperti itu dari Fahira. Egoku menjadi tersulut. Aku memilih mengemasi semua barang-barang pribadiku, memasukkannya ke koper dan mengambil kunci mobil. Malam itu juga kutinggalkan rumah Nabila. Aku tak peduli dengan tatapan penuh tanya dari orang tua Nabila. Kewarasanku mendadak lenyap. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Fahira. Sebelum menstater mobil, kubuka kembali ponsel itu. Aku sampai lupa tidak menelpon balik saat aku melihat jejak panggilan Fahira saking emosinya. Belum sempat aku memencet panggilan, sebuah pesan singkat masuk. Pesan dari Fahira! [Mas, aku pamit ya. Mohon maaf lahir dan batin] Mataku seketika membulat. Tak menunggu waktu lama, segera kutekan tombol panggilan ke nomor itu. Sayangnya, nihil! Nomor itu sudah tidak aktif. Ada apa ini? Kupacu mobil dengan kecepatan sedang ke arah rumah. Tepatnya rumahku dengan Fahira. Beruntung, hari sudah malam, sehingga lalu lintas lebih lengang. Pukul 23.00 aku tiba di depan rumah. Pemandangan yang biasa kulihat. Gerbang terkunci, dan aku membawa kunci cadangannya. Lampu teras yang menyala dan tentu saja, di dalam rumah selalu ada satu lampu menyala di ruang makan. “Fahira!” panggilku sambil melangkah menuju kamar kami. Kesunyian kenapa tiba-tiba menyergap? Jantungku bergemuruh saat aku masuk ke kamar itu dan menyalakan lampunya. Tidak ada! Kamar itu kosong. Bahkan selimutnya masih terlipat rapi. Aku terduduk di sisi ranjang. Mataku memindai ke sekeliling sembari otakku berfikir. Kemana Fahira? Bukannya setiap pergi dia selalu pamit? Apakah ke rumah orang tuanya? Bukannya dia sudah ke sana kemaren? Mengapa dia pamit lagi? Kuulangi panggilan ke nomor telpon Fahira. Tapi, tak ada hasil. Tak terdengar nada panggilan yang terhubung. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan dengan kasar. Sepertinya besok pagi saja aku telpon ayah dan ibu mertua. Ini sudah terlalu malam untuk menelpon. Khawatir mengagetkan keduanya. Pasti keduanya tahu, kemana istriku itu pergi. Bergegas aku menuju lemari pakaian mengambil baju gantiku. Baru saja aku membuka pintu lemari, jantung langsung mendesir. Lemari bagian baju Fahira nyaris kosong! Akhirnya kubuka juga pintu lemari gantung di mana Fahira lebih banyak menyimpan bajunya. Ya, Tuhan. Aku terduduk lemas. Dia hanya meninggalkan beberapa potong baju. Sedangkan baju favoritnya tidak ada! Apa mungkin Fahira pergi ke rumah ayah dan ibu membawa baju sebanyak ini? Apakah Fahira akan meninggalkanku? Apakah Fahira tahu kalau aku menikah lagi? Berjuta pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku tak sabar menunggu pagi. Rasanya aku ingin jarum jam segera menunjukkan angka enam pagi, agar aku bisa segera menelpon ayah mertuaku. Apakah Fahira marah karena aku menunda mengantarkannya ke rumah Ayah? Apakah sebaiknya aku menyusulnya? Aku dalam kebimbangan. Bahkan aku sudah tak memikirkan Nabila yang baru kunikahi pagi tadi dan juga keluarganya. Bahkan, seharusnya aku masih tinggal di sana sampai esok hari, tapi aku memilih segera kembali gara-gara panggilan misterius dari Fahira tadi. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menjemput ke Yogya sekarang? Atau aku menelponnya saja? Ada rasa bersalah dan malu menyelimuti fikiranku. Malu dengan mertuaku karena aku tak becus menjaga anaknya, sekaligus bersalah dengan Fahira karena mengkianatinya. Kenapa? Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Mengapa tidak kemarin? Mengapa aku tidak mendengarkan saja nasehat mama dan papa saat mereka tidak menyetujuinya? Segera kubuka aplikasi tiket dari ponsel. Sepertinya aku harus segera memesan tiket penerbangan paling pagi ke Yogya. Aku juga harus mempersiapkan apa yang harus aku katakan pada mertuaku, jika memang Fahira pergi karena sudah mengetahui kebusukanku. Tapi, dari siapa dia mengetahuinya? Apakah mama dan papa sudah membocorkannya? Beberapa potong baju aku masukkan dalam tas. Tekatku bulat. Besok pagi aku harus menyusul ke Yogya. Kalau aku tak menemukan Fahira di sana, paling tidak aku bisa bertanya pada mertuaku. Bukankah Fahira terakhir kali bertemu mereka? Entah kekuatan apa, tiba-tiba mataku tertuju pada laci yang ada di dalam lemari. Segera kutarik laci itu. Mataku kembali terbelalak. Fahira meninggalkan ATM di sini? Ada juga buku tabungan atas namanya yang dulu sengaja aku buka untuk menstransfer uang bulanannya. Aku memeriksa saldonya, sepertinya dia baru mencetaknya kemaren. Kenapa dia meninggalkannya di sini? Kenapa kamu Fahira? Tiba-tiba lututku tak mampu menopang berat badanku. Aku jatuh terduduk di depan lemari. Entah mengapa, linangan air mata tak dapat kutahan untuk tidak mengalir melalui sudut mata ini. “Ma, apa Mama bilang ke Fahira kalau aku menikah dengan Nabila?” tanyaku ke mama melalui sambungan telepon. Pagi ini aku menumpang taksi menuju bandara. Aku ingin memastikan apakah Fahira ke Yogya hanya ingin bertemu orang tuanya saja, atau karena sebab lain. Aku sangat cemas dengan keputusan Fahira yang pergi begitu saja dan meninggalkan pesan yang sangat singkat. Bahkan, sampai pagi ini nomor Fahira pun tidak aktif. “Tidak. Mama tidak tahu. Kenapa?” balas mama dengan nada cemas. “Fahira tidak ada di rumah, Ma. Semalam dia pamit melalui pesan singkat. Tapi, nomornya tidak bisa aku hubungi lagi. Saat ini aku menuju Yogya,” ujarku sambil menutup sambungan teleponku ke mama. Entah apa yang akan dilakukan mama dan papaku kemudian, karena mereka sejatinya adalah teman orang tua Fahira. Sepanjang jalan, pikiranku berkelana. Bahkan panggilan dari Nabila tidak aku hiraukan. Hanya Fahira yang ada dalam otakku. Bayangan ayah dan ibu Fahira akan marah pun menghantuiku. Bagaimanapun aku telah berjanji menjaga Fahira, anak bungsu kesayangan mertuaku itu. Taksi dari bandara di Yogyakarta sudah berhenti tepat di pintu pagar rumah mertuaku. Jantungku bergemuruh. Keringat dingin pun mulai keluar. Rasa tak karuan semakin mendera. Ada sebuah mobil terparkir di depan rumah. Bukan mobil mertuaku. Sepertinya ada tamu. Wajar karena ini Hari Minggu. Saat aku membuka gerbang rumah itu, seorang pria muda muncul dari balik pintu ruang tamu. Mas Farhan! Kakak Fahira itu menatapku dengan tatapan mata yang tajam. Nyaliku semakin ciut. Dari tatapannya saja aku sudah membaca, sepertinya sedang tak baik-baik saja. Segera kulanjutkan langkah mendekat ke rumah itu. Rumah yang dulu aku pernah datang melamar Fahira bersama kedua orang tuaku. Rumah di mana aku melafadzkan akad nikah dengan Fahira. “Kamu datang juga!” ujar kakak iparku tanpa mengulurkan tangannya. Biasanya dia akan mengulurkan tangan dan memelukku sebagai sambutan. Kini, pria di hadapanku ini justru menunjukkan raut muka yang sama sekali tak ramah. Aku masih berdiri mematung. Bingung dengan sambutannya. Ingin kuulurkan tangan, tapi aku khawatir ditepisnya. Hingga suara ayah dan ibu dari dalam rumah membuyarkan lamunanku. Keduanya kini sudah keluar dan berdiri di depan pintu. “Masuk, Bayu!” Suara ayah mertuaku terdengar datar. Berbeda dengan sebelumnya yang selalu hangat. Ibu mertua yang berdiri di belakang ayah mertuaku pun hanya menatapku datar, tak sehangat biasanya. Aku menjadi merasa kikuk. Aku duduk di sofa ruang tamu. Padahal biasanya aku langsung masuk dan duduk di ruang tengah. Ngobrol santai dengan ayah dan Mas Farhan. Tapi, suasana kali ini menjadi berbeda. Tiba-tiba aku teringat peristiwa sepekan lalu, saat Fahira datang ke rumah orangtuaku. Dan sambutan mama dan papa tidak seperti biasanya, kikuk, meskipun Fahira bersikap biasa saja. Apa begini juga yang dirasakan oleh Fahira? “Lalu apa maumu sekarang?” ujar Ayah membuatku tersentak. Kami dari tadi hanya dalam keheningan. Aku canggung mau bertanya, karena itu akan terlihat bodoh. Sebenarnya, aku menunggu Fahira keluar. Tapi, tak juga aku melihatnya. Apakah pantas aku menanyakan di mana Fahira? Bukannya ini sangat memalukan sampai aku tidak tahu Fahira kemana pergi? Jika aku bukan laki-laki, ingin rasanya aku menangis di sini. “Maafkan saya, Ayah. Saya ingin ketemu Fahira,” ucapku dengan suara bergetar sambil menunduk. Malu rasanya mengatakan ini. “Setelah apa yang kamu lakukan dengan adik saya?” tanya Mas Farhan dengan suara lantang. Aku hanya bisa memejamkan mataku dan mengatupkan kedua bibirku. Aku dan Mas Farhan sama-sama laki-laki. Aku tahu Mas Farhan sangat marah padaku. Aku pun jika aku punya adik perempuan dan dia mengalami apa yang dialami oleh Fahira, pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. “Pergi kamu! Jangan sampai datang lagi ke sini tanpa membawa Fahira!” ujar Ayah Fahira. Mataku seketika membulat mendengar kata Ayah. Beliau mengusirku? “Apa maksudnya, Ayah?” “Masih berani kamu bertanya sama, Ayah? Jawab sendiri pake otak kamu!” sahut Mas Farhan. Tangannya sudah siap menonjokku jika saja Ayah mertuaku itu tidak menghalanginya. “Sebaiknya kamu pergi, Nak." Ibu Mertuaku berusaha menengahi. Kulihat mata Ibu mertuaku itu sudah berkaca-kaca. Begitu juga mataku pun sudah mengembun. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi sungguh. Tapi, keluarga Fahira sepertinya enggan memberitahuku di mana keberadaan Fahira. Apakah mereka menyembunyikan Fahira dari sisiku? Aku memutuskan meninggalkan rumah itu. Aku memesan taksi online dari mulut gang perumahan tempat tinggal mertuaku. Kuhembuskan napas dengan keras agar mengurangi sesak di rongga d**a. Tak lama taksi yang kupesan sudah menjemput. Kupejamkan mata sejenak untuk memikirkan apa yang harus kulakukan. Tak hanya keluarga Fahira. Sebentar lagi papa dan mamaku tentu juga akan murka kepadaku jika orang tua Fahira tidak terima. Tapi, aku tetap belum tahu akar masalahnya apa? Apakah benar Fahira pergi karena dia tahu aku telah mengkianatinya? Tapi, dia tahu dari mana? Apakah penting aku mencari tahu Fahira tahu apa yang kulakukan? Minggu sore aku sudah menaiki taksi menuju rumah. Sebenarnya sudah sejak tadi aku sampai Jakarta. Tapi aku memilih menghabiskan waktu di café sambil mengisi perutku yang sejak pagi belum terisi apa-apa. Aku sengaja memblokir nomor Nabila untuk sementara, karena aku tidak ingin dia mengangguku. Emosiku memuncak jika melihat panggilan darinya, sedangkan masalahku dengan Fahira belum tuntas. Tiba-tiba perasaanku tidak enak saat taksi yang aku tumpangi berhenti di depan rumahku. Terlihat Nabila sudah duduk di teras bersama papa dan mama nya. Ada dua koper besar di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN